Sebuah panggilan masuk mengagetkanku. Saat melihat nama Diva terpampang jelas di layar, aku langsung meraih handphone-ku dan menjawabnya cepat-cepat.
"Diva!" Teriakku.
Aku mendengar suara hembusan nafas berat dari seberang.
"Kamu kemana aja?" tanyaku pada Diva. Tak sabar aku mendengar alasannya yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Apa dia pikir aku tidak akan mengkhawatirkannya?
"Maaf." Hanya kata itu yang terucap dari mulutnya. Suaranya terdengar parau.
"Kamu sakit?" Tanyaku lagi kepadanya. Khawatir.
"Maaf. Aku salah." Kalimat terakhirnya membuatku terdiam. Ya, dia memang salah. Namun caranya meminta maaf dan menunjukkan penyesalan, jauh berbeda dari Diva biasanya.
"Maaf untuk?" Tanyaku hati-hati.
"Maaf aku nggak bisa lagi lanjutin hubungan kita!"
Duniaku seolah runtuh begitu saja. Kalimat itu terus berputar di kepalaku. Suaranya menghasilkan banyak gema yang mengisi penuh otakku. Aku hanya bisa diam tanpa tahu harus berbuat apa. Perlahan, aku merasakan mataku berair. Menangisi sesuatu yang seharusnya tidak aku tangisi.
"Ai?" Diva memanggilku.
"Ya?" Aku berusaha menjawabnya dengan sesantai mungkin. Tanpa harus terdengar bodoh karena telah menangis untuk hal semacam itu.
"Kita harus sadar Ai, kalo kita udah bukan anak SMA lagi, bukan waktunya kita buat main-main lagi, pacaran lagi. Ini adalah saat-saat yang penting buat kita nata masa depan kita masing-masing. Ini adalah saatnya buat kita membahagiakan kedua orang tua kita, membanggakan mereka dengan segudang prestasi. Aku sayang sama kamu Ai. Tapi aku nggak mau mimpiku berakhir hanya karena kamu. Aku punya tanggung jawab yang besar di keluargaku. Aku anak pertama, aku punya kewajiban untuk membiayai orang tua dan adikku nanti, dan aku rasa semua itu akan berhasil kalo aku fokus ke kuliahku."
Aku menjauhkan handphone-ku dari telinga dan mengatur nafas secara perlahan. Berusaha untuk menerima kenyataan bahwa tak ada satupun hal di dunia ini yang abadi. Termasuk cinta.
Aku mendekatkan kembali handphone-ku ke telinga. Suara Diva sudah tak terdengar lagi. Hanya suara hening khas malam yang hadir di antara kebisuan kami.
"Ah ya. Kalo emang kamu ngerasa ini adalah keputusan yang terbaik, aku bakal terima itu. Tapi Div, ada beberapa hal yang harus kamu ingat. Yang pertama, aku benci pembohong. Yang kedua, aku benci kebohongan. Dan yang terakhir, aku benci dibohongi. Diva, kalo emang selama ini kamu merasa terbebani, kenapa baru sekarang? Kenapa saat kita udah ngerancang banyak impian indah kita, kamu ngomong kaya gitu?"
"Aku juga nggak tau kenapa bisa jadi kaya gini. Dulu aku cuma penasaran sama kamu. Cuma pingin tau apapun tentang kamu. Setelah semua yang aku butuhkan udah ada, aku nggak bisa sepenuhnya cinta sama kamu. Aku juga nggak tau apa alasannya. Aku selalu berusaha biar bisa cinta sama kamu, tapi hasilnya nol. Aku nggak pernah bisa."
Mendengar jawabannya yang begitu menyakiti hati, aku hilang kendali. Aku benar-benar tidak bisa lagi menahan kesedihan dan amarah yang sudah menguasai diriku sejak tadi.
"Penasaran katamu? Brengsek kamu Div! dua tahun lebih kita sama-sama, tapi ternyata cuma aku ya? Cuma aku yang bener-bener jatuh cinta disini! Asal kamu tau, alesan yang kamu pake itu bener-bener nggak masuk akal! Kamu bilang kamu cuma pingin fokus sama kuliah kamu doang? Bullshit tau nggak! Kamu bilang kamu merasa punya tanggung jawab yang besar di keluarga karena kamu anak pertama? Kamu lupa Div? Aku juga anak pertama! Kita punya kewajiban yang sama! Tanggung jawabku lebih besar dari pada kamu, karena aku perempuan. Untuk melakukan suatu pekerjaan, aku harus keluarin tenaga dua kali lipat dari yang kamu punya. Tapi apa pernah aku ngeluh ke kamu tentang semua itu? Nggak 'kan? Karena aku tau, semua itu bukan alasan kita untuk pisah!" Aku berteriak saat menyebutkan kata terakhir dari ucapanku. Diva diam tak memberikan suaranya. Sepertinya, dia mengizinkan aku untuk mengeluarkan semua unek-unekku.
"Kamu bodoh kalo kamu kira selama ini aku nggak tahu apa-apa! Kamu kaya gini karena kamu masih suka sama Melly 'kan? Kamu masih sering jalan bareng sama dia! Seharusnya kamu itu sadar Div! Melly itu cuma mantan kamu. Pacar kamu sekarang itu aku! Bukan dia!"
Aku kembali menangis. Ini sesuatu yang terlalu aneh untuk ku gambarkan. Aku sangat mencintai Diva selama ini. Tak sedetikpun aku berfikir akan pergi meninggalkan dia. Tapi kenapa dia bisa sejahat itu?
"Diva..."
"Aku mohon jangan kaya gini! Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku sayang sama kamu. Kita bisa bangun mimpi kita sama-sama. Kita bisa meraih apapun yang kamu inginkan sama-sama. Kita nggak perlu pisah Div. Aku mohon." Suaraku mulai serak. Tangisku belum bisa aku hentikan.
Suara helaan nafas kembali terdengar dari seberang. Lebih kasar dan berat. Aku tahu apa yang aku lakukan ini adalah perbuatan sia-sia. Malah hanya akan merugikan diriku sendiri. Tapi hatiku berkata lain. Aku masih ingin bersama Diva dan aku harus melakukan apapun itu agar Diva kembali lagi di sisiku. Meskipun harus melukai harga diriku sendiri.
"Maaf. Aku nggak bisa."
Panggilan diakhiri oleh Diva.Aku benar-benar kacau hari itu. aku terus menangisi keadaanku yang semakin terasa menyedihkan. Jika Diva pergi dengan cara seperti ini, apa lagi yang bisa aku lakukan?
--------------------------------
12.03.18
5.35 a.m.
Surabaya
KAMU SEDANG MEMBACA
Ijinkan Aku Memilikimu (COMPLETED)
Teen Fiction"Jadilah takdirku. Yang akan selalu menemaniku. Sampai Malaikat Maut menjemputku." -Ainun2018-