Part 25

471 57 1
                                    

Talkshow malam itu tengah menampilkan bincang-bincang dengan salah satu pengisi suara tersohor. Berdiskusi betapa padat jadwal pengisi suara tersebut beserta diagram acara-acara yang harus diisi. Semula, hal itu menarik perhatian Isabel-sebagian besar karena paras tampannya.

Namun, seseorang yang menurutnya paling tampan kini ada di sampingnya, tengah memberi pandang. Tidak biasa untuk Isabel menerima arah mata lembut dan sabar menanti dari Rivaille. Dia memang mendambakan hal ini sejak dulu, tapi tetap saja. Bola mata yang dingin, tak sabaran, dan penuh caci-maki sangat cocok untuk pria tersebut.

Isabel tak tahu harus bersikap bagaimana.

"A-anu, Aniki sepertinya lagi senang ya?" Isabel melirik, berusaha menyipit depan mata Rivaille, tapi gagal. Ujung-ujungnya ia kembali menunduk—menciut.

"Tidak juga," balas Rivaille, bohong. "Kau mau bilang apa tadi?"

"E-enggak ...," Isabel menyelipkan rambutnya di balik telinga, "sebenarnya tidak terlalu penting juga sih. Kemarin, Farlan bilang ... dia menyukaiku."

Dua kata terakhir seolah membuat suara Isabel tertelan jantungnya yang semakin bertalu-talu. Ke mana keberaniannya tadi? Jangan-jangan ikut lepas bersama teriaknya tadi?

"Terus? Belum kau jawab?" Rivaille membuka mulut.

Isabel menggeleng. "Aku bingung karena aku sudah memiliki orang yang kusuka, tapi dia mau menunggu kok."

Rivaille mendengung. Ia beranjak menuju dapur, mengambil segelas air. Kakinya melangkah kembali ke tempat semula sambil menenggaknya.

"Makanya, karena aku menyukai Aniki, jadi aku tak tahu harus bilang apa." Isabel menggumam.

Tapak Rivaille berhenti. Memandang rupa Isabel yang perlahan menengok. Semburat kemerahan mengisi ruang di balik kulit wajahnya, tertunduk malu. Gadis itu tidak sengaja-sempat terpikir dalam benak pria tersebut. Namun, melihat mimik si mahasiswi, Rivaille sedikit sangsi.

"Bilang saja kalau kau menyukai ... ku," ucap Rivaille sesantai mungkin.

"Si bodoh itu sudah tahu dan ... apapun jawabanku nanti, semua akan terasa salah." Telapak tangan mengerat. Ia kembali memberanikan menatap Isabel. "Jadi, apa jawaban Aniki?"

Rivaille tahu pertanyaan itu mengacu pada pengakuan Isabel tadi. Ia menenggak sampai habis. Jejari mendarat pada pucuk kepala teman masa kecilnya. Mengusap lembut, sedikit mengacak surai-surai kemerahan itu. Rasa hangat mengalir sampai menyentuh dada perempuan tersebut. Menyesakkan. Isabel seakan sudah mendapat balasannya.

"Kau tak pernah berubah dari dulu. Semua kau ceritakan padaku" ucap Rivaille, tersenyum tipis. Hidungnya mendengus. "Aku menghargai perasaanmu, terima kasih, tapi sekarang aku sudah tertarik dengan seseorang."

Rivaille kembali ke dapur untuk mencuci gelas. Saat itu pula, perempuan di depan televisi menoleh cepat. Iris yang berkaca-kaca itu menatap punggung berbalutkan kaus berlengan tiga per empat tersebut.

"Itu artinya, aku ditolak?!" seru Isabel.

Rivaille menengadah, menatap Isabel dari sudut mata. Senyum tipis terbentuk di sana.

Pertanyaan yang retorik.

"Kau pasti sudah cukup pintar untuk mengetahuinya kan?"

.

.

Ponselnya menggelap. Bola mata hitam menyapu lansekap di depannya, di mana keramaian mulai menjejali lingkungan sekolah. Mencari sosok pria yang ditunggu-tunggu sejak tadi dalam kerumunan para murid hingga berjinjit setinggi-tingginya.

Roomchat [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang