Ipeh sedang menatap jendela bus dengan lelehan airmata diam-diam. Menyatu dengan rinai hujan yang membasahi kaca jendela. Untaian peristiwa di Jogja membuat Ipeh terpaksa mengambil waktu liburnya untuk pulang ke rumah.
Menenangkan diri. Sedangkan teman-temannya menikmati liburan dengan membuat jadwal jalan-jalan ke banyak tempat wisata yang ada di Jogja. Ipeh sempat merekomendasikan beberapa lokasi yang pernah didatanginya beberapa tahun lalu bersama Kayla dan Fira. Kaliurang, keraton serta alun-alun, pasar Beringharjo, Malioboro dan tentu saja pantai terdekat. Pantai Depok yang penuh dengan kenangan, sejalur dengan Parangtritis dan Parangkusumo.
“Seharusnya kamu nggak usah pulang. Ikut aja jalan-jalan sama kami.” Bujuk Santi.
“Hehe, aku pulang aja dulu. Kangen orangtua.”
“Bener Cuma kangen sama orangtua? Nggak ada yang lain?” goda Nila. Perempuan yang paling bawel di rumah itu.
“Nggak laaah. Emang siapa yang bisa aku kangenin selain orangtua?”
“Iya yah, kamu kan masih jomblo Peh.”
“Hahaha. Aseeem!”
Saipeh sedikit senyum menyamarkan garis airmata lantaran teringat candaan Nila, tapi lelehan air itu tak bisa menyembunyikan kesedihan hati gadis itu.
Begini ceritanya...
Dalam satu kesempatan, Ipeh berkunjung ke rumah Retno. Ipeh mendapati ibunya terbaring tak berdaya di tempat tidur akibat kelumpuhan yang dideritanya. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh Retno.
“Kamu Saipeh? Ya Allah, sudah lama sekali Nak.... Kamu sehat?” kata ibu Retno.
“Alhamdulillah Ibu, saya sehat dan dalam keadaan baik-baik saja.”
“Senang sekali bisa dijenguk kamu Nak.”
Ipeh tersenyum.
“Retno, buatkan minuman buat Nak Ipeh.” Lalu Retno beranjak ke dapur. Ipeh duduk menemani ibu Retno di kamarnya. Mendengarkan kisah dan keluh kesahnya karena tidak bisa berjalan.
“Ibu ingin bisa berjalan lagi, rasanya nikmat Allah itu luar biasa sekali. Bersyukurlah karena masih bisa berjalan, Nak... Ibu kangen ingin bisa seperti dulu. Tapi kalau sudah takdirnya begini ya mau bagaimana lagi?”
“Insya Allah ada pahala buat Ibu yang senantiasa berzikir di manapun berada. Ikhlas menerima setiap ketentuan Allah.” Kata Ipeh.
“Terima kasih Nak, kamu sabar sekali. Semoga kamu mendapatkan jodoh yang terbaik.” ucap Ibu Retno yang diamini oleh Ipeh.
Retno datang membawa secangkir teh manis dan sepiring kue. Ibu menyuruh Ipeh duduk di ruang tengah saja untuk mencicipi kue dan ngobrol dengan Retno. Ipeh menurut. Dia duduk di ruang tengah, ada empat kursi rotan dan sebuah meja kaca yang Retno meletakkan minuman di sana.
“Sepi sekali rumah ini Ret?” gumam Ipeh.
“Iya, sejak Bapak meninggal dan Ibu sakit.” Jawab Retno.
Pandangan mata Ipeh menyapu dinding ruang tengah, dia terkaget menemukan bingkai foto pernikahan. Ipeh mendekat, memastikan siapa yang ada di dalam foto.
“Itu Mas Andar.”
“Mas Andar, sudah menikah? Dengan....”
“Iya, yang waktu kita ketemu di balai desa. Itu istrinya.”
Seketika Ipeh merasa dadanya sesak, melihat senyum manis Iskandar dan istrinya yang bercadar di sampingnya tampak sangat anggun. Ipeh mencoba menghela napas, berusaha menata hatinya. Sebab tiba-tiba saja dia merasakan ada perasaan aneh menelusup ke sana, sesuatu bernama patah hati.
Ternyata begini rasanya patah hati. Sakit sekali!
Meski sakit dan hancur hatinya, Ipeh berusaha tersenyum dan pura-pura bahagia. “Alhamdulillah, mereka serasi sekali. Mas Andar soleh, istrinya juga solehah. Anaknya lucu sekali, cantik.”
“Iya Mbak. Mbak Jihan itu teman kuliah Mas Andar. Sama-sama aktif di pengajian tapi nggak saling kenal. Ya gitu, Mas Andar sering ceramah dan kajian Tafsir. Mbak Jihan mengisi pengajian Tahsin dan Tahfidz buat ibu-ibu dan anak-anak. Begitulah aktivitas mereka, seiring sejalan.” Ujar Retno.
Ipeh mengangguk. Benar sekali. “Mereka memang cocok. Keluarga yang mereka bangun bukan sekadar keluarga sakinah, melainkan keluarga dakwah. Semoga Allah senantiasa merahmati mereka.” Ujar Ipeh. Sakit hati tapi ikhlas.
Tiba-tiba bayangan sosok Iskandar yang mengayuh sepeda ontel bersandal jepit tampak di hadapannya, tetapi perlahan memudar dan semakin jauh. Iskandar terus mengayuh sepeda, membawa serta senyum manisnya, tahi lalat di pipi, juga cintanya. Ipeh tersudut sendirian di ruang hampa.
Maka, Ipeh memutuskan untuk liburan di rumah saja. Seminggu libur, setelah itu melaksanakan program baru. Semoga seminggu ini cukup untuk menata hatiku yang hancur berantakan.
Kebetulan pula bu Pipit mengundangnya ke rumah. Pasti Bu Pipit kangen sama anaknya yang hilang ini. Seketika terbit kebahagiaan baru kala mengetahui akan berkumpul dengan keluarga bu Pipit, meski dia tidak yakin bisa menghadapi kenyinyiran Satria. (*)
