Part 18

562 79 19
                                    

Corolla Altis hitam membunyi sensornya kurang dari sedetik, ketika kunci mobil ditekan. Erwin melangkah cepat dan membukakan pintu bagian depan kursi penumpang. Eren mengangguk kecil sebagai isyarat terima kasih, meski tak mau sang guru repot-repot melakukan itu.

Eren menghempas tubuh di atas bantalan jok kursi yang empuk. Wewangi lemon terasa lembut dan melegakan pernapasan, lumayan menenangkan pikiran. Ia nyaris lupa tata krama—justru malah melebarkan kedua paha dan hendak menaikkan satu kaki.

Sabuk pengaman dikenakan. Mobil melaju meninggalkan pelataran parkir sekolah yang telah sepi.

Pilgrim milik Enya mengalun pelan dari stereo. Menemani perjalanan mereka berdua sore itu dalam kesenyapan. Eren memalingkan wajah, mengamati pemandangan sedikit kabur dari jendela samping.

"Sir, anu ... di daerah mana Anda tinggal?" tanya Eren, tanpa sedikit pun menoleh.

Bola mata biru cerah bergulir, mengamati si anak didik dari sudut mata. Untuk sejenak ada jeda yang mengisi kekosongan udara. "Trost."

Eren manggut-manggut.

"Saya ada sekitar jam tujuh malam ke atas. Di Jalan Rose, apartemen nomor 7."

Suara lembut Enya masih lembut mengalir. Dahi Eren mengernyit. Tatap mereka bertemu. Tersurat keheranan yang menyelubungi iris hijaunya.

Erwin ikut bingung dengan cara tatap Eren, hingga sekejap kemudian mengerti. Tawanya berderai canggung. "Ah maaf. Saya kira kamu mau berkunjung."

"Bukan, bukan. Saya cuma bertanya...." Eren membalas kikuk sambil menggaruk tengkuk. Ia kembali mengamat ke luar jendela.

Wewarna langit memudar perlahan, berganti biru tua sebelum sepenuhnya diselimuti selubung hitam. Lajuan mobil mengencang membelah jalan raya. Diam-diam Eren menyerapi lirik dari lagu yang terputar. Bagian The reason why the winds die. And where the stories go terdengar lamat-lamat, kemudian menggelap.

.

Jalan roda terhenti di depan rumah berplakat Jaeger. Menarik rem, Erwin menengok mendapati anak di sebelahnya terpejam.

"Eren, bangun. Sudah sampai," bisik Erwin seraya menggoyangkan pundak Eren agak kencang.

"Nnng ...." Eren menggeliat kecil. Kelopak tak sedikit pun terangkat. Kepalanya meneleng ke arah Erwin, tanpa sandaran apapun. Refleks pria bersurai pirang itu menarik tangannya.

Sang guru menghela napas pendek. Iris biru cerah tersebut menilik kembali garis-garis wajah Eren. Dengan sangat berhati-hati ia putuskan untuk mengabadikannya lewat jepretan lensa ponsel. Demi Rivaille, dalihnya.

Namun, rupa manis itu menjadi candu. Dua detik lebih Erwin telaah tanpa melewatkan satu titik pun. Dalam waktu selama itu, sang guru telah menemukan spot favoritnya sekaligus yang membuatnya penasaran.

Bulu mata dan bibir.

Satu kecupan, membekas di sudut mata. Satu lagi berhasil mencuri sedikit napas si pemuda. Terasa agak lama—kekenyalan dan ranumnya bibir yang menagih—membuat bola mata dalam kelopak bergerak-gerak.

Manik hijau masih menyesuaikan keadaan luar yang telah menggelap. Diam, berusaha membaca situasi. Roda tak lagi melaju di jalan beraspal lingkungan rumah. Ia mulai percaya akan firasat dalam diri. Wujud kediamannya telah tampak di sisi kanan jalanan.

"Oh, sudah sampai ternyata," gumam Eren. Ia buru-buru melepas sabuk pengaman dan memanggul tasnya. Ia melangkah keluar dari mobil, membungkukkan tubuh kepada Erwin yang bersandar di bagian setir. "Terima kasih sudah repot-repot mengantar saya, Sir."

Roomchat [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang