Part 9

835 125 42
                                    

"Seperti biasa kalau menyangkut dia, kau tidak bisa tahan ya."

Erwin menghela saat Rivaille malah memalingkan wajah. Alis tipis menukik tajam hingga dahi berkerut.

"Kau tidak tahu. Ekspresinya yang membuatku ingin terus melakukannya dan di saat bersamaan aku juga merasa berdosa."

Tatapan Rivaille kembali lurus, bertemu dengan iris biru cerah itu.

"Karena itu, kau mau?"

"Ah, maaf. Aku tidak tertarik menjadi pelampiasanmu."

Rivaille mendecih.

"Kalau kau segitu gelisahnya, kenapa tidak bermain sendiri?"

"Sudah. Setiap aku teringat dia."

Erwin menggeleng-geleng heran. Temannya ini tidak bisa diharapkan lagi. Berapa semen yang telah ia keluarkan secara percuma selama ini? Bahkan sekarang repot-repot mengundangnya ke apartemen untuk meminta jadi tempat pemuasan.

"Yang jelas aku tidak bisa. Aku masih lurus. Berlatihlah menahan nafsumu. Kan sudah tahu itu dosa," tolak Erwin seraya beranjak dari kursi makan dan membawa gelas kosong.

"Bilang saja kau masih noob."

"Oh, jadi kau sendiri sudah berpengalaman?"

Erwin tersenyum penuh kemenangan. Si pemilik rumah berhasil dibungkam mulutnya. Ia memilih bangkit. Botol di dalam kulkas diraihnya.

Air dingin mengalir. Begitu ditenggak, dahaga dan kepahit-pahitan dari kopi menghilang. Dalam kepala Rivaille masih terputar ekspresi nakal si bocah hasil imajinasinya.

Ah jangan. Ini masih terang, ditambah ada tamu. Jangan sampai ia mengusir dengan alasan ingin mengurus juniornya.

Getar benda dalam saku membuat Rivaille sedikit berharap. Ia langsung menyalakan layar. Nama Petra tertera di tengah, berkedut seiring getaran. Begitu Rivaille membalas panggilan, suara riang menyahut dari seberang. 

"Sir, terima kasih albumnya ya. Aku senang sekali!"

Pria itu agak gugup menanggapi. Walau hubungan kandas sepuluh tahun lalu, ia tetap belum terbiasa bicara berdua dalam telepon seperti ini. 

"Oh, iya. Syukurlah. Aku juga ikut senang," sahut Rivaille singkat. 

Tawa berderai lembut. Ah. Rivaille mendadak rindu suara gelaknya.

"Pembohong. Wajahmu pasti tetap datar kan."

Laki-laki itu diam sejenak. 

Pembicaraan berlanjut dengan alasan Rivaille memberinya album sebagai jawaban dari pertanyaan si wanita. Kemudian mengumumkan izin pulang dari rumah sakit lusa besok. Satu hal lagi yang menjadi penutup telepon, membuat pria tersebut sama sekali belum siap jika harus bertemu berdua lagi. 

Sabtu, tak ada jadwal apapun. Petra akan berkunjung. 

.

.

Parah. Parah. Parah. 

Ia menempel sangat lengket. Dengan tambahan sabun dan air, Eren menambah kecepatan kucekannya. Kenapa di saat begini mesin cuci malah rusak?! Suaranya sangat berisik melebihi suara mesin cuci pada normalnya. Maklum, sudah tua. Itupun pemberian dari almarhum kakek dari keluarga Grisha dan belum sempat diperbaiki.

Lagipula, kalaupun tidak rusak, Carla pasti menaruh curiga. Malam-malam begini siapa yang menyalakan mesin cuci?

Eren sering bermain peran dengan Armin dan Mikasa. Mungkin karena faktor lingkungan pertemanan yang baik-baik, tak pernah sekalipun ia mendapatkan tema mesum. Lagipula, yang semalam itu tidak bisa Eren sebut sebagai RP. 

Roomchat [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang