Part 11

779 111 14
                                    

Kepala tertunduk. Surai depan merah marun menutupi kedua mata. Tanpa berkata apapun, gadis itu memeluk Rivaille erat. Diam-diam menghirupi wangi parfum pada kausnya.

Farlan melirik sebentar. Ia yakin saat ini Isabel Magnolia memiliki banyak pertanyaan seputar wanita tadi.

"Maaf Sir Rivaille, mengejutkanmu tiba-tiba saat ada tamu. Isabel baru kembali dari Kanada dan berencana menginap di rumahmu. Bolehkah?"

"Hah? Tidak boleh."

"Kenapa?!" Isabel mendongak tiba-tiba, menampakkan wajah jelek berurai air matanya. Suara bentur mengenai dagu Rivaille. "Aniki mau mengundang cewek itu lagi ke sini?!"

Rivaille mengalihkan tatapan. "Tidak. Mana mungkin."

Isabel langsung ke topik semula—merajuk. Perempuan itu semakin mendesak agar dibolehkan menginap. Ia hafal betul bagaimana kepribadian Rivaille, bahkan jawaban yang akan dikeluarkan pria itu. Berbagai alasan sudah ia siapkan sebelum pesawat mendarat.

Farlan hanya sebagai saksi perdebatan mereka berdua. Si pemuda siap menampung Isabel bila Rivaille bersikukuh menolak. Dan siapa sangka pria tiga puluhan tersebut akhirnya luluh. Isabel bersorak lepas. Senyum lebar menghias bibirnya, padahal semenit lalu nyaris seperti orang patah hati.

"Tapi kau tidur di ruang tengah. Jangan coba-coba masuk ke kamarku."

"Siap!" Isabel memberi hormat.

"Kalau begitu, aku pulang ya. Oi, ini barang-barangmu," celetuk Farlan seraya menurunkan tas Isabel dari kedua pundaknya.

"Okai! Makasih ya, Farlan!"

Membungkuk pamit, pemuda itu menatap kosong. Sosoknya lenyap di balik pintu tanpa sepatah kata terucap dari bibirnya.

.

.

"Kamu mau ke mana lagi, Eren?"

Langkah Eren berhenti seiring dengan suara sang ibu dari dapur. Ia bergegas menghampiri Carla—berniat pamit sekaligus mengintip masakan apa untuk makan malam bersama ayah nanti. 

"Aku mau latihan dulu, Bu."

"Hee. Ibu tidak tahu kalau Sabtu kamu juga latihan."

"Tiap Sabtu minggu ketiga lebih tepatnya. Yah, meski aku juga sempat lupa tadi kalau ketua tidak koar-koar mengingatkan di grup."

Carla tertawa geli—menyahut cengiran di wajah putranya. "Padahal baru saja ibu mau mengajakmu masak juga."

Pupil kehijauan menyapu seisi dapur. Piring-piring telah ditata secantik mungkin, siap untuk diisi. Baik sisi kiri maupun kanan penuh oleh potongan bahan makanan, mangkuk adonan goreng-goreng, dan yang lain. 

Eren meletakkan sejenak tas selempangnya. Pelan-pelan ia keluarkan kue dari dalam kotak. Makanan manis berporsi empat orang tersebut ditatanya di atas piring. Tak lupa peralatan makan juga turut disusun sedemikian rupa. 

Setidaknya ada yang bisa Eren lakukan sebelum dia pergi latihan. 

.

.

Latihan basket kali ini tidak seperti yang Eren duga. Dan sungguh, ia ingin melarikan diri sekarang juga.

Cahaya kejinggaan menembus ventilasi gedung olahraga. Tiap-tiap ruang dibiarkan meremang. Suara kecap lidah dan becek liur menjadi pengganti sementara, sampai suasana yang mereka bangun hancur. Entah oleh keinginan salah satunya atau gangguan anggota klub yang sembarangan menerobos masuk. 

Dugaan sang pimpinan klub benar. Pemuda surai brunet mendorong dadanya dari bawah dengan tangan gemetar. Ia melempar wajah menatap dinding—terlalu malu untuk bertemu tatap dalam jarak yang nyaris satu sentimeter. 

Roomchat [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang