Bagian Limabelas

57 5 0
                                    

Tanggal sidang skripsi sudah keluar, tinggal menghitung hari Ipeh dan Kayla mempertanggungjawabkan apa yang sudah ditulisnya. Keduanya mempersiapkan segala hal untuk hari itu. Buku-buku referensi dimasukkan ke dalam kardus untuk dibawa saat sidang. Berulangkali membaca lembar demi lembar skripsi. Mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Bahkan meski mereka sangat menguasai apa yang dibahas di dalamnya, dua gadis yang berasal dari ibu dan ayah berbeda itu tetap merasa gugup membayangkan sidangnya kelak. Tiga dosen penguji yang terkenal tegas seolah menjelma sosok jagal yang akan memenggal kepala mereka berdua. Jantung demikian gugupnya, aliran darah begitu derasnya. Saking seriusnya belajar, keduanya jarang keluar kamar.

Bu Pipit yang bolak-balik mengecek keadaan keduanya, apakah baik-baik saja. Mengantarkan makanan agar tidak lupa makan. Apalagi besok adalah harinya. Pagi-pagi sekali Ipeh sudah rapi dengan Kayla membawa kardus berisi buku dan tas yang penuh dengan lembaran skripsi. Bu Pipit mencegat mereka kemudian memanggil Satria.

“Sat, kamu anterin mereka gih ke kampus. Bawain buku-buku mereka. Kasihan, udah rapi gini bawa kardus berat. Kamu kan gampang bisa bawa motor.

“Tapi Ma...” elak Satria, tapi Bu Pipit melotot. “Baiklah....” desah Satria lalu mengangkut dua kardus besar ke motornya. Ipeh dan Kayla berjalan keluar pagar.

“Hati-hati ya. Selamat berjuang!” bu Pipit menyemangati.

Ipeh dan Kayla berjalan tanpa membawa kardus berat. Hanya memikirkan bagaimana caranya menghadapi dosen penguji. Sejak beberapa hari ini debur jantung mereka begitu keras, terutama malam tadi hingga pagi ini.

Satria duduk menunggu di depan kampus. Saat Kayla dan Ipeh datang, dia meminta ditunjukkan jalan ke mana ruang sidangnya. Kedua gadis yang kini bewajah tegang itu menunjukkan jalan. Setelah sampai di depan ruang sidang yang masih kosong, Satria meletakkan kardus-kardus itu di lantai.

“Nah. Selamat sidang ya! Santai aja, kalianlah penulisnya. Kalian yang paling menguasai skripsinya. Dosen penguji hanya ingin tahu sejauh mana kalian mempertahankan skripsi yang sudah kalian tulis. Bukan plagiat kan?” kata Satria.

Ipeh dan Kayla mengangguk. “Oya, satu lagi. Peh, lo nggak pake sandal jepit kan?”

Ipeh refleks melihat kakinya. Alhamdulillah hari ini pinjam sepatu Kayla!

Satria tersenyum lalu beranjak pergi. “Gue mau masuk kerja dulu.”

Satu persatu peserta sidang dipanggil. Semua kegugupan selama berhari-hari pun menguap begitu saja setelah dosen penguji menyalami mereka. Ada perbaikan pada beberapa bagian, tapi bukan sesuatu yang penting. Kesalahan ketik, cara penulisan, persoalan teknis biasa. Selebihnya sudah oke. Mereka bisa wisuda tahun ini.
***
Malam hari setelah sidang skripsi, bu Pipit mengundang Ipeh dan Kayla makan malam di rumahnya. Papa, Satria dan Fira berkumpul di ruang makan. Bu Pipit membuat sajian spesial untuk malam itu. Gurame bakar dengan sambal dan lalapan lengkap.

“Malam ini sengaja Mama membuat masakan spesial, karena siang tadi Ipeh dan Kayla telah selesai sidang skripsi. Itu artinya sebentar lagi mereka akan lulus kuliah. Jadi Mama sengaja mengundang mereka kemari, sebab bagi Mama mereka bukan sekadar orang yang ngekos di rumah kita. Mereka sudah Mama anggap seperti anak sendiri. Bertahun-tahun kita bersama, hingga akhirnya bisa lulus kuliah, adalah sesuatu yang luar biasa. Mama minta maaf kalau selama ini bersikap tidak menyenangkan kepada Ipeh dan Kayla.” Ujar bu Pipit.

Suasana mendadak jadi mengharukan. Satria saja diam, tak menjawab apa-apa. Fira yang biasanya heboh, kini mendadak jadi pendiam dan memandangi kedua bidadari di hadapannya dengan mata berkaca-kaca.

Ipeh baru menyadari bahwa selama ini bu Pipit memang menyayanginya, meski sikapnya kadang aneh dan menjengkelkan. Kayla nyaris menangis mendengar ceramah bu Pipit. Dia juga baru menyadari betapa hangatnya keluarga bu Pipit. Meski sering memalukan, keberadaan mereka bukan sekadar pemilik kosan. Akan tetapi keluarga pengganti di saat dia jauh dari keluarga asalnya.

“Mama berpesan, kalian tetaplah jadi anak Ibu ya.” Kata bu Pipit seraya mengusap hidungnya yang sudah berair. “Jangan lupain Ibu, meski kalian sudah sukses semuanya.”

Satria juga tampak mengusap kedua sudut mataya.

“Sering-seringlah main ke sini, meski kalian sudah pindah dari tempat ini. Tapi Ibu berharap kalian tetap ngekos di sini, menemani Ibu.” Kata bu Pipit lagi.

Ipeh sudah tak tahan lagi, dia beringsut untuk memeluk bu Pipit. Demikian juga Kayla, keduanya sama-sama memeluk wanita yang sangat hobi memakai masker alpukat itu. Makan malam berlangsung khidmat, tanpa celotehan Fira. Apalagi setelah Ipeh mengumumkan akan pindah mulai besok. Semua terpaku. Terlebih lagi Fira, yang memiliki ikatan emosi yang erat dengan kedua gadis yang sebentar lagi lulus itu. Fira sudah mengenal mereka bertahun-tahun, sejak dia masih sekolah menengah atas. Dia merasa sedih sebab akan kehilangan sosok yang dianggapnya sebagai kakak selama ini.

“Fira udah kenyang.” Ujarnya lalu masuk ke kamar tanpa suara.

Ipeh tak menyangka jika kepergiannya dari kosan ini akan membuat keluarga bu Pipit sedih, terutama anak gadisnya yang rese itu. Padahal meski sudah pindah, tetap masih bisa berjumpa.

Makan malam itu berakhir dengan diam dan kesunyian. Satria mencuci piring kotor, bu Pipit izin tidur lebih dulu. Suami bu Pipit masih menonton televisi, acara bola. Ipeh dan Kayla izin kembali ke kamarnya. Merapikan barang-barang.

Malam itu, tak ada yang bisa tidur nyenyak. Satria diam-diam menengok ke luar jendela kamarnya yang menghadap ke kamar Ipeh. Tarikan napasnya menjadi berat.

Pagi harinya Ipeh dan Kayla sudah bersiap pulang. Kali ini bukan hanya kardus berisi buku yang dibawa, melainkan baju dan perabotan lainnya. Mereka pamitan kepada bu Pipit.

“Ibu, maaf, kami pulang pagi ini. Terima kasih atas semua kebaikan keluarga Ibu...” ujar Ipeh. Bu Pipit membalasnya dengan pelukan erat dan airmata yang menetes di pipinya.

“Mampir ya sekali-sekali..” katanya.

Kayla ganti memeluk bu Pipit. Sementara Fira tak tampak sejak tadi, dia berangkat kuliah lebih dulu karena tidak menyaksikan momen perpisahan itu. Satria berdiri di samping ibunya, bersiap kalau-kalau disuruh membawakan barang-barang. Ternyata tidak sama sekali. Bu Pipit hanya diam.

“Bang, makasih ya. Dan maafin kami kalau sering merepotkan.” Kata Ipeh, disusul Kayla yang menyatakan hal serupa. Satria mengangguk dengan satu pesan, jangan lupain keluarga ini.

Keduanya pergi, diiringi lambaian tangan berat dari bu Pipit. Tak lama setelah itu, bu Pipit merasakan kehampaan. Satria berusaha keras menghiburnya.
***
Tak ada yang lebih nyaman dari tidur di rumah sendiri. Perpindahannya ke rumah kali ini terasa bagai melepaskan sesuatu yang sangat berharga. Keluarga bu Pipit. Ipeh bengong memandang jendela kamarnya, seraya menerawang masa lalunya ketika pertama kali datang ke kosan bu Pipit.

Siang terik kala itu. Ipeh dan Kayla berdua menenteng kardus berisi buku-buku dan ransel besar berisi pakaian. Sudah beberapa kosan didatanginya tapi tidak sesuai dengan budget yang mereka punya. Ketika sampai di depan rumah bu Pipit, sosok anak alay sedang jongkok di atas kursi. Rambutnya dikuncir dua.

“Assalamu’alaikum....” sapa Ipeh.

Gadis yang sesekali tertawa sambil main ponsel itu tak menghiraukan sapaan Ipeh. Hingga Kayla mengulanginya lebih keras lagi. Barulah gadis itu menoleh, lalu berteriak ke dalam rumah.

“Mama....! Ada pengemis....!” (*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang