I A M 21

1.7K 54 1
                                    

Setelah peristiwa di rumahnya beberapa waktu lalu, Ainun seperti kehilangan selera untuk makan dan melanjutkan hidup. Ia hanya keluar dari kamar untuk ke kamar mandi. Waktu yang ia miliki lebih banyak dihabiskan di dalam kamar. Makan bahkan sholat pun ia lakukan di dalam kamar. Selebihnya, ia berbaring sembari terus berdzikir kepada Tuhan-nya. Untuk memohon ampun atas segala hal yang ia lakukan, yang mungkin saja membuat Tuhan-nya murka.

“Nduk, bangun. Kamu belum makan sama sekali hari ini.”

Mboten buk. kulo dereng luwe.” (Nggak bu. Aku belum lapar.)

Ojo diterus-terusno koyo ngene, Nduk. Podo wae nyikso awakmu dewe. Mesakne awakmu!” (Jangan diteruskan kaya gini, Nduk. Sama aja kamu nyiksa diri kamu sendiri. Kasihan tubuhmu!)

Ainun berusaha mengangkat kepalanya dan menempatkannya di atas paha Aisyah.

“Lalu apa yang harus Ainun lakukan, Bu? Ainun nggak bisa kalo harus kehilangan Dewa. Dia begitu berarti untuk Ainun.” Ainun mulai menangis.

“Kamu harus lebih sabar, anakku. Ini semua adalah ujian dari Allah untuk kamu dan Dewa. Kamu harus yakin bahwa Allah akan menghadirkan seorang pengganti yang lebih baik dari dia.”

“Tapi Bu, Ainun ingin Dewa. Dia yang selalu ada di sisi Ainun ketika Ainun butuh. Kami saling mencintai Bu, kami pasti bisa melewati perbedaan di antara kami saat kami bersama. Tapi kenapa… Tapi kenapa Tuhan memisahkan kami? Ainun nggak bisa Bu…..” Tetesan air mata tiada henti membasahi pipi Ainun. Kedua matanya semakin membengkak dengan wajah yang semakin pucat.

“Menikah itu bukan hal yang mudah, sayang. Saat menikah, kamu tidak boleh memaksakan kehendak kamu, karena salah satu poin penting dalam sebuah pernikahan adalah menyatukan dua keluarga, bukan hanya dua hati. Mungkin kamu bisa mengatasi masalah antara kamu dan Dewa. Tapi, apa kamu yakin bisa mengatasi masalah yang mungkin timbul antara keluarga kita dan keluarga mereka? Anakku, apapun yang sudah terjadi biarlah terjadi. Kamu harus tau, bahwa semua hal yang dilakukan oleh Ayah dan Ibu adalah yang terbaik untukmu.”

Ainun menangis tersedu dan tak mampu mengelak apa yang telah dikatakan oleh Aisyah. Ia membenarkan dalam hati, namun hal itu justru semakin membuatnya merasakan pilu. Aisyah pun tak mampu menahan air matanya saat melihat  salah satu putrinya menangis tiada henti. Hatinya ikut teriris mengingat betapa menyedihkan kenyataan hidup yang harus putrinya hadapi.

“Ibu tau apa yang kamu rasakan. Udah ya, jangan nangis lagi! Allah nggak suka ngelihat seorang hamba menyiksa dirinya sendiri. Kamu harus yakin, semuanya akan baik-baik saja.” Tutur Aisyah.

Tak sepatah katapun Ainun keluarkan untuk menanggapi penuturan Aisyah. Ia terus tenggelam dalam kesedihan yang seolah tak berujung. Tubuhnya yang lemah, wajahnya yang pucat, dan air mata yang tiada henti; menunjukkan bahwa kesedihan yang dirasakan Ainun bukanlah kesedihan biasa.

***

Dewa POV

Rasanya sudah lama sekali aku menginjakkan kaki di rumah ini. padahal belum sampai seminggu aku pergi. Entah mengapa setelah penolakan yang kualami beberapa hari lalu, tak ada lagi hal yang ingin kulakukan selain menemui kedua orang tuaku.

Mungkin ini sebuah karma yang kudapat karena tak mendengarkan apa yang mereka katakan. Seharusnya aku sadar dari awal bahwa aku dan dia takkan pernah bisa bersama. Sayangnya, aku terkubur dalam silaunya cinta yang justru membuat dia semakin menderita.

Kubuka pintu berwarna coklat itu, dan mendapati seorang wanita paruhbaya tengah menangis dengan memeluk sebuah kemeja berwarna merah. Aku tau siapa itu. Mamah masih sibuk dengan tangisnya sampai tak sadar bahwa aku sudah berada di belakangnya. Kuletakkan tas dan koper di samping kursi dan memeluknya dengan erat dari belakang.

“Maafin Dewa Mah. Maaf, Dewa nggak dengerin omongan Mamah.

“Dewa nyesel udah pernah nyakitin Mamah. Dewa mohon, maafin Dewa.”

“Nggak pa-pa sayang. Yang penting kamu sekarang udah balik ke Mamah lagi. Sekarang kamu tau kan kenapa Mamah ngelarang kamu? Mamah cuma nggak mau kamu menderita.”

“Dewa nggak akan ngebantah ucapan Mama lagi. Terima kasih Mamah selalu ada buat Dewa.”

“Mamah punya kabar baik untuk kamu. Dua hari lalu, keluarga kita udah ketemu sama keluarga Tante Maria. Mamah nggak mau lama-lama, dan keputusan kita udah bulat. Dua minggu lagi, kalian akan menikah.”

Aku memejamkan mata berusaha menahan amarah yang mendadak datang entah dari mana asalnya. Dalam hati aku mengeluh, tak percaya dengan keputusan Mamah yang membuat hatiku semakin terluka. Bagaimana bisa aku akan disandingkan dengan orang lain sedangkan seluruh rasa sayang dan cintaku, terlanjur kuserahkan seutuhnya pada Ainun.

“Nikah sama siapa Mah?”

“Ya sama Grace lah, anaknya Tante Maria.”

“Mamah yakin dengan keputusan Mamah?” Tanyaku untuk memastikan.

“Sangat yakin! Keluarga kita udah kenal baik sama keluarga Tante Maria. Apalagi yang perlu diragukan?”

Kuhembuskan nafas kasar saat mendengar kalimat Mamahku. Sepertinya tak akan ada lagi kesempatan untukku merubah keputusan yang ia buat.

“Kalo memang Mamah yakin, Dewa nggak bisa ngomong apa-apa lagi, Dewa bakal ngelakuin apapun demi melihat Mamah bahagia. Tapi, ada satu hal yang harus Mamah ketahui. Meskipun raga Dewa bersama orang lain, jiwa Dewa akan selalu bersama Ainun. Sampai kapanpun, Dewa nggak akan bisa ngelupain Ainun. Semua perasaan yang Dewa miliki, sepenuhnya milik Ainun. Nggak akan ada satupun orang yang bisa menggantikan posisi Ainun di hati Dewa.”

“Terserah apa katamu. Yang pasti jodohmu kini, sudah Mamah tentukan!”

***

2 Minggu Kemudian

Perasaan sedih benar-benar menguasaiku hari ini. Seharusnya ini adalah hari bahagiaku, namun nyatanya tidak. Aku sama sekali tidak bahagia. Seseorang yang berada di sampingku kini, bukanlah orang yang kuinginkan hadirnya. Sekuat apapun aku mencoba tersenyum, hal itu justru membuatku terlihat semakin menyedihkan.

Dua minggu lebih aku tak menghubunginya. Aku tak tau bagaimana kabarnya; dimana dirinya; atau apa yang ia lakukan selama ini. Kami benar-benar tidak berhubungan sama sekali, dan hal itu berhasil membuatku semakin merindukan dirinya.

“Kamu nggak pa-pa?” Grace berbisik di telingaku.

“Enggak.” Lalu aku melihatnya tersenyum.

Aku membalas senyumnya.

Sekedarnya.

Pikiranku masih mengembara jauh menerka-nerka jawaban dari setiap pertanyaan yang kutanyakan sendiri.

Ainun, apakah kamu juga merindukan aku sedalam aku merindukanmu?

------------------------------------------------------------
31.12.18
01.03 p.m.
Lamongan

Ijinkan Aku Memilikimu (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang