Bagian Dua Puluh Satu

49 5 0
                                    

Desa yang Ipeh tinggali adalah desa tetangga Iskandar. Ipeh tak menyangka akan ditempatkan di desa yang tak jauh dari “hatinya” itu. Beberapa waktu di sana, Ipeh belum berani berkunjung ke rumah Iskandar. Ingin sekali sebenarnya, tapi pakai alasan apa?

Hingga kesempatan itu datang, ada kegiatan kunjungan ke desa Iskandar. Penyuluhan tentang pentingnya membaca. Ipeh sudah sangat gugup dalam perjalanan menuju ke sana, hingga dia tidak fokus saat teman-temannya briefing singkat selama perjalanan dengan berjalan kaki itu.

“Pokoknya, kita harus bisa berkomunikasi dengan mereka. Jangan pikirkan materi yang berat dulu, santai saja.” Ujar ketua kegiatan.

Warga berkumpul di balai desa. Ketua kegiatan memaparkan materi dengan sangat komunikatif, sehingga warga bisa menerima dengan mudah. Mata Ipeh berkeliling mencari sosok ibu Iskandar, barangkali ada di antara para ibu. Namun, Ipeh tidak menemukannya.

Hingga kegiatan akan selesai pun, tak ada siapapun yang Ipeh kenali. Sedang membereskan semua perlengkapan, sebab balai desa akan digunakan sebagai tempat belajar anak-anak, di situlah Ipeh terperanjat. Jantungnya berdegup kencang.

“Retno?” sapa Ipeh pada sosok perempuan ayu berkerudung putih sederhana yang menaiki sepeda dengan keranjang penuh buku.

“Mbak Saipeh?” balas gadis ayu itu. Senyumnya mengembang. “Bener ini Mbak Saipeh?” tanyanya meyakinkan.

“Benar, ini saya. Apa kabar Retno?” Ipeh berpelukan dengan Retno.

“Ipeh, mau pulang nggak?” tanya Ali, ketua kegiatan.

“Kamu bisa duluan aja. Aku masih agak lama di desa ini. Nggak apa-apa kan?”

“Oke. Hati-hati ya.”

Rombongan teman Ipeh pulang, tinggal Ipeh sendirian di balai desa.

“Gimana ceritanya bisa ada di sini Mbak?” Retno sangat antusias bertemu Ipeh. “Dan nggak mampir ke rumah?”

Beberapa anak datang ke balai desa, langsung berebut menyalami Retno dan menyerbu keranjang sepedanya. Berebutan membaca buku yang Retno bawa.

“Hati-hati ya, jangan sampai rusak bukunya. Tenang, semua kebagian. Jangan rebutan...” pesan Retno pada anak-anak itu.

“Njih, Mbak....” jawab mereka kompak, lalu lebih hati-hati lagi.

“Saya di sini karena ada Program Pemberdayaan Desa. Saya senang sekali bisa ketemu kamu lagi Ret.” Ujar Ipeh.

“Iya, sama. Gimana kabar Mbak Ipeh, Mbak Kayla, juga Mbak Fira?”

“Baik, semuanya baik. Kamu sendiri? Ibu? Bapak? Dan....”

“Mas Andar?” senyum Retno.

“Iyalah, semuanya.”

“Hmm.... Banyak kejadian selama ini. Bapak, sudah dipanggil Gusti Allah. Sedangkan Ibu, sudah lama tidak bisa bangun dari tempat tidur. Lumpuh, sejak jatuh di pasar. Tulang kakinya patah. Kalau saya.... sehari-hari menjaga toko, dan keliling kayak gini. Jadi perpustakaan keliling. Sebisa saya untuk mengajak anak-anak gemar membaca.”

“Hebat sekali kamu Ret. Dalam segala keterbatasan, kamu selalu bisa memberikan inspirasi bagi siapa saja. Aku salut sama kamu.” Gumam Ipeh.

“Banyak anak yang belum bisa membaca. Kadang saya ke sini bacain dongeng.” Kata Retno.

Tiba-tiba datang seorang anak kecil. Balita dengan pipi gembil menghampiri Retno. Di belakangnya perempuan bercadar mengejar anak kecil itu.

“Hanum...” seru Retno pada balita lucu yang menghampirinya.

“Ret, Mbak kira kamu nggak akan datang.” Ujar perempuan bercadar itu.

Ipeh mengangguk dengan tersenyum pada perempuan bercadar yang suaranya sangat lembut. Retno menggendong balita yang dipanggil Hanum tadi, kemudian mempekenalkan Ipeh kepada perempun bercadar itu.

“Kenalin Mbak, ini Mbak Jihan. Ibunya Hanum.” Lalu Ipeh menyalaminya. Dari balik cadarnya Ipeh bisa menebak betapa cantiknya perempuan itu.

“Mbak Ipeh dari mana asalnya?” tanya Jihan.

“Saya dari Serang, Mbak.” Jawab Ipeh.

“Ooh, jauh juga. Ikut program Pemberdayaan Desa ya? Sering-sering ke sini Mbak, di desa ini ada banyak yang masih belum bisa baca.” Ujar Jihan.

“Mbak Jihan ini ngajar Tahsin dan Tahfidz...” ucap Retno menjelaskan. Jihan tampak malu dan menutupi penjelasan itu. Ipeh menangkap kesan low profile dari perempuan anggun itu. Hanum juga tampak sangat manis, lucu. Usianya sekitar dua tahun, tapi gemar berbicara layaknya orang dewasa.

Ipeh pamitan untuk pulang ke posko di desa tetangga. Retno memaksa Ipeh untuk mampir, tapi hari menjelang petang. Ipeh harus bergegas agar tidak kemalaman. Lain kali Ipeh janji akan menjenguk ibu Retno, dan akan lebih lama berbincang dengannya. Retno terpaksa mengizinkan Ipeh pergi. (*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang