Part 14

608 90 2
                                    

Kelopak mata terbuka perlahan. Badan menegak dengan otot punggung dan lengan yang kaku, mata mengerjap. Sesuatu meluncur jatuh dari puncak kepala.

"Ah, sudah bangun ternyata."

Suara Mikasa merasuki pendengaran. Eren spontan menoleh, mendapati kedua sahabatnya duduk di sisi kanan.

"Kertas-kertas sampah itu Jean yang lemparkan karena kau tak bangun-bangun sejak pelajaran bahasa Inggris," jelas Armin. "Oh, dan permen karet itu. Connie dan Sasha juga ikutan tadi."

Eren meraba rambutnya. Ada tiga kunyahan permen karet yang menempel. Eren tarik dengan paksa. "Sir Erwin tidak membangunkanku?"

Mikasa menggeleng. Kemudian menyodorkan buku catatannya. "Kau bisa pinjam punyaku."

"Makasih," Eren lekas memasukkannya ke dalam tas.

"Pertama kalinya ya, Eren. Kau tidur di kelas sampai pulang sekolah, terlebih usai dipanggil dari ruang BK. Cewek-cewek fansmu itu sudah berusaha membangunkanmu berkali-kali. Ada apa?" tanya Mikasa.

Ia masih mengingat cara menyebalkan para penggemar Eren yang justru membangunkan dengan kilat flash—modus biar sekalian foto diam-diam—jerit-jerit, dan tepukan manja.

Pandangan Eren mengarah ke jendela. Semburat tebal keoranyean mewarnai langit. Kelas hanya berisi mereka bertiga. Maka Eren membereskan barangnya dan beranjak dari kelas, diikuti oleh Armin dan Mikasa.

"Aku cuma... takut. Karena itu aku akan mengundurkan diri dari klub basket besok," jawab Eren, menyusuri lorong kelas.

"Hah? Kenapa tiba-tiba?!" Armin membelalak.

Tak ada jawaban dari Jaeger belia. Mikasa menyipit curiga. "Apa ini ada hubungannya dengan panggilan ruang BK tadi?"

Bibir Eren masih membungkam. Namun Mikasa sudah sedikit tahu jawabannya.

.

.

"Eren sayang," panggil Carla setelah memberi ketukan singkat. "Boleh Ibu bertanya sesuatu?"

Di meja belajar, tangan Eren berhenti menulis sejenak. Ia memutar kursi menghadap sang ibu yang berdiri di ambang pintu. "Kenapa, Bu?"

"Apa kamu punya kontak kapten tim lawan sekolahmu dalam tanding kemarin? Rencananya Ibu akan mengundangnya untuk makan malam besok."

Alis terangkat. Iris zamrudnya membola. Sepintas ia mengerling ke arah ponsel yang tergeletak di nakas.

"Untuk apa, Bu?"

"Sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolongmu."

Detik setelahnya, Carla tidak menyangka akan mendengar decak pertama dari lidah Eren. Badannya kembali membelakangi sang ibu.

"Tak punya. Lagipula ibu tak perlu repot-repot hanya karena dia membawaku ke UKS."

Gelagat dan nada kalimat yang terdengar acuh menampakkan jelas bahwa Eren sama sekali tidak berniat untuk melanjutkan pembicaraan lebih lanjut. Carla mengangguk pasrah. Ia tahu ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran sang putra, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat.

Pintu kamar menutup. Carla belum beranjak dari situ. Situasi emosional Eren sekarang pernah ia rasakan. Menjadi sebuah pertanda yang sangat menjejakkan kesan negatif.

Sebab itu ia bergegas menemui Grisha—selaku yang berpengalaman dalam bidang penyembuhan—di lantai bawah, meminta bantuan sekali lagi.

Sudah mulai waktunya. Penyembuhan psikologis.

.

.

"Hei... sudah saatnya kau bilang padaku kan, Akashi-kun?"

Roomchat [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang