Bagian Dua Puluh Empat

85 6 0
                                    

Bu Pipit seperti menjelma anak kecil kembali. Dia ingin rumahnya dihiasi balon warna-warni. Satria hanya geleng-geleng kepala menyaksikan kehebohan di rumahnya. Dia juga sudah memberi tahu Ayasha untuk datang ke rumahnya sore ini. Satria memberikan alamat dan rute menuju rumahnya kepada calon istrinya itu, dan Ayasha menyanggupi untuk datang sendiri. Dia tidak perlu dijemput.

Ipeh lebih dulu datang ke rumah bu Pipit yang langsung disambut dengan pelukan hangat oleh bu Pipit dan Fira. Bang Amru dan istrinya juga hadir, turut menyambut Ipeh. Ipeh membantu menyiapkan makanan, membereskan perlengkapan makan bersama, dan menata hiasan dinding.

“Ya, kamu sudah di depan? Sebentar, aku keluar.” Ujar Satria sambil menuju pintu. Tak lama kemudian dia masuk lagi dengan seorang gadis cantik di belakangnya. Ayasha.

Satria memperkenalkannya pada semua orang di dalam rumah, termasuk kepada Ipeh. Saat itu Ipeh bisa merasakan aroma perkenalan seorang calon istri kepada keluarga besar Satria.

“Ini adik kamu juga Mas?” tanya Ayasha saat berkenalan dengan Ipeh. Satria tergeragap, lalu dengan patah-patah dia menganggukkan kepalanya. Ipeh merasa sungkan, lalu dia ke belakang mengambil minum.

Tiba pada acara inti. Bu Pipit mengucapkan pidato singkat.

“Alhamdulillah atas segala nikmat yang Allah berikan pada kita semua. Hari ini, bukan karena ingin merayakan hari kelahiran, hanya ingin berkumpul bersama anak-anak Mama. Dan merayakan kepulangan Saipeh ke rumah ini. Dia sudah lama sekali menghilang di Jogja, Mama kangen sekali sama Saipeh.” Ucap bu Pipit.

“Oh, di Jogja ngapain Dek?” tanya Ayasha pada Ipeh.

“Program Pemberdayaan Desa Mbak.”

“Wah bagus sekali...” seru Ayasha.

“Iya, Ipeh ini orangnya memang sangat peduli pada sesama. Meskipun bukan anak kandung Mama, dia sudah Mama anggap seperti menantu Mama. Iya kan Ipeh?” mata bu Pipit langsung mengarah pada Ipeh. Membuat gadis ceroboh itu terhenyak. Bahkan semua orang merasa canggung, terlebih lagi Ayasha.

“Oya, Nak Ayasha aslinya mana?” tanya bu Pipit.

“Ooh, saya asli Jogja Bu.” Jawab Ayasha gugup. Masih shock atas pernyataan bu Pipit tadi. Tentang menantu, dan pandangan hangat yang diarahkan kepada Ipeh. Yang kata Satria adalah adiknya itu.

“Ma, Ayasha ini calon istri aku.” Ucap Satria.

Lagi-lagi Ipeh terhenyak, nyaris dia batal menyendok makanan. Namun dia berusaha santai. Akan tetapi jawaban bu Pipit kembali membuatnya shock berkali-kali lipat.

“Oh, benarkah? Ini orangnya? Mama kira lho, kamu akan menikah dengan Ipeh? Hihihi...” ujar bu Pipit, yang menaikkan kecanggungan ke level 10. Bang Amru dan istrinya saling lirik, sudah tak aneh lagi menyaksikan kejadian serupa ini. Bu Pipit adalah orang yang paling pandai membuat suasana jadi canggung dan tidak mengenakkan.

Ayasha menatap Satria yang duduk di sebrang mejanya. Ipeh merasa suasana sudah di ujung tanduk. Dia merasa harus menyelamatkan Satria, menjadi pahlawan baginya.

“Ah Ibu bisa aja. Bang Sat kan sudah saya anggap kakak saya sendiri. Masa iya mau menikah dengan saya. Ada-ada saja Ibu ini.” Senyum Ipeh, tetapi sedetik kemudian ternyata efeknya tidak disangkanya. Semua mata mendelik padanya. Hah, ada apa?

“Bangsat? Sopan sekali kamu.” Ujar Ayasha di sampingnya.

Ipeh menyadari kekeliruannya, dia menggeser kursinya ke belakang lalu berdiri.

“Ipeh dan Satria memang sangat dekat, jadi panggilannya juga panggilan akrab.” Kata bu Pipit lagi, menambah gerah suasana.

“Saya... izin ke belakang dulu.” Kata Ipeh sambil berjalan ke belakang.

Ipeh memukuli keningnya berkali-kali, menyadari kebodohannya. Tidak seharusnya dia berada di forum keluarga ini. Dari jendela dapur dia melihat halaman rumah bu Pipit, melihat kamarnya yang kini kosong. Ipeh merasa rindu pada kamar itu.

“Wkwkwkwkwkwkwk......” Fira sudah berdiri di belakang Ipeh. Melihat Fira seperti itu, Ipeh semakin merasa bingung. Dia ingin pulang saat itu juga.

“Teteh lucu ih. Bikin calon istri Mas Tri mukanya kayak kepiting rebus. Meraaaaah!”

“Kenapa sih mama lo menjebak gue dalam situasi gak enak banget kayak gini?” geram Ipeh.

“Mana gue tahu? Protes aja sama Mama.”

“Astaghfirullah Mama... Harus ya bersikap seperti ini?” suara Satria terdengar dari dapur. Ipeh dan Fira terdiam dan menajamkan pendengaran.

“Ayasha itu calon istri aku Ma. Aku maunya menikah sama dia, bukan sama Ipeh!” bahkan nada suaranya sudah meninggi.

“Mama Cuma bercanda. Masa dia nggak bisa diajak bercanda sih. Mana bisa jadi menantu Mama.” Ujar bu Pipit membela diri.

“Mama tuh aneh.” Gumam Fira.

“Aneh gimana?” tanya Ipeh.

“Mama dulu pernah membuat Teh Wulan, istrinya Bang Amru, hampir nangis dibuatnya. Alasan Mama bercanda katanya. Kalau nggak bisa mengimbangi candaan Mama yang kadang absurd, gak lolos kualifikasi jadi menantu Mama.”

“Kok, gitu sih? Pantesan aja lo kayak gitu, absurd juga.”

“Ih!”

“Emang dulu Teh Wulan dikerjain kayak gimana?”

“Disuruh nyuci semua perabotan yang berdebu di dalam gudang. Terus, lagi sibuk nyuci gitu, tiba-tiba Mama matiin lampunya. Gelap gulita kan? Trus diputerin suara ketawa kuntilanak. Hahaha. Parah ih Mama.”

“Itu uji nyali serem banget Pi?”

“Mama emang gitu. Nggak mau dapet menantu yang lembek katanya, harus kuat dan tahan banting. Akhirnya Teh Wulan lolos kualifikasi, karena meskipun dikerjain macam apa juga nggak ngambek. Nah setelah adegan mati lampu tadi, Mama dengan santainya bilang bahwa itu ulahnya. Teh Wulan kaget banget, tapi nggak kapok meski dikerjain berkali-kali sama Mama. Baik lewat ucapan, apalagi perbuatan.”

“Jadi, yang barusan Mama lo lakukan, itu lagi nguji Mbak Ayasha? Gue kira Cuma anak sekolah yang ada ujian segala. Ini sih lebih horor dari UN.”

“Ya begitulah Mama gue keren kan?”

Ipeh memandang aneh ke Fira. Aneh gitu dibilang keren.

“Mama maunya gimana sih?” suara Satria terdengar pasrah dan lelah.

“Ya Mama Cuma mau bercanda aja sama calon istri kamu. Masa diajak bercanda sama calon mertua udah ngambek. Gimana nanti setelah jadi menantu beneran? Mama nggak mau punya menantu yang baperan, dibercandain dikit malah ngambek. Gimana dia bisa bertahan dengan segala kekurangan Mama, dan segala yang mungkin terjadi di kemudian hari? Anak-anak Mama aja sering kesel sama Mama, karena Mama orangnya begini. Papa kalian aja setiap hari harus punya stok sabar yang banyak buat mengimbangi Mama.”

“Oh gitu? Jadi semua orang harus memaklumi sikap Mama yang aneh ini?” tanya Satria. “Termasuk Ayasha? Ma, nggak semua orang bisa paham sama kelakuan Mama.”

“Astaghfirullah, Bang Sat gitu amat ngomongnya?” gumam Ipeh.

Suasana hening sejenak di ruang tengah.

“Satria, udah.” Papa memecah hening.

“Satria udah sabar menghadapi kelakuan Mama. Termasuk melibatkan Ipeh dalam keluarga kita. Satria sabar, walaupun Satria nggak suka. Tapi kali ini, bisakah Mama membiarkan Satria memilih sendiri pilihan Satria? Satria merasa cocok dengan Ayasha. Dia bisa mengimbangi Satria.” Ujar Satria masih dengan nada tinggi. Itulah pertama kalinya Ipeh melihat langsung jika Satria yang pendiam itu marah.

“Cocok dalam pekerjaan, belum tentu cocok juga dalam rumah tangga.” Lirih mama berucap.

“Kamu itu keras kepala, mirip Mama. Ayasha itu mudah ngambek. Lihat, sekarang dia pulang padahal acara Mama belum selesai.”

“Ma, yang menjalani pernikahan ini aku, bukan Mama.”

“Tapi kamu anak Mama.”

“Tidak semua hal dalam hidup aku bisa diatur-atur Mama. Aku sudah dewasa!”

“Orang yang sudah dewasa, nggak mungkin berani membentak mamanya sendiri.”

“Mama..!” geram Satria.

Ipeh merasa canggung karena sudah terlibat dalam suasana risih ini. Maka dia berniat pulang, tapi tasnya ada di ruang tengah.

“Pi, tolong dong ambilin tas Teteh. Tuh di kursi.” Kata Ipeh.

“Apa Teh? Ambilin? Ambil sendiri aja.” Sahut Fira.

Ipeh tak mungkin kembali ke ruang tengah. Ada bu Pipit dan Satria yang sedang bertengkar. Sudah barang tentu dia akan disalahkan atas kehadirannya. Satria selalu menampakkan sikap tidak senangnya pada Ipeh.

“Tunggu apaan Teh? Ambil sendiri aja sana...” ujar makhluk aneh itu sambil mendorong Ipeh ke ruang tengah. Kini Ipeh sudah berdiri persis bagaikan suasana perang Barathayuda, saat Arjuna dan Karna berhadap-hadapan, kemudian Arjuna memanah Karna tepat mengenai lehernya. Detik-detik akhir menjelang kematiannya, Karna mengaku bahwa dia adalah kakaknya Pandawa. Sekarang Satria dan mamanya beradu pandang sengit. Kata-kata Satria bagai anak panah yang tajam melesat menembus hati Sang Mama. Sakit. Ipeh bisa merasakan itu sebagai sesama wanita.

“Mau apa kamu!” bentak Satria.

“Sa...saya...saya mau....”

“Gara-gara kamu acara saya jadi kacau!” kata Satria.

“Ini bukan acara kamu, ini acara Mama. Mama berhak mengundang siapa saja!” kata bu Pipit.

“Seharusnya kamu nggak dateng! Bahkan seharusnya kamu nggak pernah ada di rumah ini sejak dulu!” teriak Satria, matanya merah. Emosinya meluap hebat, Bang Amru memegangi pundaknya, mengajak Satria duduk.

Ipeh maklum kalau Satria marah besar, acara perkenalan calon istrinya gagal. Dan Ipeh terlibat dalam kekacauan itu. Namun Ipeh tak menduga bahwa ada butiran bening nan hangat meluruh di pipinya. Ada duri kecil tetapi tajam yang menelusup ke dalam hatinya. Bergegas Ipeh mengambil tasnya di kursi lalu berjalan menuju pintu keluar.

“Ipeh pamit. Assalamu’alaikum.” Suaranya lirih.

Masih terdengar suara Satria yang mengungkapkan rasa kecewa pada Sang Mama. Ipeh tak mau dengar lagi. Dia segera pulang dengan membawa rasa sedih. Mengapa dia disalahkan atas segala sesuatunya? Kalaupun memang bu Pipit serius menyukainya dan ingin menjadikannya menantu, apakah itu salah Ipeh? Ipeh tak pernah berniat merusak apapun yang ada di dalam rumah itu. Sama sekali tak ada niat jahat pada keluarga bu Pipit.

Ipeh masih sedih karena di Jogja mendapati kenyataan Iskandar yang sudah menikah, sekarang pulang ke kampung halamannya malah mendapatkan pengalaman buruk semacam ini. Terjebak dalam suasana yang sangat sangat sangat tidak menyenangkan.

Saat sedang berjalan sambil terisak, ponselnya berdering.

Peh, lo dimana? Katanya udah pulang, jalan yuk. ---Kayla

Ipeh menghapus airmatanya.

Peh, pantai yuk.--- Kayla

Ipeh merasa mungkin Kayla bisa membuatnya tersenyum lagi. Biasanya memang begitu. Maka dia tak ragu membalas pesan Kayla. OTW Pasir Putih.

Semoga langkahnya ke pantai akan membuang semua rasa sedihnya hari ini.(*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang