Aku mulai berlari saat melihat bus jurusan Bojonegoro-Surabaya dari tempatku berdiri. Hari ini cukup melelahkan bagi aku dan Diva meskipun baru jam setengah tujuh pagi. Beberapa bus yang telah melintas membawa penumpang dengan jumlah yang tak bisa aku sebutkan. Begitu juga bus yang berada di hadapan kami kali ini. Segera setelah kondektur membuka pintu depan, aku dan Diva berebut dengan banyak orang yang lain untuk memasuki bus.
Sopir bus memacu kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Tanpa peduli dengan banyaknya penumpang yang sedang Ia bawa. Aku berusaha menguatkan kakiku untuk berdiri tanpa berpegangan.
"Susah ya?" Diva berbisik di telinga kiriku.
"Sedikit." Jawabku kepadanya.
Tanpa aba-aba, supir bus mengerem mendadak. Hal itu sukses membuat beberapa dari kami terjungkal ke depan, termasuk aku. Tanpa sengaja, aku berpegangan tangan dengan bapak-bapak yang berdiri di sampingku.
"Hati-hati dong Pak." Salah satu penumpang belakang berteriak kepada sopir bus.
"Makanya jangan ngebut-ngebut." Ibu-ibu di sampingku pun tak mau kalah.
Aku meminta maaf kepada bapak-bapak di sampingku dan dibalas dengan kerlingan mata. Melihat respon yang tak sesuai dengan harapan, aku bergidik dan memalingkan wajah. Diva yang melihat hal itu tertawa sedikit tertahan.
"Ciee. Dikedipin om-om." Bisiknya. Aku melotot mendengar ucapannya. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu kepada pacarnya yang sedang berada dalam situasi siaga 3.
"Biar aku yang disitu, kamu mundur." Lanjutnya. Aku mengangguk dan segera berganti posisi dengannya. "Nanti kalo nggak bisa pegangan, peluk aja ya." Bisik Diva lagi saat kami sudah berganti posisi. Aku hanya berkedip, pertanda mengiyakan apa yang dia ucapkan.
***
"Kamu tuh ya, dibilangin disuruh meluk kalo nggak bisa pegangan, malah narik-narik kaos. Longgar nih kaosku." Omel Diva saat kami telah sampai di Terminal Purabaya.
"Ya kan malu Div, kalo dilihat orang-orang." Ucapku tanpa menunjukkan wajah penyesalan sedikitpun kepada Diva.
"Biarin. Biar Om-om tadi juga tahu, kalo kamu itu pacar aku. Biar dia nggak berani main mata sama kamu lagi."
Aku tertawa mendengar jawaban Diva.
"Ngapain ketawa-ketawa?"
"Muka kamu lucu."
"Lucu gimana?"
"Lucu aja." Jawabku singkat.
Kami berjalan bersama menuju bagian keberangkatan bus kota. Setelah masuk ke dalam bus, kami memilih tempat duduk baris kedua sebelah kiri.
"Pak, aqua-nya dua ya." Ucap Diva saat pedagang asongan menawarkan minumannya.
"Ini Mas. Sepuluh ribu." Diva pun mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan kepada bapak penjual tadi. Ia memberikan salah satu aqua-nya untukku.
Diva adalah pacar pertamaku. Aku mengenalnya semenjak kelas satu SMA karena kami memang satu kelas dari dulu. Bahkan sampai kelas tiga pun, kami masih satu kelas. Sebelum berpacaran dengannya, aku merasa Dia adalah sosok yang pendiam. Dibanding dengan teman-temanku yang lain, dia bukan tipe anak yang banyak tingkah.
Namun setelah kami berpacaran, aku baru sadar bahwa Diva tidak sediam yang aku bayangkan. Dia suka sekali mengomel. Meskipun itu untuk urusan yang sepele. Hal itu lah yang menjadikanku semakin nyaman bersamanya, karena setiap omelan yang terucap dari mulutnya selalu berakhir menjadi tawa.
Aku sangat bersyukur dapat mengenal Diva. Dia mampu membuatku tertawa di saat aku membutuhkannya. Dia mampu melindungiku, dengan berbagai caranya. Dia selalu bisa membuatku jatuh cinta kembali meski hanya dengan hal-hal sederhana. Semoga hal ini tidak bertahan hanya untuk sementara.
Setibanya di Terminal Bratang, kami menaiki taksi untuk menuju ke tempat kost ku di daerah Dharmawangsa. Ya, hari ini adalah hari terakhir liburan sebelum kami memasuki semester baru, yakni semester dua. Tempat kuliah kami berbeda. Aku di salah satu universitas negeri di kota Surabaya yang berada di tengah kota, dan dia berkuliah di salah satu universitas islam negeri di kota Surabaya yang berada di pinggiran kota. Tidak berat bagi kami untuk menjalani hubungan ini, karena kami memang tidak berpisah terlalu jauh. Setiap minggu, kami selalu menyempatkan diri untuk saling bertemu. Entah Diva yang bermain ke kostku, atau sebaliknya.
Hujan terlihat tengah mengguyur Kota Surabaya. Bulir-bulir air hujan terlihat menempel di kaca taksi yang kami tumpangi, lalu perlahan menetes dan hilang di dasar jendela. Ini adalah akhir Januari, dimana hujan akan turun dengan intensitas yang cukup tinggi. Hanya satu yang aku harapkan saat musim penghujan mulai tiba, tidak terjadi banjir.
Beberapa menit kemudian, kami pun tiba di tempat kostku. Aku turun terlebih dahulu untuk membuka gerbang rumah. Sedangkan Diva baru menyusul setelah menurunkan beberapa barang bawaanku dan membayar taksi. Aku menghampiri Diva, dan menarik sebuah tas jinjing yang sedang Diva bawa. Setelah memasukkan semua barang ke dalam kamar, aku pun mencuci kaki di kamar mandi dan turun menuju ruang tamu, begitu pun dengan Diva.
"Yang lain belum dateng? Kok sepi banget?" Tanya Diva.
"Nggak tahu." Kataku sambil memakan snack yang aku bawa dari rumah.
"Kamu beneran nggak mau ikut ke rumah Tante Dian? Dia kangen loh sama kamu." Tanya Diva lagi sembari mengambil snack yang ada di tanganku.
"Kapan-kapan lah Div. Besok kan aku udah mulai kuliah." Jawabku.
"Ya udah kalo gitu. Minggu depan aku jemput kamu ya. Kita main ke Tante Dian. Takutnya dia marah-marah lagi kalo aku nggak ngajak kamu ke sana."
"Kamu mau balik sekarang?"
"Iya. Dari tadi Tante Dian udah ngechat."
"Oh, oke. Hati-hati ya."
"Iya." Sebelum benar-benar pergi, Diva mencium keningku sekilas.
"Terima kasih udah mau jadi pacarku." Ucap Diva setelah melepas ciumannya.
"Aku juga terima kasih, karena kamu selalu ada buat aku."
Diva tersenyum, dan aku membalasnya. Dia mulai melangkahkan kaki ke luar dan menghentikan sebuah taksi yang tengah lewat. Melihatnya telah hilang dari pandangan, aku segera mengunci gerbang dan pintu rumah lalu berlalu ke dalam kamar.
------------------------------
03.03.18
2.07 p.m.
Surabaya
KAMU SEDANG MEMBACA
Ijinkan Aku Memilikimu (COMPLETED)
Teenfikce"Jadilah takdirku. Yang akan selalu menemaniku. Sampai Malaikat Maut menjemputku." -Ainun2018-