Ainun POV
Semakin aku mencoba melupakannya, semakin dia terasa begitu melekat di dalam kepala. Jika ditanya sampai kapan aku akan melakukan ini semua, tentu saja akan kujawab “Tidak tau!”, karena memang seperti itulah kenyataannya.
Dia adalah salah satu hal terbaik yang pernah dihadirkan Tuhan dalam hidupku. Dia adalah salah satu orang yang membuatku bangkit kembali ketika aku begitu terpuruk beberapa tahun lalu. Sekeras apapun orang-orang menghalangiku untuk mencintainya, takkan mampu mengalahkan Tuhan yang telah menghadirkan semua rasa ini. Meski sejujurnya, aku sendiri bertanya-tanya, mengapa harus menunggu aku jatuh terlalu dalam baru Ia pisahkan kami.
Aku terlalu sedih, sampai-sampai nyamuk yang lewat dihadapanku pun kumaki. Kusalahkan, meski aku tau bahwa ia sama sekali tak ikut andil dalam peristiwa yang telah terjadi. Aku terlalu marah, sampai-sampai do’aku pada Tuhan hanyalah berisi keluhan. Sejujurnya aku malu. Untuk masalah yang bisa dibilang cukup sepele, aku menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk melupakannya; menangisinya; meratapinya. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa bertindak keren saat menghadapi ‘masalah sepele’ ini.
Aku menghalangi mataku yang silau karena cahaya matahari. Saat kugerakkan tubuhku untuk menutup tirai, hanya kepalaku saja yang sanggup untuk bergerak. Tidak dengan tubuhku. Aku memang sedang tidak sehat beberapa hari ini. Bahkan dua hari lalu, aku harus dilarikan ke rumah sakit karena pingsan di kamar mandi.
Menyerah untuk menutup tirai, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada satu pun orang yang menungguiku. Mungkin saja, mereka tengah mencari sarapan sehingga meninggalkanku sendirian.
Kututup mata untuk kembali tidur, agar esok pagi aku tak lagi harus mencium bau obat-obatan seperti ini untuk sepanjang hari.
Beberapa saat setelah aku menutup mata, suara pintu dibuka terdengar jelas di telinga. Mataku masih kututup. Tak lama kemudian, aku mendengar suara orang menangis. Apakah Ibu?
Untuk memastikan dugaanku, kubuka mata perlahan dan menatap lekat ke arah seseorang yang datang. Tubuh itu semakin dekat dan membuatku semakin susah menentukan apakah dia nyata atau hanya ilusi yang kuciptakan.
Dia telah berada dihadapanku dan menatapku dengan mata sendu. Apakah dia tau keadaanku saat ini? mengapa dia terlihat begitu sedih? Bahkan lebih sedih dari saat terakhir kali kita bertemu.
“Dewa?” Sapaku untuk memastikan apa yang kulihat bukanlah khayalanku saja.
Dia tak bergeming. Dan hal itu berhasil membuatku yakin bahwa apa yang kulihat ini bukan hal nyata.
Aku menangis. Merasa bodoh karena masih saja belum bisa mengabaikannya dari dalam ingatan.
“Jangan nangis!”
‘Suara itu?’
Aku mengerjap. Bagaimanapun juga, aku yakin sekali bahwa suara yang baru saja kudengar adalah suara Dewa.
Kini dia tampak hidup. Tampak nyata. Masih dengan alis, mata, hidung, bibir. Semuanya masih sama. Tak ada yang berubah kecuali tubuhnya yang sedikit lebih kurus.
Dia mendekat ke ranjangku dan menggenggam tanganku erat. Aku menangis. Dia juga. Kami berbagi rindu melalui tangisan.
“Aku rindu.” Kataku.
“Aku juga.”
Lalu entah siapa yang mengomando, kami saling memeluk. Semakin lama semakin erat.dan lagi-lagi, airmataku yang sempat berhenti tadi kembali menetes membasahi punggung Dewa.
Dewa melepas pelukannya dan mencium keningku. Aku tau dia juga menangis. Karena keningku terasa sedikit dingin saat ia menciumnya.
“Jangan nangis lagi! Aku ada di sini.” Ucapnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/140260684-288-k886747.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ijinkan Aku Memilikimu (COMPLETED)
Fiksi Remaja"Jadilah takdirku. Yang akan selalu menemaniku. Sampai Malaikat Maut menjemputku." -Ainun2018-