13a

24.9K 2.4K 99
                                    

Sepanjang perjalanan mereka dimanjakan dengan pemandangan pegunungan dan laut yang tampak biru cerah. Sengaja kaca mobil diturunkan agar udara segar berhembus.

"Ma, lihat! Ikannya lompat!" seru Russel sambil menunjuk tengah laut.

"Wah, iya." Fiera turut memperhatikan.

"Yang sebelah sini banyak kera." Rachles yang sedang menyetir mengedikkan kepala ke sisi sebelahnya.

Russel yang duduk di pangkuan Fiera laangsung menoleh ke arah yang dimaksud Rachles. "Banyak sekali!" bocah itu berseru kagum. "Pa, apa kita boleh memeliharanya?"

"Tidak boleh, Jagoan. Kera itu tidak akan suka tinggal di rumah kita." Rachles menjelaskan.

"Memangnya kenapa?"

"Karena rumah mereka di hutan bersama Papa dan Mama mereka."

Russel mengerutkan kening. Mungkin dia bingung. Tapi bocah itu tidak bertanya lebih jauh dan hanya memperhatikan kera-kera yang melompat-lompat dan bergelantungan dari satu pohon ke pohon yang lain.

"Kau sudah pernah ke sini sebelumnya?" tanya Fiera kemudian.

"Ya, pernah. Saat kakek Seth masih hidup. Bisa dibilang beliau menghabiskan masa tua di sini."

"Lalu Nenek Mikaela? Dia juga tinggal di sini?"

"Sebenarnya tidak bisa dikatakan tinggal. Dalam sebulan Kakek akan menghabiskan waktu satu atau dua minggu di sini. Sesekali aku ikut, tapi yang paling sering ikut adalah Razita. Nenek nyaris tidak pernah karena dia tidak terlalu suka. Menurutnya kebisingan kota besar lebih nyaman daripada kota kecil yang tenang ini."

"Kedengarannya Nenek dan Kakek pasangan yang unik. Saling bertolak belakang tapi bisa bertahan satu sama lain dan hanya terpisah oleh ajal."

"Ya, begitulah. Mereka selalu berusaha saling mengerti." Rachles tersenyum lembut.

"Mama! Papa! Burungnya banyak sekali!" seru Russel tiba-tiba.

"Iya." Fiera menjawab. "Burungnya warna apa?"

"Hitam!"

"Pintar. Sekarang hitung." Rachles memberi perintah.

"Satu, dua, sepuluh!" seru Russel sambil mengacungkan semua jari tangannya.

Rachles dan Fiera tertawa geli. Mereka bergantian berusaha membenarkan hitungan Russel.

Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di rumah dua lantai yang didominasi warna cokelat kayu. Di halaman mereka disambut sepasang suami istri yang bertugas merawat rumah itu.

"Tuan Rachles, selamat datang." Sapa seorang lelaki paruh baya.

"Pak Wiryo, apa kabar?" tanpa sungkan Rachles memeluk lelaki itu.

"Baik, Nak. Sudah lama tidak datang tiba-tiba kau jadi tinggi begini." Komentar Pak Wiryo. Meski dia masih memanggil Tuan atau Nyonya kepada anggota keluarga Reeves, namun dia tidak berbicara formal.

"Tentu saja, Pak. Masa aku pendek terus." Rachles terkekeh lalu beralih pada istri Pak Wiryo. "Bu Yeni, masih betah sama Bapak, ya?" tanya Rachles seraya memeluk Bu Yeni.

"Yah, dibetah-betahin aja." Ujar Bu Yuni sambil tertawa kecil.

"Si Ibu kan cinta mati sama Bapak. Gimana gak betah."

"Ish, cinta mati. Kayak anak muda aja." Elak Bu Yeni hingga mengundang tawa Rachles dan Pak Wiryo. "Itu anak dan istri Tuan Rachles, ya?"

"Calon istri dan anak." Rachles menyeringai. "Fiera, kemarilah!"

His Smile (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang