Kentang terakhir dilahap oleh Rivaille. Lumatannya ia telan menyusuri kerongkongan, tepat ketika Eren tiba-tiba berdiri. Tanpa bicara apapun, pemuda itu berlari keluar restoran meninggalkan Rivaille dengan baki berisi bungkus burger dan dua soda.
Eren lekas memasuki bilik toilet yang kosong. Mengeluarkan sisa pencernaan sampai perutnya tak lagi mulas. Ia menebak, pasti gara-gara kebanyakan mengambil saus pedas.
Setelah bebersih, Eren membuka pintu bilik. Ia mencuci tangannya di wastafel sambil memandang pantulan wajahnya di cermin. Ia baru sadar remah-remah roti menghias sekitaran bibirnya.
"Ck, sial." Eren menggosoknya dengan kucuran air.
Mendadak dia teringat. Jari pria pendek tersebut menyentuh sudut bibirnya, menghapus saus dengan tisu. Sentuhannya terasa tidak asing, pun sosok si pria itu sendiri. Perawakan sekitar sepuluh senti di bawahnya dan rambut eboni itu ... Eren pernah mengenalinya.
Pintu toilet menjeglak terbuka. Pria bersurai cokelat keabuan menyeret langkah menuju wastafel di sebelah Eren.
"Nenek Tua sialan. Kenapa libur-libur begini aku harus dititipi anak tetangga untuk ke sini," gerutunya.
Mengenal sosok itu, Eren mendelik. Ia lekas mematikan kran memutar badan menuju pintu. Sayangnya tangan pria itu telah mencengkeram pundak Eren.
"Kau ... kenapa ada di sini?"
Mendecak, Eren mendesis, "Seharusnya itu kalimatku, Jean. Aku sedang buru-buru."
"Karena melihatku?"
Eren menelan ludah. Tepat.
Jean tersenyum pahit. Menyadari bahwa hubungan pertemanan mereka semakin merenggang karena salahnya.
Aroma pembersih lantai menguar menggelitik indra penciuman. Seharusnya berhasil mengusir ketegangan di antara mereka berdua.
"Sudah sejak kapan kau menyukaiku?"
Pertanyaan Eren membuat iris kekuningan itu membulat. Sama sekali tak menyangka pertanyaan itu keluar dari bibirnya.
Mendengus, dia menjawab, "Entahlah. Tahu-tahu aku sudah menyukaimu."
"Tidak mungkin. Mikasa sering bilang padaku kalau rasa suka muncul secara berproses. Sepertinya kaunya saja yang kelebihan dopamin. Atau justru vasopressin?"
"Kalau begitu, saat kita masuk awal kelas dua." Jean mencetus.
Memori Eren terlempar menuju kali pertama masuk di jenjang kedua. Ia ingat betul Jean langsung duduk di kursi depannya dan mengajaknya bicara mengenai game yang sedang naik daun. Random sekali. Padahal kenalan juga belum.
"Waktu itu aku masih menganggapmu teman. Tapi semakin ke sini, aku ..." Jemari yang menggenggam pundak gemetar. "Ck! Ini pasti pengaruh Historia dan Ymir sialan itu."
"Oh, jadi dengan kata lain, kau ingin mengikuti jejak belok Historia? Aku lebih suka jika kau mencontoh jalan Mikasa yang hidup normal."
Kerlingan mata Jean menajam. Nada bicara Eren lebih ketus dibanding biasanya. Ia mafhum, tapi tetap tak bisa terima begitu saja.
"Jika kau memahami pandangan seperti itu, aku tak masalah."
Ruang toilet masih ditempati mereka berdua. Punggung Eren membentur dinding di sisi samping pintu. Kedua lengan merengkuh tubuhnya erat. Dagu kuda bersandar di pundak yang dicengkeramnya tadi. Berawal dari punggung, semakin lama semakin bergerak turun melingkari pinggang, menuju panggul, dan—
Eren menangkapnya.
"Apa yang kau lakukan, Muka Kuda?"
Bahkan ketika suara Eren mendalam, Jean tidak gentar. Ingatannya memutar balik pada saat lalu menangkap Historia dan Ymir bersetubuh di kelas. Memori yang masih belum bisa dibuang sepenuhnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/117392902-288-k928065.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Roomchat [HIATUS]
Fanfic"Dunia maya tempat yang misterius. Dunia dimana kita bisa mengarang apapun sesuka hati, tanpa perlu takut ketahuan berbohong." [Requested] [WARN: R18+ BXB, HAREM] Disclaimer: Hajime Isayama, slight Fujimaki Tadatoshi :> Cover cr © Artist