Part 6

1K 142 34
                                    

Suara itu. 

Terdengar familiar. 

Pernah membisiki telinganya. Menggetarkan seluruh saraf di balik kulit. 

Eren tidak begitu yakin. Padahal ia berdiri tepat di samping. Kenapa suara itu terdengar samar-samar, sembarangan memasuki ruang bawah sadarnya? Siluet kehitaman membumbung kecil, membentuk sebuah sosok seseorang. 

Dia lagi. Eren mengambil langkah mundur. Dalam keadaan tak enak seperti inipun, orang itu masih saja datang berkunjung. 

Namun, kali ini berbeda. Tidak menyerang. Hanya diam. Berdiri mematung menatap Eren yang terus meniru gerakan undur-undur. 

Eren balas menatap. Bibir pucat pria itu berkomat-kamit sesuai dengan bunyi bariton yang ia simak. Eren tak membalas apa-apa karena memang merasa bahwa si pria tidak sedang berbicara dengannya. 

Siluet itu menghilang bersama dentum pelan sebuah benda geser.

Kelopak mata terangkat perlahan. Lampu neon LED menjadi hal pertama yang ditangkap oleh penglihatan.

"Oh, sudah bangun kau."

Eren menoleh. Suara yang sama, namun lebih ringan.

"Siapa...?" Serak, Eren bertanya.

"Aku yang tadi membawamu ke sini. Kapten basket Rakuzan, Akashi Seijuuro."

Rambut merah menyala itu menjadi petunjuk yang mengarahkan Eren ke beberapa saat lalu. Orang ini hendak menyalaminya di lapangan tadi. 

"Oh, iya. Maaf ya, sudah mau repot membawaku ke sini. Namaku-"

"Eren... kan?" 

Raut wajah Eren berubah mendadak. Jelas sekali di sana ada banyak tanda tanya. Mudah sekali terbaca, Akashi tersenyum tipis. 

"Tadi ada seorang lagi ke sini. Dia sempat mengucap namamu, saat kami berbincang sebentar. Aku tidak tahu kalau pak tua itu mengenalmu."

"Pak tua? Siapa?"

"Rivaille. Kenalanmu, kan."

Eren menggeleng. "Aku tidak punya kenalan bernama asing seperti itu."

Giliran Akashi terdiam. Ia memberi pandangan tak percaya, seolah mengatakan, "Yang benar?"

Hening. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Hari pertama mereka bertemu dan berdua dalam satu ruangan. Tak tahu-menahu bagaimana cara memulai percakapan dengan baik. 

Eren merem-melek, berusaha kabur lagi ke alam mimpi. Akashi terus mengamati si pemuda yang terbaring dari pucuk rambut. 

Tatapan intensnya yang membuat Eren jadi merasa gelisah. 

"Anu, Akashi-san... kan, namamu tadi?" Kepala Eren mendongak, sedikit menekan bantal. Semburat kejinggaan berbaur dengan warna biru memantul pada jendela tepat di atasnya. "Kau tak pulang?"

Akashi memandang ke arah yang sama. "Tidak setelah aku mengantarmu," jawabnya seraya berdiri. 

Kain kompres meluncur dari dahi, membasahi selimut. Punggung Eren tegak tiba-tiba. "Ah, tak bisa begitu! Aku bisa pulang sendiri!"

Akashi menggeleng. Ia menarik telapak tangan Eren. Perjanjian dilanggar. "Bagaimana jika tiba-tiba kau pingsan di tengah jalan?"

"Tidak akan! Asal kau tahu saja, aku tidak selemah itu!" bantah Eren. 

Genggaman terlepas. Berbalik badan, Akashi mengambil sebatang pulpen dari meja guru pengawas ruang kesehatan. Spontan Eren minta maaf sebab tak sengaja membentak pemuda yang kini menghampirinya kembali. 

Roomchat [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang