Pintu dibuka dari dalam. Saipeh keluar dengan menenteng ember berisi pakaian yang sudah dicuci. Wajah Satria pias. Mendadak, darah berhenti mengaliri wajahnya. Saat Saipeh keluar lewat pintu belakang, kaki Satria lemas. Dia tak menyangka obrolan ngawurnya dengan sang adik akan ketahuan.
“Fiiii! Kamu kenapa gak bilang kalau ada Ipeh di sini?”
“Biar Teh Ipeh mendengar suara hatimu yang berniat menjadikannya istri!” sergah Fira sambil tertawa. Sebuah jitakan mendarat di kepalanya.
***
Wajah Saipeh menyembul dari balik pintu kamar kosan. Sebuah ember ditentengnya. Kayla heran melihat kelakuan Saipeh yang aneh. Bukannya langsung ke kamar mandi menyimpan embernya, malah dipeluknya ember itu di tempat tidurnya. Berbaring miring memunggungi Kayla.“Wah, gak beres nih orang. Dateng-dateng kayak gitu eh kesurupan ya lo!” seru Kayla.
Saipeh diam saja. “Hey jawab dong Ipeh....!” Kayla makin semangat.
“Kenapa sih air di kamar mandi kita ini mati? Kenapa gue harus numpang mandi di rumah Bang Sat? Kenapa gue harus mendengar semua itu? Hiks...hiks...” suara isak terdengar menyayat hati. Bagai suara tangis kuntilanak di film horor.
Kayla bingung melihat punggung Ipeh berguncang-guncang seraya erat memeluk embernya. Dia coba menenangkannya dengan cara mengusap punggung sahabatnya itu.
“Kay, apa gue begitu menjijikkan ya? Apa gue gak pantes menjadi istri yang didambakan ya? Apa gue.... Hiks...hiks....”
Kayla makin bingung. Kesambet setan apa Saipeh?
Moment terlebay itu baru berakhir tengah malam, saat Kayla membohongi Ipeh.
“Peh, itu apaan Peh? Kayak.....ada bayangan hitam tinggi besar Peh.... Lo lihat juga nggak?” setelah mendengar itu Ipeh bergegas sembunyi di balik selimut. Sementara Kayla bertanya-tanya pada dirinya, apa yang didengarnya di rumah bu Pipit sehingga Ipeh jadi dramatis seperti film India. Besok, aku harus menginterogasi Si Sapi.
Safira yang biasanya berkeliaran tak jauh dari Kayla dan Saipeh, hari itu tak tampak batang hidung dan gigi berkawat behel warna-warninya. Ditanya pada bu Pipit, katanya Fira sudah ke kampus pagi-pagi sekali. Kayla menunggu di depan kelasnya, dia terlihat sibuk menyalin catatan temannya bahkan hingga kelas bubar. Begitu Kayla mendekatinya, anak itu segera kabur.
“Sori Teh. Minta tanda tangannya nanti aja ya. Aku sibuk banget nih.” Alasannya.
“Mau ngapain lo?” tanya Kayla.
“Biasa. Namanya juga aktivis. Lagi banyak kegiatan nih.” Lalu ia berlari kecil menjauh. Tinggal Kayla sendirian berdiri mematung tanpa kejelasan atas sikap Saipeh semalam. Bahkan pagi ini Saipeh tak berselera makan. Padahal biasanya dia bisa menghabiskan tiga porsi nasi uduk.“Pasti ada yang nggak beres nih...” gumam Kayla.
“Apanya yang nggak beres, Dik?” sambar seseorang dari belakang.
Kayla menoleh. “Eh, Margono...” sahut Kayla melihat teman sekelasnya itu.
“Sekiranya ada sesuatu yang membuat hatimu gundah, jangan segan untuk bicara pada Mas Gono ya Dik...” ujar Gono dengan logat Jawanya yang kental.
Kayla hanya mengangguk sambil buru-buru pergi.
Saipeh tampak serius duduk di perpustakaan. Membaca buku tebal, dan tidak menyadari kedatangan Kayla. Diperhatikan begitu, Saipeh cuek saja. Akhirnya Kayla tidak tahan lagi. Ia menarik tangan Ipeh keluar. Di sebuah koridor yang agak sepi.
“Peh, sebenarnya ada apa sama lo semalam?” cecar Kayla. To the point.
Saipeh yang tidak nyaman diperlakukan begitu, mengelak. Jawaban klasik seorang perempuan ketika ditanya kenapa, maka jawabnya “tidak apa-apa”.