"Wonwoo-ya, kau ingat Ayah?" Suara serak pria paruh baya yang sejak tadi diam seketika mengudara. Membuahkan anggukan dari Wonwoo yang bersimbah peluh di sekujur tubuh kurusnya. Kyungsoo tak perlu berkali-kali melakukan terapi pada pria manis itu, nyatanya kenangan memang tak sabar untuk menyeruak ke permukaan.
Mingyu mengatupkan bibirnya membentuk senyum tipis yang miris, manik mata cokelat tua itu tampak berkaca memantulkan lampu-lampu ruang terapi. Hanya satu kali sentakan saja maka kaca tipis yang menyelimuti mata itu akan pecah berkeping-keping, sepecah hatinya yang telah mendengar usiran nyata dari orang yang paling ia cintai. Hela napas putus-putus yang keluar dari paru-paru sang Ibu membuat ruangan itu semakin sendu.
"Aku sudah bilang, aku akan tetap di sampingmu apapun yang terjadi. Bahkan jika kau memintaku pergi sejauh mungkin. Aku akan tetap di sampingmu." Mingyu memberanikan diri untuk berbicara kepada Wonwoo yang terlihat ketakutan, menyembunyikan wajah basahnya pada lutut yang tertekuk.
"Tidak! Tidak! Kau penyebab kematian anakku, hyung." Wonwoo berbicara dengan suara seraknya yang teredam, tidak ada intonasi tinggi dalam kalimatnya, hanya ada sekelumit kesakitan dari tiap kata yang keluar dari bibir merah muda itu. Mingyu merasa hatinya menghangat, setidaknya Wonwoo memanggil dirinya dengan sebutan hyung.
Kyungsoo berdiri dan menggamit lengan Mingyu untuk keluar dari ruang terapi menuju ruang kerjanya. Membiarkan Wonwoo mengambil waktu bersama Ayah dan Ibu mereka. Mingyu mengusak wajahnya dengan kasar saat ia mendudukkan diri pada kursi di depan meja kerja Kyungsoo.
"Ingatannya sudah kembali, Mingyu. Memori sebelum kecelakaan itu terjadi sudah berhasil diingatnya. Ia tahu saat ini Minwoo telah tiada, tetapi saat ia tertidur nanti lalu terbangun, maka ia akan lupa. Hal itu akan tetap terulang terus-menerus. Ia akan tetap membeli es krim, menjemput Minwoo, membeli bunga lily, dan pergi ke makam Minwoo. Bedanya disini adalah, memori tentangmu, tentang kalian, tentang kehidupannya bersamamu sebelum kecelakaan itu terjadi ia telah ingat semuanya. Begitu juga ingatan tentang detik-detik kecelakaan yang merenggut nyawa Minwoo, ia akan mengingatnya saat ia mengetahui bahwa anak kalian sudah tidak ada. Aku tidak pernah mendapat kasus seperti ini, kasus Wonwoo sangat rumit, Mingyu." Kyungsoo membuka kacamatanya dan memijit pelipisnya dengan gusar.
"Aku akan tetap ada kali ini, hyung. Sekeras apapun ia menyuruhku pergi."
"Ini bukan masalah kau akan selalu ada untuknya. Ini masalah trauma yang dialaminya, Mingyu. Apa kau akan merasa lebih baik jika dihadapkan oleh sesuatu yang menyebabkan dirimu trauma terus-menerus? Tidak 'kan? Begitu pun Wonwoo, psikisnya tidak akan baik jika kau terus berada di dekatnya." Kyungsoo menjelaskan dengan tegas perihal kondisi Wonwoo saat ini kepada Mingyu.
Pria tinggi di hadapan Kyungsoo itu menunduk, tatapannya kosong cenderung putus asa. Ia tidak mau lagi jauh dari Wonwoo-nya, ia ingin menebus segala kesalahannya di masa lalu. "Kau yang bilang sendiri hyung, bahwa aku yang harus membahagiakan Wonwoo. Mengapa sekarang kau memintaku untuk menjauhinya?" Sekuat apapun Mingyu menahan, pada akhirnya kaca tipis yang menyelimuti manik mata cokelat itu pecah, air mata mengalir dengan lancang membasahi pipinya.
~~~
Nyonya Kim masih bertahan duduk di samping Wonwoo. Memberi usapan hangat pada punggung kurus putranya yang bergetar. "Sungguh aku ingin bersama dengan Mingyu-hyung, Ibu ... Tetapi aku tidak bisa ... Kematian Minwoo selalu membayangiku." Wonwoo akhirnya buka suara, dengan isakan yang membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa tercekat.
"Jangan dipaksakan jika memang kau tidak bisa." Sang ayah yang duduk tak jauh dari mereka membuat sebuah jawaban yang entah mengapa membuat Wonwoo merasa bersalah.
"Kau kembali tinggal bersama kami 'kan, Wonie?" Usapan itu kini berubah menjadi pelukan hangat, sebuah peluk yang selalu membuat Wonwoo merasa beruntung berada di tengah keluarga Kim. Ia menggeleng perlahan.
"Tidak Ibu, biarkan aku tinggal sendiri di apartemen." Keputusan Wonwoo membuat semua anggota keluarga Kim merasa berat hati.
Derit pintu terdengar, Kyungsoo masuk diikuti Mingyu dan seorang perawat lelaki di belakangnya. "Wonwoo akan kami pindahkan ke ruang rawat. Untuk beberapa hari ini kami akan memonitor perkembangan psikis pasca ingatannya kembali." Perawat itu hendak mengangkat tubuh Wonwoo untuk dipindahkan ke kursi roda, namun dihentikan secara tiba-tiba oleh Mingyu.
"Biar aku saja." Mingyu berkata pelan, tangan kekarnya melingkar di lekukan lutut dan punggung Wonwoo yang menegang. Sungguh perlakuan ini sama sekali bukan yang Wonwoo inginkan. Detak jantungnya berdegup tak beraturan, perpaduan antara rasa takut, marah, dan rindu yang entah kenapa sedikit menyelinap tanpa sopan santun dalam perasaan Wonwoo saat ini.
~~~
Wonwoo melihatnya, wajah tegas Mingyu yang mengangkat dirinya ke atas kursi roda. Hanya sebentar, tetapi membuat Wonwoo benci sekaligus merasa bahagia, sebuah perasaan yang teraduk tak jelas untuk seorang Kim Mingyu. Ia memejamkan matanya lalu mengembuskan napas lega setelah merasakan bahwa dirinya duduk dengan sempurna di atas kursi roda. Mingyu sudah berpindah di belakangnya, mendorong dengan perlahan kursi roda itu menuju ruang rawat yang telah diberitahu Kyungsoo sebelumnya. Wonwoo tertidur sesaat setelah ia dipindahkan ke atas ranjang. Efek obat dan lelah akibat menangis membuatnya terlelap lebih cepat.
"Kau pulanglah, Gyu. Istirahat." Sang ibu menepuk pundak anak sulungnya itu dan dibalas gelengan pelan oleh Mingyu.
"Tidak, Bu. Aku akan tetap di sini bersamanya."
"Pulanglah, ia hanya butuh waktu. Kau tidak ingin Wonwoo semakin membencimu 'kan, Gyu?" Seperti biasa, suara ayahnya selalu menjadi keputusan final yang tak terbantahkan. Mingyu mengangguk dan hendak beranjak dari ruang rawat Wonwoo.
~~~
"Jangan menangis, Wonie ..."
"Hyung tidak tahu 'kan rasanya kehilangan Eddy?"
"Mungkin hyung memang tidak sesakit dirimu, Wonie-ya. Tetapi melihatmu menangis membuat hyung jauh lebih sakit. Jadi, jangan menangis lagi ya?"
Sebuah tatapan mata penuh kasih sayang yang berbalas senyum manis dan anggukan ringan dari dua orang anak laki-laki pada pertengahan musim gugur di bawah pohon Ginkgo yang menguning. Keduanya berpelukan erat melawan angin yang berembus menusuk tulang, menautkan dengan erat jari-jemari kecil milik mereka seakan-akan mereka selalu siap menghadapi dunia bersama-sama. Mingyu telah mencintai Wonwoo jauh sebelum ia mengerti makna cinta itu sendiri dan Wonwoo tahu, Wonwoo menyadarinya.
~~~
Mingyu bangun dari duduknya, bunyi kursi yang berdecit lalu pintu yang tertutup tak lama setelahnya menandakan bahwa pria itu benar-benar telah pergi, ada yang mengalir dari mata yang terpejam milik Wonwoo.
"Maafkan aku, hyung ..." Wonwoo berbisik lirih dalam tangisnya yang tertahan.
To be continued
P.S
Selamat lebaran bagi yang merayakan.
Selamat membuka kotak pandora!
KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Anterograde [Meanie] ✓
FanfictionDunia repetitif milik Jeon Wonwoo tidak akan pernah sama lagi sejak datangnya Kim Mingyu. Jabatan tangan hangat milik lelaki itu yang akan membuat Wonwoo mencatat lebih banyak lagi. Serta tatapan mata mengunci milik Mingyu yang nantinya membuat Wonw...