Autumn Anterograde 4: Le Passé

3.6K 665 88
                                    

Wonwoo melihat dua orang di depannya dengan tatapan bingung. Seperti mengerti keadaan, ia dengan cepat menyambar sticky notes merah muda yang sedari tadi disodorkan oleh Minkyung. Tidak terlalu ambil pusing dengan kejadian serba mendadak di sekitarnya, Wonwoo melangkahkan kaki lebar-lebar hingga ia lupa mengucap pamit kepada Minkyung dan meninggalkan Mingyu yang masih saling lempar pandang dengan Minkyung. Di pikirannya hanya berkecamuk tentang satu buket lily putih campur merah muda dan bertemu dengan Minwoo secepat yang ia bisa.

"Ah Wonwoo, dimana Wonwoo?" Mingyu tiba-tiba panik menyadari bahwa pemuda manis itu telah pergi beberapa menit yang lalu.

"Mingyu-ya, aku tidak salah 'kan?" tanya Minkyung yang sekarang sudah menahan pergelangan tangan Mingyu.

"Apa selama ini kau menjaganya? Mencoba menebus setelah ia kehilangan segalanya?" Mingyu memang tidak menaikkan intonasi kalimatnya, tetapi dari setiap penekanan kata yang dilontarkan, Minkyung tahu bahwa lelaki di hadapannya tengah menahan amarah.

"Aku tidak pengecut seperti kau yang ketika membuat ia kehilangan semuanya, kau malah pergi entah ke belahan dunia sebelah mana. Mengambil setiap jadwal penerbangan luar negeri. Mencoba berlari sejauh-jauhnya dari Wonwoo karena rasa bersalahmu. Sadarlah, Kim!" Minkyung memberondong Mingyu dengan berbagai pernyataan yang membuat lelaki itu bungkam pada akhirnya.

~~~

Matanya kembali basah saat berlutut di makam kecil di hadapannya. Mengabaikan setiap sesak yang menjalari paru-paru, Wonwoo akan selalu menyempatkan diri berbicara kepada putranya meski tahu ia tidak pernah didengar dan mendapat balasan.

"Mom tidak pernah tahu bahwa kehilangan rasanya sesakit ini Minwoo-ya." ujarnya sambil sesekali terisak dan mengusak matanya dengan kasar.

Jemari lentik Wonwoo begitu cekatan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar makam putranya. Membersihkan marmer hitam tempat dimana nama putranya tertulis dengan rapi. Wonwoo tidak pernah ingat seperti apa prosesi pemakaman putranya, tidak ingat kapan terakhir kali mereka bergenggaman tangan, bahkan ingatan tentang rupa Minwoo di kepala Wonwoo pun mulai mengabur. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari seorang Ibu yang berusaha mempertahankan ingatan-ingatan tentang wajah rupawan buah hatinya.

"Hhh... Hhh... Kau di sini rupanya. Hei mengapa kau meninggalkan aku di sekolah tadi." Suara terengah dan tepukan halus di bahu menarik atensi Wonwoo yang sejak tadi bergeming.

"Eh, Mingyu. Kau menyusul? Dari mana kau tahu? Aah, apa Minkyung Saem memberitahumu?" Lelaki yang ditanya hanya menganggukkan kepala ringan.

"Kau bilang, putramu bersekolah, tapi ini mengapa...?" Mingyu tidak meneruskan kalimatnya karena ia bingung kata-kata apa yang sopan untuk dilontarkan.

Wonwoo memasang wajah bingung, meremat buket bunga lily di tangannya, wajahnya tampak pias dengan manik mata hitam kelam yang mulai berkaca. Mingyu mendekat langkah demi langkah, memberi usapan pada lengan atas milik pemuda manis di depannya, perlahan mulai merengkuh Wonwoo dalam pelukannya. Tak butuh waktu lama tangis Wonwoo pun pecah diiringi isakan yang menggambarkan betapa sesak dadanya.

"A...a-aku ingin mengenang Minwoo setiap hari Mingyu. Aku ingin ketika terbangun dari tidurku, aku berada pada keadaan dimana aku masih memiliki Minwoo." Kata-kata yang Wonwoo ucapkan sangat mengiris hati Mingyu saat ini, ketika rasa bersalah terus menggelayuti benaknya tanpa habis.

~~~

Mingyu mengantarkan Wonwoo ke apartemen sederhananya dan dengan mudah Wonwoo mempersilakan masuk kepada lelaki yang baru dikenalnya pagi tadi. Seperti ada benang merah tak kasat mata yang saling mengikat di antara jari kelingking mereka, Wonwoo tenang dan merasa telah mengenal Mingyu pada ribuan hari sebelumnya.

Mata Mingyu menatap setiap sudut apartemen Wonwoo, pigura kecil berisi foto-foto Wonwoo dan Minwoo, mulai dari foto Minwoo saat bayi, saat belajar merangkak, ketika belajar berjalan dengan merambat dinding, dan ketika Minwoo yang sedang dimandikan Wonwoo, semuanya tersusun rapi di sebuah lemari kaca kecil ruang tamu. Sedangkan sang pemilik apartemen terlihat begitu sibuk di dapur mungilnya, membuatkan dua gelas cokelat hangat untuk dirinya sendiri dan tamunya.

"Maaf Mingyu kau tidak keberatan kan jika kubuatkan segelas cokelat hangat? Aku tidak pernah memiliki kopi di kabinet dapurku, karena yah lambungku tak terlalu berkompromi dengan kopi." ujarnya diselingi senyuman ringan dengan mata yang masih sembap dan hidung bangir yang memerah.

"Tidak apa-apa, cokelat tidak buruk dan asal kau tahu aku bukan pecinta kopi, aku lebih suka teh bunga chamomile." Wonwoo sedikit terhenyak dengan teh chamomile yang terdengar tidak asing di telinganya, tentang seseorang yang setiap kali singgah selalu mencari kedai teh terkenal hanya untuk secangkir teh bunga chamomile.


.
.
.
.
.


"Hyung, apa kau sudah sampai di Quebec? Jangan lupa titipanku ya Hyung." ujar sebuah suara yang terdengar ceria di seberang sana.

"Sudah kudapatkan adik kecil, sebuah pembatas buku yang kau idamkan sejak dulu. Tenang saja." Lelaki yang lebih dewasa di sini menjawabnya dengan penuh afeksi sambil menyesap secangkir teh chamomile.

"Berhentilah memanggilku adik kecil, Hyung. Usia kita hanya berbeda 3 tahun. Aku bahkan sudah lulus Senior High School!" Suara renyah nan ceria di seberang sana sekarang terdengar kesal karena lelaki yang ia panggil Hyung terus saja menggodanya.

"Kau tetap rubah kecilku sampai kapan pun adik manis!" Lelaki di sini kembali terkekeh mendapati adiknya semakin kesal.

"Dan kau tetap beruang coklat besar yang menyebalkan. Akan ku adukan pada Ibu. Lihat saja. Oh jangan lupa, aku baru saja mendapat sabuk hitam Karate. Akan kupatahkan tulang hidung yang selalu kau banggakan itu!" Telepon pun terputus menyisakan semburat senyum manis di bibir lelaki yang sedang menyesap teh chamomile miliknya.

.
.
.
.
.

"Mingyu? Kau tersenyum sendiri, ada apa?" Wonwoo mengernyit heran sambil menyodorkan segelas cokelat hangat yang baru saja ia buat.

"Ah ini, putramu sangat lucu. Wonwoo-ya, foto ini siapa yang mengambilnya?" Jari telunjuk Mingyu mengarah pada foto Minwoo yang sedang dimandikan Wonwoo.

"Bagaimana ya, aku tidak terlalu ingat. Mungkin ayahnya Minwoo." ucapan Wonwoo kali ini sukses membuat hati Mingyu mencelos.



To be continued



P.S.

How about this part? Kira-kira sudah bisa menduga belum benang merah di antara mereka?

Selamat membuka kotak pandora!

Autumn Anterograde [Meanie] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang