Masih sama seperti hari-hari kemarin, Wonwoo akan kembali ke apartemennya pada sore hari dengan mata sembap karena menangis seharian di makam Minwoo. Namun kali ini ada yang berbeda, ia pulang bersama dengan Mingyu. Dengan ingatan-ingatan lamanya yang telah kembali. Mingyu membiarkan Wonwoo berjalan beberapa langkah mendahuluinya, ia tidak lagi egois untuk memaksa Wonwoo berada dalam dekapannya terus-menerus. Langkah Mingyu terhenti ketika melihat sebuah mobil sedan hitam di pelataran parkir pemakaman dengan Seungcheol yang tengah bersandar sambil melipat tangannya di depan dada. Sedangkan Wonwoo masih menunduk tidak menyadari kehadiran kekasihnya.
"Sayang ..." Akhirnya Seungcheol membuka suara untuk menyapa Wonwoo yang telah berdiri tak jauh darinya, menarik kembali pria manis itu dari lamunannya.
"Hyung ... Sudah datang menjemput?" Wonwoo tersadar dan segera mempercepat langkahnya menghampiri Seungcheol, memberikan pelukan erat pada lelaki dengan kemeja abu-abu muda yang lengannya tergulung sampai siku.
Seungcheol membawa Wonwoo dalam pelukannya. Namun pandangannya jatuh pada Mingyu yang berhenti dan berdiri beberapa meter darinya. Ia bertanya hati-hati kepada Wonwoo yang kini menenggelamkan wajah pada dada bidang miliknya. "Kau bersama Mingyu hari ini?" Nada bicara Seungcheol melembut serupa bisikan kehati-hatian yang ia lontarkan untuk Wonwoo.
Seungcheol dapat merasakan gerakan kepala Wonwoo yang mengangguk disertai suara parau khas orang yang baru saja selesai menangis. "Iya. Mingyu-hyung menemaniku, dengan Minkyung-noona juga."
"Perempuan itu?" Seungcheol menegaskan lagi pertanyaannya, berharap jawaban Wonwoo salah.
"Iya, hyung. Sudah tidak apa-apa, aku sudah lebih baik. Jangan khawatir." Wonwoo menengadahkan kepalanya menatap manik mata Seungcheol yang terlihat panik. Lelaki yang memeluk Wonwoo itu balas menatapnya, mencari sebuah ketakutan dalam manik mata rubah tajam yang kini terlihat sayu. Ia tak mendapatkan apapun. Seungcheol hanya melihat ketulusan dan binar penerimaan dalam tatapan mata itu. Perlahan ia mengangguk dan membawa Wonwoo masuk ke dalam mobilnya.
Deru mesin mobil itu meninggalkan Mingyu yang kini mulai melanjutkan langkahnya. Menyusuri jalan menuju ke sekolah Minwoo untuk mengambil kembali mobil yang ia tinggalkan pada pelataran parkir sejak siang tadi. Mingyu tertawa miris, menertawakan betapa ia bahagia saat Wonwoo mau memanggilnya dengan sebutan hyung, ia pikir akan ada celah untuk membuat Wonwoo-nya kembali. Tetapi kenyataannya semua memang tidak sama lagi. Mingyu kembali menyampingkan egonya, mencoba mengabaikan perasaan cintanya yang sangat terlambat untuk Wonwoo. Kehidupan telah benar-benar berputar.
~~~
Seungcheol sedang sibuk di dapur apartemen Wonwoo, terhitung beberapa hari sejak Wonwoo kembali dari rumah sakit ia memang menginap di sini untuk menjaga Wonwoo-nya dari dekat. Ia berjalan pelan-pelan menghampiri Wonwoo yang sedang duduk di single sofa ruang baca kecilnya, menghadap ke jendela apartemen menatapi dengan lekat langit yang berubah kemerahan.
"Teh chamomile, agar lebih tenang." Seungcheol menyodorkan cangkir putih ke arah Wonwoo, aromanya harum dan asap masih mengepul melambai-lambai.
"Bisakah aku meminum cokelat hangat saja? Biasanya aku juga meminum itu, bukan teh chamomile." Telapak tangannya menampik dengan pelan cangkir yang disodorkan oleh Seungcheol, seakan-akan menegaskan bahwa tak perlu lagi ada sisa kebiasaan Mingyu mengintervensi kehidupannya.
"Baiklah aku akan membuatkannya untukmu." Seungcheol kembali beranjak meninggalkan Wonwoo sendirian.
Wonwoo menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya untuk memenuhi rongga paru-paru yang sejak tadi terasa sesak. Ia tak pernah sekali pun menaruh dendam pada Mingyu atau bahkan berniat membuat hyung kesayangannya itu merasa bersalah. Tidak sama sekali. Kata maaf telah lebih dulu Wonwoo berikan untuk kakak lelaki satu-satunya itu jauh sebelum ingatannya menghilang. Wonwoo hanya ingin Mingyu berhenti memperjuangkan dirinya. Memberi jeda dan tidak lagi campur tangan dalam hari-hari yang Wonwoo jalani selanjutnya, meski ia tahu ingatannya hanya akan berjalan di tempat. Ia ingin kembali dengan Mingyu, bukan sebagai orang tua Minwoo. Tetapi sebagai kakak beradik seperti masa kecilnya dahulu. Ketika cinta yang terjalin sebatas cinta platonis bukan romansa yang berbelit-belit. Lagipula ketiadaan Minwoo telah menjadi satu alasan kuat bahwa mereka tak perlu lagi terikat.
~~~
Mingyu menatap pintu unit apartemen di sebelahnya, menebak-nebak sedang apa Wonwoo di dalam sana. Ia tahu Wonwoo dan Seungcheol telah pulang, karena ia memarkirkan mobilnya tepat di sebelah sedan hitam yang ia yakini milik Seungcheol. Pada akhirnya ia hanya akan menghela dan mengembuskan napas panjang lalu kembali masuk menuju unit apartemennya sendiri. Esok ia akan kembali menemani Wonwoo menjemput Minwoo di sekolah dan pergi ke pemakaman hingga sore hari. Mingyu tidak akan memaksakan diri untuk menggapai Wonwoo, seperti pasir semakin digenggam erat malah akan membuatnya cepat hilang, menguar dari celah-celah jemari tangan. Dan Mingyu mulai mengerti bahwa cinta semestinya membebaskan.
Seketika ingatannya terlempar jauh pada masa ia masih bersama dengan Wonwoo. Perlakuan Wonwoo yang selalu membuatnya nyaman, menjaga Mingyu dengan sewajarnya, tak menuntut. Ketika ia selalu terbangun dengan badan dan baju yang bersih serta sepatu yang telah ditanggalkan, bahkan terkadang dengan selembar selimut yang menutupi tubuh tingginya pada pagi hari setelah malamnya ia menghabiskan waktu untuk mabuk. Begitu lembut dan manis perangai Wonwoo dalam memperlakukannya. Mingyu terlampau tidak tahu diri atas hak kebebasan yang ia dapat dari Wonwoo kala itu.
Mingyu mengambil telepon selular miliknya mencoba membujuk sang ibu agar menyediakan waktunya untuk kembali menjalin hubungan yang wajar antara seorang ibu dan anak dengan Wonwoo. Karena saat menjemput Wonwoo dari rumah sakit, Nyonya Kim hanya diam sepanjang perjalanan. Melempar tatap sendu kepada putra manis kesayangannya. Percakapan mengalir dalam suasana haru antara Mingyu dengan Nyonya Kim, di seberang sana sang ibu tersedu dan menyetujui untuk menemani Wonwoo mengunjungi makam Minwoo esok hari. Karena selama ini keluarga Kim belum pernah sekali pun menengok makam bocah kecil nan lucu berambut jamur itu sejak tiga tahun yang lalu. Setidaknya satu langkah telah Mingyu tempuh untuk mengembalikan ikatan keluarga Kim yang harmonis seperti dulu, dan yang paling penting Wonwoo tidak akan lagi melalui segalanya sendirian. Mingyu akan membahagiakan Wonwoo entah sebagai apa perannya.
To be continued
P.S.
Chapter ini hampir semuanya narasi. Bosenin nggak sih? Aku ambil karakter Wonwoo di sini lebih realistis gapapa ya? Feel free to judge me. Tbh, aku nggak terlalu suka dengan karakter yang "bucin banget". Udah disakitin berkali-kali, terus atas nama cinta yaudah terima-terima lagi aja. Apalagi nyakitinnya selevel perlakuan Mingyu di chapter-chapter awal sampe taruhannya nyawa. Dan untuk yang kasian sama Mingyu aku ingetin lagi di sini sebesar apa kesalahan dia dan sebaik apa Wonwoo dulu memperlakukan dia.
"Eh author! Tuhan aja maafin kesalahan hamba-Nya."
Ya 'kan Wonwoo di sini hanya manusia biasa, bukan Tuhan ehehehe.
Maafkan aku jika story ini membuat perasaan kalian teraduk-aduk. Membuat naik turun serasa di rollercoaster. Membuat ibu jari kalian nggak tahan untuk ngetik sumpah serapah. Maaf sekali lagi, maaf dari lubuk hati paling dalam.
Masih ada satu unsur penting dalam kotak pandora yang gak boleh kalian lupakan yaitu "Hope atau Harapan".
So, let's see. Berharaplah setinggi-tingginya.
Selamat membuka kotak pandora!
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Anterograde [Meanie] ✓
FanfictionDunia repetitif milik Jeon Wonwoo tidak akan pernah sama lagi sejak datangnya Kim Mingyu. Jabatan tangan hangat milik lelaki itu yang akan membuat Wonwoo mencatat lebih banyak lagi. Serta tatapan mata mengunci milik Mingyu yang nantinya membuat Wonw...