Bagian Satu

325 11 7
                                    

Ketika malam telah jauh melangkah, meninggalkan detak-detak keletihan pada setiap insan yang terlelap. Seorang manusia akhir zaman yang merasa hidupnya begitu-begitu saja tetiba bangun dari tidur penuh ilernya. Matanya mengerjap, menoleh ke sampingnya. Gadis manis bernama Kayla masih tidur dengan begitu cantiknya. Kaki kanan ke utara, kaki kiri ke selatan. Tangan kanan di kutub utara, tangan kiri di Hutan Amazon.

Saipeh, sang manusia sisa-sisa penjajahan Belanda itu lantas berdiri dengan malas-malasan dan melangkahkan kakinya menuju dunia lain yang biasa disebut WC. Ia merenung sejenak, mau apa setelah ini? Dia lupa, niatnya tadi ke kamar mandi mau beli nasi goreng atau mau nyuci baju? Akhirnya, dia menatap cermin. Menatap guratan bekas iler yang sungguh indah merona di pipinya. Kemudian terbit senyumnya.

“Ha, ternyata bener apa kata orang. Bahwa perempuan itu cantik alami ketika bangun tidur. Kayak gue banget....” cengirnya.

Empat tahun sudah Saipeh dan Kayla mengadu nasib di kota. Menjadi mahasiswi baik-baik dan tidak terlibat narkoba atau pergaulan bebas. Mereka mengerjakan tugas dengan baik, rajin mengunjungi perpustakaan, dan bergerilya keliling kampus buat ngamen. Kini mereka berada di penghujung masa. Tinggal waktu yang akan menjawab kapan mereka benar-benar hengkang dari kampus dengan titel sarjana.

“Skripsi lo udah sampe mana Peh?” tanya Kayla saat mereka berdua duduk di kantin.
“Sampe mana ya? Sampe....lupa! Hihihi...”
“Ah dasar lu sih, kebanyakan nulis novel malah skripsinya terbengkalai...”
“Abisnya lebih gampang nulis novel sih Kay.”
Kayla merengut. Sekelompok mahasiswa lewat di samping mereka. Sambil tersenyum-senyum genit mereka menyapa Kayla. Tak lupa mereka sisipkan kata ‘cantik’ untuk menggoda Kayla.
“Apa lo!” dengus Kayla kesal. Dia sudah berusaha rapi menutup aurat, sudah berusaha bersikap dingin pada semua laki-laki tetapi mereka masih saja suka menggodanya. Seorang teman lelakinya pernah berpendapat bahwa Kayla itu seperti Princess Elsa. Dingin seperti es, tapi cantik dan  galak, membuat penasaran.
“Eh Kay, nyokap lo udah gak ngebahas tentang perjodohan lagi?” tanya Saipeh.
“Nggak tuh. Habisnya Nyokap ngotot banget mau jodohin gue. Lah guenya belum pengen nikah, apalagi sama orang yang gak jelas. Untungnya bibi gue bicara sama Mama, dan ngebantu gue supaya gue bebas menentukan mau kuliah atau nikah. Gue pengen lulus kuliah dulu, trus nyobain dunia kerja. Urusan nikah juga hak gue dong. Gue gak suka diatur-atur...” papar Kayla.
“Hmm.... gitu ya. Syukur deh. Jadi gue bisa lebih lama lagi ngekos sama lo.”
“Dasar lo. Betewe, kita mau sampai kapan sih ngekos di sana? Suasananya horor terus gara-gara kelakuan Bu Pipit dan anaknya si Sapi itu. Gak bosen kita di sana terus? Pindah yuk!”
“Iya, bosen banget sih. Lo cari aja deh dulu kosan yang lebih murah dari sana.”
“Wayooooooo!!! Kalian ngomongin gue yaaaaa!! Wahai Teteh-tetehku yang cantik jelita.... Memangnya kalian mau pindah ke mana sih? Ntar gak kangen sama akuuuuuuuh??” tiba-tiba seseorang berteriak di antara mereka dan ikut duduk bersama mereka.
“Yah. Si Alay lagi nih.” Gumam Saipeh kesal.
“Sapiiiiii, lo ngapain sih ngagetin gue? Punya radar ya lo, kok bisa tahu kita ada di sini?” sahut Kayla tak kalah kesal.
Safira masuk kampus yang sama dengan Saipeh begitu ia lulus. Ibundanya yang terkasih telah memberikan mandat kepada Saipeh dan Kayla untuk membina anaknya yang ajaib itu. Agar bisa menjadi wanita yang baik hatinya, dan lembut perangainya. Karena itu kampus Islam, maka mau tak mau Safira memakai kerudung dan baju panjang.
“Peh, kayaknya percuma juga kita pindah kosan. Ni Bocah bakal terus ngikutin kita sepertinya.” Ujar Kayla.
“Eh Pi, lo kagak bosen apa jadi buntut kita berdua? Bosen banget gue lihat lo. Sono gih, pergi.” Kata Ipeh seraya mengibaskan tangannya seperti mengusir ayam.
Safira manyun. “Kalian berdua itu suka menyembunyikan perasaan sayang kalian ya ke gue.”
“Lagak lo Piiii kayak anak kurang kasih sayang aja.”
“Hihiiiihi.... Bagi dong es kelapanya.” Ucap Safira sambil meraih segelas es kelapa milik Kayla. Sruupuuut..... Dan Safira pun tampak begitu puas menghapus dahaganya.
“Pi, dulu emak lo ngidam apaan waktu hamil elo?” tanya Kayla kesal karena es kelapanya direbut sampai habis.
“Halah gitu aja ngambek... Nih Fira balikin!” sergah Fira sambil menyerahkan gelas kosong kepada Kayla yang bibirnya makin manyun sekian centi.
“Yuk, Peh. Kita tinggalin aja dia.” Ajak Kayla. Fira merengek minta ikut saat Saipeh dan Kayla berjalan menjauhi satu-satunya adik Satria itu.
***
Safira jongkok di atas kursi di dapur. Pandangannya fokus pada sebuah buku yang terhampar di atas meja makan. Sesekali tangannya menggaruk kepalanya yang menjadi sarang kutu dan kecoa. Suaranya berisik karena dia membaca dengan bersuara.
Satria masuk ke dapur, sudah tidak aneh lagi melihat posisi adiknya yang seperti itu. Dia hanya geleng-geleng kepala. “Duduknya itu lhooo sopan banget...” komentarnya.
Safira nyengir, memamerkan behel warna-warni yang baru dipasangnya beberapa bulan terakhir. Setiap dia tersenyum, pasti lebar sekali. Agar orang tahu bahwa sekarang giginya dipagari kawat behel, jadi tak akan ada yang berani mencurinya.
Satria sekarang sudah lulus kuliah. Dia bekerja di sebuah rumah sakit negeri di kota bertakwa ini.
“Tahu nggak, kenapa kamu disuruh kuliah di kampus kamu sekarang?” tanya Satria sambil minum susu yang baru saja dibuatnya.
“Biar Fira jadi akhwat solehah, iya kan Masssssssss?” sahut Fira.
“Nah, tuh pinter. Ini udah 2 tahun kuliah kok masih sembarangan aja. Di kursi bukannya duduk malah nongkrong. Kamu itu harusnya banyak belajar dari Kayla... Nah kamu, jangan-jangan kebanyakan niru Saipeh makanya jadi makin ancur...” kata Satria.
“Ciye ciyeee.... ada apa nih tiba-tiba nyebut nama mereka berdua? Apakah Kakang Mas Prabu Satria Kejepit ada rasa pada mereka berdua? Hayooo ngakuuu!!” ujar Fira heboh.
“Hush! Ngawur!”
“Ngaku ajalaaaah Mas sama Fira. Gak akan Fira aduin kok ke Komnas HAM.  Sebenarnya Mas Satria suka sama Teh Kayla, atau sama Teh Ipeh?” goda Fira.
“Mereka bukan tipe Mas.” Jawab Satria.
“Aalaaaahhhh bohong! Pasti Mas sukanya sama Teh Ipeh kan? Iya kaaaaan?” Fira makin semangat menggoda. Dia sampai naik ke meja makan. Jongkok di atasnya. Satria mencubit lengan adiknya. Fira terpaksa turun.
“Kamu ngelantur ya! Mana mungkin Mas suka sama Ipeh? Sini, Mas kasih tahu ya. Perempuan idaman Mas itu yang: cantik, manis, putih, tinggi...”
“Fisik semua?” potong Fira.
“Selain itu, dia juga harus rajin bersih-bersih diri. Gak boleh jorok, gak boleh malas mandi, dan yang paling penting dia gak ngupil sembarangan. Kalau Saipeh, gak tahu tempat eeeh ngupil aja. Akhwat kok kayak gitu. Gak bakal cocok jadi istriku. Nanti pasien-pasienku pada kabur, bukannya sembuh malah sekarat!”
“Wah cucok! Ternyata Mas perhatian banget sih sama Teh Ipeh. Sampe tahu banget bahwa Teh Ipeh males mandi, suka ngupil dan gak suka bersih-bersih. Super!” kilah Fira.
“Itu kenyataan. Alien Mars aja tahu kalau Saipeh kayak gitu.”
“Top deh! Mas Satria emang tahu banget tentang Teh Ipeh. Pasti Teh Ipeh yang lagi numpang mandi di sini jadi GR deh...” kata Fira.
Wajah Satria berubah pucat. “Apaan Fi? Saipeh, ada di sini? Di...kamar mandi situ?” tanyanya seraya menunjuk kamar mandi tak jauh dari meja makan. Fira mengangguk pasti. Fira lalu menggedor pintu kamar mandi.

(bersambung)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang