Bagian Empat

87 5 0
                                    

“Ha!” Ipeh berteriak kaget. Sebelah sandalnya itu baginya sangat berharga.

“Nih, pake punya saya.” Kata Satria seraya melepaskan sandalnya.

Adalah Fira yang riuh berkomentar, “Ciyeeee..... Perhatian banget sama calon istri..”

“Gak usah GR! Itu Cuma saya pinjemin sampai nanti di luar kamu beli sandal baru!” ujar Satria lalu dengan cueknya berjalan tanpa alas kaki.

Dengan geram Ipeh meraih sandal Satria dan hendak dilemparkan ke sungai. Kayla menahannya. “Masih mending lo dipinjemin sandal. Lo mau nyeker emangnya? Bisa kotor ntar kaos kaki lo.”

Mau tak mau, Ipeh memakai sandal Satria, yang kebesaran di kakinya. Sepanjang jalan ia diam, kesal karena sandal kesayangannya hanyut. Dia berharap, di suatu tempat sandalnya akan menepi. Kemudian ada seorang pangeran yang melihat sandalnya mengapung dan mengambilnya.

“Wah, ada sandal jepit Cinderella. Aku harus menemukannya, lalu kujadikan istriku. Cinderella tunggulah aku....!” lalu pangeran itu melihat nomor HP Ipeh tertera di sandal tersebut, diteleponnya...dan....mereka bertemu....kemudian....

“Heh, ngelamun apaan?” tegur Kayla sambil menyodorkan eskrim di depan wajahnya. Mereka duduk santai di rumput depan masjid. Satria mentraktir mereka semua makan eskrim.

“Kay, gue rasa. Petualangan kita kali ini bakal banyak banget masalah deh.” Ujar Ipeh sedih.

“Walaupun memang bener apa yang lo bilang, udah nikmatin aja...” sahut Kayla.
***
Satria berjalan cepat, hingga keluar dari Kebun Raya dari gerbang lainnya. Sementara tiga bidadari jadi-jadian, tertinggal beberapa meter. Satria berdiri bersedekap di samping angkot. Ipeh menyempatkan diri ke warung membeli sandal jepit baru. Sandal Satria diserahkan kepada Fira.

“Nih, kasih ke Bang Sat. Bilang makasih dari gue.”

“Idih, apa-apaan Teh? Kasih aja sendiri.” Dengus Fira.

Ipeh nyaris menjitak Fira, tapi Fira memang gesit hingga bisa melengos sambil tertawa mengejek. Namun, lepas dari Ipeh, dia malah kena cubit Kayla.

“Awwwww!! Fira laporin ke Mama ntar lho!” ujarnya marah.

“Sana, sana ngadu!” balas Kayla

Dengan wajah tegang, Ipeh mengembalikan sandal Satria. “Bang Sat.....tria.... makasih sandalnya.” Ucapnya agak terbata, apalagi melihat wajah galak Satria andai saja Ipeh tak menyebut nama lengkapnya.

“Hm.” Gumam Satria seraya menunjuk tanah dengan isyarat mata, agar Ipeh meletakkan sandalnya di tanah.

Sok cool amat sih jadi laki-laki? Kayak ganteng aja lo, Bang Sat? Ipeh menggumam dalam hati. Tapi, kalau dilihat-lihat sih emang ganteng. Ipeh melengos.

Ipeh pernah trauma saat melakukan petualangan bersama Fira. Keberadaan anak itu membuat suasana terlalu ramai, bahkan mirip parade tujuhbelasan anak TK. Saat ini, Ipeh ingin menenangkan pikiran, malah diganggu oleh keikutsertaan Fira. Ditambah lagi dia harus menghadapi sikap dingin abangnya Fira.

Setelah dari Kebun Raya, Bang Sat membawa tiga bidadari palsu itu ke Taman Bunga Nusantara. Perjalanan yang cukup jauh, ditambah jalannya yang berlika-liku dengan sukses membuat Fira mabuk sehingga entah berapa kali dia muntah. Akhirnya bergantianlah Ipeh dan Kayla mengolesi Fira dengan minyak angin. Sementara abangnya hanya sesekali menengok ke belakang, tanpa bicara apa-apa. Tanpa mengkhawatirkan adiknya yang bisa jadi akan tamat riwayatnya!

Namun, begitu sampai di lokasi, Fira malah melonjak gembira. Sambil teriak lalalala yeyeyeye dia berjoget tidak jelas. Dan begitu masuk area taman, dia cium semua bunga. Tentu saja sambil selfie. Berbeda sekali kelakuannya dengan sang abang. Bang Sat hanya berjalan sambil tengok kanan kiri, tanpa ambil gambar sama sekali.

“Peh, gue curiga. Jangan-jangan Bang Tri itu anak pungut Bu Pipit deh. Tuh lihat, beda banget sama adiknya yang depresi itu.” Bisik Kayla.

“Lo bener Kay. Gue juga curiga, atau jangan-jangan malah Fira yang anak pungut. Dipungut papanya, sekalian mungut mamanya yang juga ajaib tuh.” Mereka cekikikan pelan.

Hingga kemudian, sampailah mereka di labirin. Ipeh menantang Kayla dan Fira untuk balapan, siapa yang paling duluan keluar dari labirin maka dia yang menang. Dengan semangat, Fira berlari masuk dari satu pintu. Sementara Kayla, dia dengan santainya berjalan. Ipeh membalap Kayla. Beberapa saat lamanya, mereka tampak sibuk mencari jalan keluar. Labirin yang cukup besar itu mampu membuat mereka menemukan jalan buntu berkali-kali.

Satria naik ke anjungan. Matanya mengawasi adiknya. Perlombaan itu dimenangi oleh Kayla. Disusul Fira. Namun, Ipeh tampak masih kebingungan di tengah labirin. Masuk lagi ke ruang yang sebelumnya. Kembali lagi menemukan jalan buntu. Dia tampak gelisah. Satria menyipitkan matanya, benar apa yang dilihatnya. Ipeh mulai gusar, dari atas suaranya terdengar samar.

“Kayla... Lo di mana?”

Hari beranjak petang. Warna langit berubah menuju gelap. Kayla menelepon Ipeh dari atas anjungan, sambil menginstruksikan arah jalan keluar tetapi... tut tut tut.... sambungan terputus. HP Ipeh mati. Satria bergegas  turun dan berlari masuk ke labirin. Ruang demi ruang dilihatnya, gelap semakin menyelimuti bumi hingga penglihatan pun terbatas.

Ipeh jongkok di tanah, menangis. Satria menyalakan senter dari HP untuk menjadi petunjuk jalan, hingga tampaklah Ipeh di salah satu ruangan. Satria yang napasnya tersengal itu setengah jongkok untuk mengatur napas.

“Di sini rupanya. Ayo pulang!”

Ipeh berdiri, alangkah senangnya ia bisa berhasil keluar dari labirin yang memusingkan.

“Makanya, gak usah sok nantangin masuk labirin kalau gak hafal jalan.” Dengus Satria. “Bikin repot aja.”

Ipeh ingin marah tapi dalam hati ia bersyukur ada yang menolongnya. Memang dia tak begitu pandai dalam hal menghafal jalan. Baginya semua jalan sama saja. Makanya sering nyasar.

“Kamu gak apa-apa?” tiba-tiba Satria bertanya.

“Ya...” sahut Ipeh lemah. Dia merasa lega, setidaknya ada yang membimbingnya menuju jalan keluar. Kemudian, begitu sampai di luar, dia disambut teriakan heboh Fira dan pukulan ringan di pundaknya oleh Kayla.

“Ayo pulang Teh....” ajak Fira.

“Piiii, lo menang.” Ujar Ipeh sportif.

“Iya dong, gue gitu looh.” Jawab Fira.

“Berisik! Kalian pada gak lihat apa, tuh di atas pohon gede, banyak genderuwo merhatiin kalian. Belum lagi kuntilanak, pocong...”

“Abang.....!” Fira berteriak. “Jangan nakut-nakutin ah!”

Satria tersenyum jail, sambil menoleh sedikit ke belakang. Ipeh tak sengaja sedang melihatnya. Segera ia memalingkan wajah. Alamak, benar-benar ganteng rupanya Bang Sat itu. Ih, kenapa pula dia senyum-senyum begitu. Namun sisi lain hati Ipeh menyahut, itu bukan senyum-senyum, Oneng! Dia senyum sambil noleh ke lo saat dia nyebut nama kuntilanak. Sadar diri woy!

Ipeh tersenyum kecut.

Ipeh memainkan air di kamar mandi. Sejak memasuki area masjid at-Ta’awun tadi, udara sejuk pegunungan menerpanya. Ketenangan menyelimuti jiwanya. Akhirnya bisa merilekskan badan dan pikiran setelah tersesat dalam labirin itu.

Kini dia asyik bermain air. Tanpa ia sadari, kran airnya jebol saat dia memutar krannya. Air pun muncrat ke segala arah dan dia belum sempat menghindar. Sekujur badannya basah kuyup, sekuat tenaga ia berusaha menahan air agar tidak terus menyembur. Bahkan kini air sudah meluap sampai keluar kamar mandi. Menggenangi lantai kamar mandi lainnya, juga tempat wudhu perempuan.

Dari luar terdengar pekikan beberapa perempuan yang kaget melihat genangan air. Lalu, karena hanya kamar mandi dia yang tertutup, orang-orang mulai menggedornya. Ipeh terpaksa keluar sambil menahan malu. Wajahnya tertunduk dan pakaiannya sempurna basah semua.

Sementara itu, Satria tengah membersihkan diri di toilet pria yang bersebelahan dengan toilet wanita. Saat ribut-ribut itu terdengar, ia bergegas keluar. Seorang wanita ditanyainya.

“Ada orang gila mainin air sampai banjir!”

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang