7b

24.9K 2.4K 115
                                    

"Russel mau Papa!" seru Russel dengan bibir mencebik siap menangis.

Fiera mendesah. Sejak bangun tidur bocah itu terus-menerus merajuk karena tidak menemukan Rachles. Tadi Fiera masih sanggup membujuknya mandi. Tapi kini dia sama sekali tidak mau makan. Russel hanya duduk di sofa dengan kedua kaki ditekuk. Siaran tv yang menayangkan acara favoritnya sama sekali tidak bisa mengalihkan perhatiannya.

Fiera terdiam cukup lama di samping Russel sambil memikirkan cara apa yang bisa membuat putranya itu mau makan. Dia sudah menjanjikan ke taman hiburan dan lainnya, namun tetap tidak bisa membujuk Russel.

Apa dia harus mengajak Russel ke kantor Rachles saja?

"Russel mau ketemu Papa?" Fiera bertanya memastikan.

"Iya." Bocah itu menyahut ketus dan itu terlihat sangat menggemaskan.

Fiera berusaha menahan senyum geli. "Kita telepon Papa dulu ya. Kalau Papa gak sibuk, kita ke kantor Papa sekalian bawa makan siang untuk Papa. Tapi Russel harus makan dulu."

Mendadak Russel mendongak menatap Fiera dengan raut wajah senang. "Iya, Ma!"

"Kalau gitu sekarang Russel makan."

"Telepon Papa dulu!" seru Russel dengan wajah merengut.

Fiera meringis melihat hal itu. Pasti Russel takut Fiera berbohong karena tadi Fiera memang berbohong untuk membujuk Russel mandi. Dia mengatakan Rachles akan datang setelah bocah itu mandi. Tapi ternyata sampai sekarang Rachles tidak kunjung datang. Wajar jika Russel tidak percaya lagi padanya.

"Baiklah." Fiera meraih ponsel yang tadi ia letakkan di meja kemudian mencoba menghubungi Rachles. Melihat itu Russel langsung berdiri di sofa dan bersiap meraih ponsel Fiera. "Biar Mama bicara dulu sama Papa. Setelah itu baru Russel. Oke?"

"Oke." Russel mengangguk antusias.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara Rachles. "Halo, Ma. Kangen, ya?"

Fiera menahan senyum geli mendengar kalimat pertama Rachles. "Ini Pa, anakmu yang manja yang kangen. Sejak bangun tidur dia terus merajuk minta bertemu Papa. Sekarang dia tidak mau makan. Papa bicara sendiri saja." Fiera langsung menyerahkan ponsel kepada Russel. Dia sama sekali tidak canggung memegang ponsel karena sering menerima telepon dari Arla.

"Halo, Pa."

"Kenapa suara Jagoan Papa terdengar lemas?"

"Russel mau Papa." Bocah itu mencebik lagi siap menangis. Fiera berbisik di telinga Russel yang langsung ditiru bocah itu. "Russel boleh ke kantor Papa?"

"Tentu saja, Sayang. Tapi Russel harus makan dulu."

Russel mengangguk antusias.

"Bicara, Sayang. Papa tidak tahu kalau Russel mengangguk." Fiera memberitahu.

"Iya, Pa. Mama bilang akan bawakan Papa makan. Russel makan sama Papa saja ya?"

Bukan Fiera yang mengatakan itu.

"Gak boleh, Jagoan. Sekarang Russel sarapan dulu. Nanti siang kita makan bersama."

Russel merengut.

"Russel dengar Papa, kan?"

"Iya." Kembali bocah itu menyahut ketus.

"Anak pintar. Sekarang berikan ponselnya pada Mama."

Russel menyerahkan ponsel pada Fiera masih dengan wajah merengut.

Fiera menyeringai dan mengacak rambut Russel gemas saat menerima ponsel. "Ya, Rachles?"

His Smile (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang