11a

25.9K 2.5K 91
                                    

Fiera tersenyum saat melihat Rachles dan Russel sedang duduk di lantai ruang tengah menghadap meja yang kini penuh dengan buku mewarnai milik Russel. Keduanya hanya mengenakan celana piama dan bertelanjang dada. Padahal tadi Fiera sudah mengingatkan agar mereka mengenakan pakaian sebelum ia ke dapur. Tapi ternyata ucapannya mereka anggap angin lalu.

"Warnainya pelan-pelan saja, Jagoan." Rachles mengingatkan.

"Pa, rambutnya warna merah, ya?"

"Jangan, hitam saja. Kalau warna kulit pakai apa?"

"Pastel!" seru Russel sambil mengangkat crayon warna biru.

Rachles terkekeh.

"Itu biru, Sayang." Fiera memberitahu seraya meletakkan secangkir teh jahe untuk Rachles dan segelas susu untuk Russel.

"Pastel, Ma!" Russel keras kepala.

"Yang ini pastel." Rachles meletakkan warna pastel di hadapan Russel.

Bocah itu melihat bergantian antara crayon di tangannya dan crayon yang tadi diletakkan Rachles. "Ini pastel?" tanya Russel memastikan.

"Iya, Jagoan." Rachles meyakinkan.

Bocah itu mengangguk-angguk lalu menukar crayonnya.

"Huh, tadi Mama yang bilang tidak percaya." Gerutu Fiera seraya duduk di sofa belakang Rachles.

"Russel kan anak Papa. Jadi dia lebih percaya pada Papa." Rachles menyeringai bangga.

Tidak ada tanggapan dari Russel karena bocah itu kembali sibuk dengan bukunya.

"Sepertinya kali ini kau diabaikan." Fiera tertawa kecil.

Rachles hanya mengangkat bahu lalu menggeser duduknya. Kemudian dia merebahkan kepala di paha Fiera. "Aku sakit kepala. Tolong pijatkan."

"Manja." Ejek Fiera namun tangannya tetap bergerak memijat kepala Rachles.

"Aku senang manja padamu." Gumam Rachles dengan mata terpejam.

Fiera tersenyum sambil memperhatikan wajah tampan Rachles. Kemudian senyumnya memudar saat ia melihat lebam di tulang pipi lelaki itu akibat pukulan Raynand. "Menurutmu, apa yang akan terjadi jika Raynand mengatakan hal buruk tentang kita?"

"Mungkin kita akan dicoret dari daftar keluarga Reeves." Sahut Rachles santai tanpa membuka mata.

"Kenapa kau tenang sekali?" tanya Fiera dengan sedih.

"Memangnya apa yang harus kutakutkan? Aku masih memiliki kalian. Kau dan Russel. Kita bisa hidup di sebuah kota kecil yang damai. Aku akan bekerja menjadi buruh, kuli, pelayan atau pekerjaan apapun. Perlahan kita akan menabung dan mulai membuka usaha." Rachles membuka mata lalu pandangannya menerawang. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman. "Pasti hari-hari akan berlalu sangat cepat. Aku bekerja, pulang dengan tubuh kotor, dan di rumah ada istri dan putraku yang menyambut. Saat malam tiba, aku akan meminta istriku untuk memijatku dengan manja."

Air mata Fiera menetes. Dia terharu mendengar ketulusan dalam suara lelaki itu.

Rachles menatap Fiera bingung saat menyadari wanita itu menangis. "Kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"

Fiera menggeleng. "Kalau kita menikah, cintamu hanya bertepuk sebelah tangan. Sama seperti yang terjadi dalam pernikahanku dengan Raynand. Lalu bagaimana jika aku menemukan lelaki lain yang ternyata kucintai? Bukankah ini sama saja mengulang kisah lama?"

Tangan Rachles terangkat lalu menghapus air mata di pipi Fiera. "Maka segera beritahu aku dan aku akan melepasmu." Rachles tersenyum. "Kuncinya hanya jangan mengulang kesalahan Raynand. Dia terus-menerus sembunyi dari masalah, hingga akhirnya masalah itu membesar lalu menghantamnya. Dia terlalu pengecut untuk memperjuangkan cintanya."

His Smile (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang