Buru-buru, Rivaille menurunkan topinya, hingga menutupi seluruh dahi. Hanya bagian cukuran rambut tipis yang masih terlihat. Ia semakin menaikkan maskernya sambil memalingkan mata, tanpa sadar berjalan lebih cepat melewati Erwin.
Sebelum pria itu menabrak dinding, Erwin menangkap sigap. "Oi, oi, Rivaille! Kau kenapa?" Ia berbisik tegas.
"Dia melihatku," wajah Rivaille kian memendam, "Dia melihatku, Erwin."
Pria pirang klimis tersebut menoleh, mengamati gerak-gerik Eren yang berlalu. "Tapi dia tidak mengenalimu, kan?"
"Dia pasti tahu, karena kita pernah bertemu! Dan aku masih belum siap minta maaf padanya!"
Erwin mendesah pasrah. Bukan pertama kali Rivaille merepotkannya. Ia sudah sering diminta Rivaille memata-matai murid bernama Eren Jaeger dan membeberkan informasi yang didapat. Setiap hari begitu dan untuk suatu alasan, Erwin menikmatinya.
"Sudahlah. Penyamaranmu itu berhasil, Rivaille. Rambut dan seluruh mukamu nyaris tertutup, jadi tak akan dikenal Eren," hibur Erwin seraya menyeret Rivaille masuk ke gedung olahraga.
"Kita duduk di pojok saja, Erwin," ucap Rivaille lemas, "Tapi kau jauh-jauh dariku."
"Iya, iya."
.
.
Skor 7-4. Rakuzan-Maria.
Gedung olahraga dipenuhi suara perintah dari masing-masing tim, dibarengi decit sol sepatu kets saling bergesek dengan lantai. SMA Rakuzan menyerang tak ada ampun. Baik teman maupun lawan bisa merasakan tekanan dari seorang kapten.
Tambah lagi satu skor untuk tim lawan.
Jarak angka mereka semakin melebar.
Farlan menyeka banjiran peluh dari pelipis. Lirikannya jatuh pada papan nilai. Sebagai kapten, ia harus lebih mengarahkan timnya untuk membalik keadaan.
Saat itu, Eren melangkah mundur setelah gagal memasukkan bola. Tidak. Hampir berhasil, karena hasilnya benda bundar itu hanya mampu berputar-putar di sepanjang ring dan terjatuh ke luar. Kaki jenjang pemuda itu menapak sejajar dengan sang kapten.
"Tadi itu nyaris! Tak apa, Eren! Dengan shoot dari tengah lapangan, kita bisa mengejar ketertinggalan!" Farlan berseru menyemangati.
Eren menoleh. Ia yakin sekali, penglihatannya masih jernih dan belum memerlukan kacamata. Gendang telinga masih berfungsi sangat baik pula. Bahkan hela nafas pemain di sekitar dapat ditangkapnya. Namun, pandangan buram, sedetik kemudian jelas kembali.
"Eren?" Farlan melambaikan tangan.
"Eh? Ah, iya. Selanjutnya aku akan berusaha."
Ada yang aneh. Cara berjalan Eren sedikit oleng. Mengira hanya ilusi, Farlan tak terlalu memedulikan dan tetap berlari.
Beda dengan Rivaille. Kesampingkan usianya, mata itu mampu menangkap jelas perubahan pada Eren, dari bangku pojok paling atas sekalipun.
Tidak. Sejak awal pertandingan, kristal obsidian kelam tak lepas dari si pemuda brunet.
Erwin baru kembali dari kios makanan depan sekolah. Sebotol limun dan kopi kalengan tergenggam di masing-masing tangan. Rivaille menerima salah satunya ketika disodorkan.
"Erwin. Muridmu. Dia nampak tidak beres."
"Maksudmu Eren?" Erwin melongokkan kepala, sibuk mencari keberadaan Eren yang tengah menggiring bola melewati Mibuchi Leo. "Dia baik-baik saja."
"Aku yakin, sesaat tadi ia hampir jatuh."
"Lalu? Kenapa di saat itu kau tidak cepat-cepat menghampirinya, Rivaille?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Roomchat [HIATUS]
Fanfiction"Dunia maya tempat yang misterius. Dunia dimana kita bisa mengarang apapun sesuka hati, tanpa perlu takut ketahuan berbohong." [Requested] [WARN: R18+ BXB, HAREM] Disclaimer: Hajime Isayama, slight Fujimaki Tadatoshi :> Cover cr © Artist