Bagian Delapanbelas

55 5 0
                                    

“Nah, karena kita sudah kumpul, gimana kalau kita silaturahmi ke rumah Ipeh?” ujar bu Pipit.

“Boleh, dengan senang hati sekali Bu Pipit...” jawab ibu Ipeh. Hanya Ipeh dan Satria yang merasa tidak enak.

“Saya sudah nyewa mobil, ayo bareng kami saja.” Ajak bu Pipit. Lalu Satria disuruh mengambil mobil di parkiran. Bu Pipit menyuruh Fira naik ke jok belakang bersama Ipeh dan Upat. Bu Pipit masuk ke jok bagian kedua bersama orangtua Ipeh. Upit izin karena harus pergi ke tempatnya bekerja. Sedangkan tersisa Alvin yang menemani Satria di jok depan.

Mobil siap berangkat. Kayla dari kejauhan tampak sedang foto bersama keluarganya. Di antara mereka ada sosok pria tinggi tegap berwajah kearab-araban. Tampak jelas dari hidungnya yang mancung dan jenggotnya yang lebat tapi terlihat masih sangat muda. Ipeh mengirim pesan pada sahabatnya itu.

Kay, itu cowok yang mau dijodohin sama lo?

Tak lama kemudian ada balasan.

Iya.

Edun! Itu mah produk impor. Mirip Maher Zain tuh. Gue juga mau!

Agak lama barulah ada balasan.

Ambil! Eh, lo sama siapa tuh? Sori gak sempet nyamperin, Mama sibuk ngenalin gue sama si Arab.

Ipeh senyum-senyum lalu membalas pesan Kayla. "Bu Pipit nih, sekarang otw ke rumah gue."

Kali ini balasan Kayla sangat cepat.

Mantap! Kayaknya bentar lagi dia bakal ngelamar lo deh. Tunggu aja!

Ipeh cemberut. Idih banget sama Bang Sat. Tapi Kay, ini ada Alvin juga.

"Lo bakal dilema dong. Siapa yang paling oke di antara mereka?"

Ipeh menerawang. Alvin lah. Dia nggak sok cool kayak Bang Sat.

Hahahahahaha.....

wkwkwkwkwkwk......

Ipeh tertawa kecil. Sedangkan kedua ibu sedang asik bercakap-cakap. Satria yang menyetir di depan beberapa kali diarahkan oleh ibu Ipeh. Karena sama-sama di depan, Alvin bingung harus ngobrol apa dengan Satria. Satria juga tipe pendiam yang tak banyak bicara. Tatapan matanya fokus ke depan, memperhatikan jalanan.

“Aktivitas Bang Satria apa nih?” Alvin memecah kebekuan di antara mereka.

“Jagain orang sakit.” Jawab Satria pendek.

“Hmm.. dokter?”

“Yap.”

“Hebat, dokter umum atau spesialis Bang?”

“Umum. Kalau Bang Alvin, ngapain aja nih?” Satria balik bertanya.

“Nemenin anak-anak belajar.”

“Ooh, guru. Mulia sekali itu Bang. Mencerdaskan anak-anak bangsa.” Kata Satria.

“Dokter juga mulia, menyelamatkan nyawa orang.” Sahut Alvin.

“Bukan dokter yang menyelamatkan, melainkan Allah. Dokter hanya membantu menangani kasus tertentu dengan obat yang dia tahu. Selebihnya, hanya Allah yang berhak menyembuhkan atau sebaliknya.” jelas Satria.

“Ya, betul sekali.” kata Alvin. Kini keduanya sudah terlibat obrolan khas para lelaki. Adapun Fira, sedang asyik cekikikan sambil menatap layar ponselnya. Upat main game di ponselnya juga. Ipeh celingukan. Akhirnya dia tidur.

Tak peduli di manapun tempatnya, kalau tidur tanpa ngiler itu rasanya belum lengkap bagi Ipeh. Ketika mobil sudah sampai di rumahnya, Ipeh terbangun saat mobil sudah kosong. Pintu mobil terbuka semua. Ipeh dan Fira saling bersandar kepala, tertidur pulas. Satria masih duduk di jok sopir, memainkan ponselnya.

“Eh, udah nyampe ya?” gumam Ipeh.

“Udah, itu rumah lo.” Jawab Satria.

“Pi, Sapi, bangun Pi!” kata Ipeh sambil menggoyangkan badan Fira. Gadis alay itu menggeliat sambil mengusap bibir dan pipinya. Ada aroma sedap menguar dari mulutnya.

“Di planet mana nih?” serunya.

“Di Saturnus. Mau ikut turun gak?” ujar Ipeh.

“Mau lah. Kebelet pipis nih gue.” Ucap Fira seraya bergegas turun dan masuk ke rumah Ipeh. Ibunya sedang seru ngobrol dengan keluarga Ipeh di ruang tamu. Alvin duduk di teras rumah sambil memainkan ponsel.

“Bang, mau masuk gak?” tawar Ipeh pada Satria.

“Duluan aja, nanti gue nyusul.” Jawab Satria tanpa mengalihkan pandang dari ponselnya. Sejak tadi dia sibuk berbalas pesan.

“Bang Alvin, silakan masuk.” Sapa Ipeh.

“Sini aja deh, di dalem biar khusus ibu-ibu. Hehe.” Alvin tersenyum. Ipeh mengangguk lalu masuk ke rumahnya. Bu Pipit dan ibu Ipeh seru sekali bercerita, tentang Ipeh saat tinggal di rumahnya, saat Ipeh jalan-jalan dengan Fira di Bogor dan lain sebagainya. Bu Pipit jadi sangat tahu tentang Ipeh.

Ipeh ke kamar melepas toga, berganti pakaian dengan gamis favoritnya yang warna ungu. Lalu sibuk di dapur menyiapkan makan siang. Fira membantu Ipeh memasak.

“Sejak Teh Ipeh pindah, Mama kangen banget sama Teh Ipeh. Selalu nanya kapan wisuda. Kayaknya Mama lebih sayang Teh Ipeh daripada gue deh.” Kata Fira sambil memotong sayuran.

Ipeh tersenyum, “Gue ini emang ngangenin kok Pi.”

“Sssttt ini rahasia. Kayaknya Mama sebentar lagi bakal ngelamar Teteh deh! Udah lama terjadi obrolan tentang pernikahan dengan Bang Tri, ya meskipun Bang Tri cuek aja tuh.” Kata Fira penuh semangat.

Jantung Ipeh tiba-tiba berdegup kencang. “Maksud kamu apa sih Pi, ada-ada aja.”

“Aku ini punya naluri detektif, jadi tahu apa yang Mama inginkan. Yaitu kamu Teh. Mama ingin Teh Ipeh jadi menantunya.” Kata Fira, yang membuat Ipeh tak sengaja mengiris jarinya hingga mengeluarkan darah.

“Awww!”

“Kenapa Teh?” tanya Fira.

Ipeh menjitak pelan kepala Fira. “Gara-gara lo nih, ngagetin aja!”

“Hihihihihii......”

Setelah makan siang siap, semua duduk di lantai beralas tikar. Alvin dan Satria duduk bersisian. Ipeh duduk di pojok dekat dengan pintu dapur. Menu yang Ipeh buat adalah yang paling sederhana dan dia kuasai. Sup bakso dan tempe mendoan plus sambal terasi.

“Ini pasti enak nih.” Ujar bu Pipit semangat sambil menyendok sayur ke dalam mangkuk. Semua pun mengambil sendiri dalam mangkuk masing-masing.

“Aromanya hmmm sedap!” kata bu Pipit lagi sambil menghirup uap dari mangkuk. Kemudian mulai mencicipinya. “Alamak!” serunya.

“Kenapa Bu? Nggak enak ya?” tanya ibu Ipeh.

“Enak! Enak sekali! Iya kan Satria?” bu Pipit menyenggol lengan Satria. Satria malah menjawab berbeda.

“Ma, kalaupun ini tidak enak. Kita tidak boleh mencelanya.” Jawab Satria. “Ipeh, ini enak banget. Saking enaknya, sampai-sampai rasanya saya seperti berenang di laut”

Ipeh mengkeret, merasa gagal.

“Itu pertanda bagus!” pekik bu Pipit.
“Tandanya Ipeh udah pingin nikah!”

Pertemuan dua ibu yang senang bercerita itu membuat rumah Ipeh mendadak ramai. Para tetangga pun bergosip, Ipeh lagi dilamar! Sedangkan Ipeh pada akhirnya mengurung diri di kamar sepulangnya rombongan keluarga Satria.

“Nak, kamu jangan sungkan untuk main ke rumah ya? Kalau ada kesempatan ke Serang, mampir ke rumah. Pintu rumah Ibu terbuka lebar buat kamu.” Kata bu Pipit sebelum pamitan. Ipeh nyengir dengan pipi terasa kaku.

“Teh Ipeh! Aku pulang ya!” seru Fira ceria, seraya tak lupa memeluk Ipeh dengan erat. Tak lupa, cipika cipiki.

“Peh, saya pamit ya. Sekarang udah tahu rumah kamu, jadi kapan-kapan bisa ke sini sendirian atau sama keluarga.” Ujar Alvin yang membuat raut wajah bu Pipit tak senang.

“Bang Alvin, pulang bareng kita lagi kan?” tawar Satria. “Saya antar sampai terminal.”

“Nggak usah repot-repot Bang, saya sampai jalan raya aja.”

“Saya nggak basa-basi kok Bang. Ayo.” Lalu Satria mengemudikan mobilnya.

Kepada mereka semua, Ipeh melambaikan tangan saat mobil menjauh dari rumah. Segera saja Ibu menanyakan kepada putri semata wayangnya itu.

“Siapa? Siapa yang kamu pilih? Alvin apa Satria? Satria aja ya? Dia kan dokter! Udah gitu ganteng lagi.” kata ibu. Bukan lagi bertanya, melainkan mengintimidasi dengan tatapan matanya yang lebih tajam dari Romi Rafael.

“Udahlah Bu.... Ipeh nggak pilih siapa-siapa. Orang Cuma teman kok.” Jawab Ipeh.

“Kalau Cuma teman ngapain sampe bela-belain dateng ke acara wisuda kamu?” desak ibu.

“Cieeeeeee yang dilamar dua pangeran!” goda Upat. Ipeh bersiap menjitak kepala adiknya yang paling usil itu tapi Upat sangat gesit, dia langsung kabur. Maka di sinilah Ipeh sekarang, di atas tempat tidurnya. Memandangi buket bunga pemberian Alvin, dan kado warna ungu dari Satria. Ipeh tak bergerak untuk membuka kotak kado dengan warna kesayangannya itu. Ipeh terus berpikir, kenapa Satria mau saja disuruh bu Pipit memberi hadiah itu?

Ya memang bu Pipit itu agak otoriter sebagai ibu, suka memaksa anak-anaknya melakukan apa yang diinginkan. Namun Ipeh juga enggan menerima pemberian yang berasal dari keterpaksaan. Perlahan kado itu disimpannya di lemari. Sedangkan buket bunga itu diletakkannya di atas meja belajar. Kemudian Ipeh sudah terbang ke alam mimpi. Secepat perjalanan cahaya memang, sangat cepat.(*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang