I A M 28

2K 78 11
                                    

Dewa meletakkan sebuah tas besar di atas lantai sebuah ruangan yang didominasi oleh warna tosca dan silver. Di sampingnya, berdiri seorang wanita bergamis hitam dengan kerudung berwarna dusty pink. Tangan wanita itu masih erat memeluk lengannya, seolah tak akan membiarkan Dewa sedetikpun untuk berlalu meninggalkannya.

Dewa memindahkan tangan itu di genggamannya. Tangan yang selalu pas menyatu di setiap sela jemari miliknya. Yang tetap terlihat indah meski sedikit lebih kurus dibanding sebelumnya. Dewa tersenyum. Wanita itu membalasnya. Cantik. Dewa masih ingin seperti ini. Memandangi wajah cantik itu sampai lelah.

“Kamu mau makan?” Tanya Dewa pada Ainun.

“Boleh.”

“Makan di luar apa di sini?”

“Di sini aja.” Jawab Ainun. Dewa pun menuntun istrinya menuju ke ranjang di salah satu sisi ruangan. Ditatanya bantal sedemikian rupa, agar Ainun dapat nyaman duduk bersandar.

“Tunggu sebentar ya.” Dewa berlalu, setelah mendaratkan sebuah kecupan di kening Ainun.

Ainun menatap kepergian Dewa dengan sunggingan senyum. Dia masih saja tak menyangka bahwa Dewa kini benar-benar menjadi miliknya. Tak akan mungkin semua ini terjadi jika Tuhan tidak ikut andil di dalamnya. Tak henti-henti ia ucapkan terima kasih kepada Allah, Yang Maha Esa, yang telah memberikan kejutan indah pada dirinya.

Dewa kembali ke dalam kamar dengan sebuah nampan di tangan. Segelas air dan sepiring nasi sudah terletak di atasnya, siap untuk disantap.

Perlahan, Dewa meletakkan nampan itu di nakas tempat tidur. Ia angkat piring berwarna putih yang berisi nasi, sayur dan juga lauk pauk.

“Bismillah dulu.” Ucapnya setelah menyendok nasi dan hendak menyuapkannya pada Ainun.

“Gak usah dikasih tau juga ih! Emangnya aku anak kecil?” Wajah Ainun berubah kesal mendengar kata-kata suaminya.

“Ya kali aja kamu lupa, sayang.”

Pipi Ainun mendadak berubah merah setelah mendengar panggilan yang diucapkan Dewa.

“Kenapa tuh pipinya?” Dewa terkekeh saat melihat perubahan wajah Ainun. Sebuah hal yang selalu terjadi ketika dia lemparkan gombalan pada wanitanya itu.

“Aku lapar.” Ainun berusaha mengalihkan pembicaraan.

Dewa pun mengarahkan sendok berisi nasi, yang di sambut dengan baik oleh Ainun. Dalam beberapa menit saja, nasi di atas piring tandas tak bersisa lagi. Mata mereka masih saling menatap. Senyum mereka masih mengembang di wajah masing-masing. Seolah sedang melakukan pertandingan siapa yang kuat menatap paling lama, dan siapa yang bisa memasang senyum paling indah.

Piring yang sudah kosong itu kini diletakkan Dewa kembali di atas nampan. Tangannya berganti meraih gelas, dan ia serahkan pada Ainun. Ainun menenggak minuman itu. Baru setengah, lalu ia berikan pada Dewa lagi. Dewa menenggak habis air itu dan berkata, “Heran ya, bisa semanis ini airnya. Padahal cuma kena lidah kamu aja.”

Hal itu berhasil membuat Ainun kembali memerah. Ia tak menyangka bahwa suaminya benar-benar ahli menggombal.

“Udah ah! Jangan ngegombal mulu.” Ucap Ainun malu-malu.

Dewa terkekeh dan bangkit sembari membawa nampan untuk dikembalikan ke dapur.

“Aku bawa ini dulu.”

Sepeninggal Dewa, Ainun mengamati dengan seksama ruangan yang di tempatinya. Ini adalah rumah yang Dewa bangun dengan uangnya sendiri. Rumah dengan dua lantai ini terletak di sebuah kawasan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Dewa sengaja membangun rumah di daerah ini karena letaknya yang berada di antara Kabupaten Lamongan dan Surabaya. Meski saat membangun rumah ini, dia sedikit ragu apakah Ainun yang akan menjadi istrinya dan bukan orang lain. Keraguannya pun dijawab oleh Allah dengan mewujudkan keinginannya.

Ijinkan Aku Memilikimu (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang