Pasien kecelakaan datang tengah malam, kepalanya penuh darah. Dia tidak sadarkan diri. Satria yang sering jaga di IGD menangani pasien itu. Bau anyir darah, patahan tulang, sayatan kulit dan robekan daging sudah biasa dilihatnya bahkan Satria harus memperbaiki apa yang salah pada diri pasien. Tak peduli betapa parahnya luka itu, dia dituntut untuk bisa mengatasinya segera. Sebelum ajal lebih dulu menjemput pasien.
Meskipun kadang ada saja pasien yang meninggal dalam penanganannya. Satria nyaris terbiasa melihat kematian demi kematian di depan matanya.
Melihat Ayasha, Satria merasa telah melihat masa depan. Gadis cerdas dan cantik itu berprofesi sama dengannya. Selain itu, keduanya bisa saling memahami. Bahkan, jika mamanya tidak suka menantunya kerja kantoran, Ayasha bisa buka praktik di rumah dan tidak perlu bekerja di instansi lagi.
"Dokter Ayasha!" dalam satu kesempatan, Satria memanggilnya.
"Ya?"
"Maaf, sebelumnya maaf. Mungkin ini terlalu cepat, tetapi harus saya sampaikan. Apakah Dokter sudah siap untuk menikah? Sudah ada calon?" gugup Satria bertanya, ini pertama kalinya dia melamar gadis. Beberapa hari ini sudah menghafal teks dengan sungguh-sungguh.
Ayasha tersenyum. "Belum ada calon."
"Alhamdulillah. Kalau menikah dengan saya, bagaimana?"
Ayasha tertawa kecil. "Dokter sangat terus terang."
"Maaf, karena saya juga bingung harus melamar dengan cara apa. Anggaplah ini sebagai kesepakatan."
"Kesepakatan apa ya, Dok?"
"Bahwa saya dan Dokter Ayasha bersepakat untuk membina rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Bagaimana?"
Ayasha tersenyum geli. Seperti ini cara Satria melamarnya. Namun senyum itu segera sirna. "Saya akan pikirkan penawaran Dokter. Permisi." Lalu Ayasha pergi, menyisakan degup jantung yang tak beraturan.
Ayasha tidak segera menjawab penawaran itu hingga beberapa pekan lamanya. Sampai Satria sendiri lupa bahwa dia pernah mengajukan diri menjadi suami dokter cantik itu. Kesibukan merawat pasien mengalahkan kesibukan hati yang mencari sandaran.
Ketika Ayasha mengatakan ingin mengatakan sesuatu, Satria justru bingung tentang apakah itu. Dia merasa satu-satunya alasan Ayasha mengajaknya bicara adalah pasien gawat darurat. Bahkan Ayasha tidak memerlukan sebuah kafe dengan lampu temaram dan musik romantis untuk mengutarakan maksudnya. Hanya sebuah ruang staf yang banyak dilalui perawat dan dokter lain.
"Sebenarnya, orangtua saya di Jogja menginginkan saya menikah secepatnya. Calonnya juga sudah disiapkan. Namun, saya dibebaskan untuk memilih sendiri dulu. Kalaupun saya cocok dengan pilihan saya, belum tentu orangtua saya menyetujuinya."
"Hmm.."
"Saya mencoba untuk membuat kesepakatan dengan Dokter." Kata Ayasha lagi. Satria terkejut.
"Jadi, Dokter bersedia?"
Ayasha mengangguk. "Kita coba dulu saja." Ujarnya lalu pergi ke nurse station.
Satria bengong beberapa saat, hingga seorang perawat memanggilnya. Bertanya tentang tindakan yang harus diberikan pada pasien sesak napas di tempat tidur paling ujung. Satria segera menguasai dirinya dan menghampiri pasien.
***
Enam bulan sudah berlalu sejak kepergian Ipeh, dan bu Pipit tak pernah bosan menanyakan keadaan gadis bersandal jepit ungu itu.
"Sat, ayo telpon Ipeh! Mama kangen!"
Biasanya Satria tidak akan langsung menuruti kemauan Sang Mama. Satria hanya akan membuka Facebook dan dengan mudahnya menemukan banyak foto Ipeh yang sedang melakukan berbagai kegiatan di Jogja.
"Lihat, Ma, Ipeh sedang sibuk mengajar anak-anak mengaji Iqro."
"Lihat Ma, Ipeh sedang mengajari Mbah-mbah ini membaca."
"Ma, Ipeh sedang jalan-jalan di Malioboro. Lihat, dia belanja banyak souvenir."
Bu Pipit akan lega. Namun akan terus bertanya hal yang sama pada hari berikutnya.
Hingga Satria kemudian menyampaikan sesuatu kepada mamanya. Dengan sangat serius Satria meminta mamanya memahami.
"Ma, Satria memutuskan akan menikah."
Wajah bu Pipit bersinar cerah. Satria melanjutkan.
"Calon menantu Mama ini perempuan sholihah, cantik dan sabar. Dia dokter."
Seketika raut wajah bu Pipit sedikit keruh. "Ah, dokter! Mama nggak suka kalau calon istrimu kerja di luar juga. Siapa yang bakal ngurus anak-anakmu?"
"Ma..." lirih Satria berbisik. "Ini pernikahan yang Satria inginkan. Mengertilah Ma, Satria dan perempuan ini sudah sepakat akan menikah. Apakah Mama tidak ingin punya menantu yang cantik dan solehah? Sini Ma, Satria perlihatkan fotonya." Satria lalu mengeluarkan ponselnya, menunjukkan beberapa foto perempuan dengan seragam dokter.
"Dia berjilbab rapi. Namanya Ayasha. Lihat Ma, cantik bukan?"
Bu Pipit melihat sekilas foto itu, lalu mengangguk. Raut wajahnya masih keruh. Lalu berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Satria termenung sejenak. Ada apa dengan Mama? Kenapa tidak senang dengan pilihanku?
Satria dan Ayasha memang tidak memerlukan waktu lama untuk sepakat melangsungkan pernikahan. Satria merasa cocok dengan karakter yang dimiliki perempuan itu. Solehah, sabar, tetapi tegas dan percaya diri. Mama harus bertemu langsung dengan Ayasha! Begitu pikirnya sebelum kembali ke kamarnya. Dia percaya, jika memang jodoh maka jalannya akan mudah.
Awal mula mereka sepakat untuk menikah adalah karena Satria merasa perempuan itu bisa mengimbangi langkahnya. Perempuan seperti itulah yang dia cari. Tangguh, tetapi anggun. Cantik itu nomor sekian, sedangkan kepribadiannya sungguh menarik. Dia cepat tanggap ketika ada pasien datang, merawatnya dengan cepat dan cermat. Setelah selesai, dia mengucap hamdalah. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Satria tidak memerlukan waktu lama untuk menyatakan niatnya itu. Ayasha menjawab agak lama setelah Satria melamarnya. Visi mereka mulia, ingin membangun generasi yang tangguh, memiliki masa depan cerah, cerdas dan bisa membawa mereka ke surga.
Kini, saatnya Satria memperkenalkan gadis itu kepada keluarganya. Terutama kepada bu Pipit yang susah move on dari Ipeh.
Bu Pipit memaksa Fira untuk menelepon Ipeh. Bagaimanapun caranya Ipeh harus pulang, datang ke acara ulang tahunnya. Tumben sekali bu Pipit mau merayakan ulang tahun, sesuatu yang tak pernah dilakukannya seumur hidup! Satria sudah mengingatkan, bahwa Baginda Rasulullah tidak mencontohkan perayaan ulang tahun. Lagipula untuk apa? Yang penting bermuhasabah, apakah usia yang dinikmati selama ini telah digunakan dengan baik? Atau malah menyia-nyiakannya?
"Mama hanya ingin berkumpul dengan anak-anak Mama saat Mama berusia 55 tahun! Apa salah?" ketus bu Pipit. Memang benar apa kata orang bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin bawel dia.
"Oke, kita akan kumpul keluarga. Tapi, nggak usah manggil Ipeh ya Ma? Kasihan, dia kan lagi di Jogja. Masa jauh-jauh ke sini hanya untuk ngerayain ulang tahun Mama?" kata Satria.
"Kamu bilang Cuma? Tega kamu!"
"Udahlah Bang, biar Fira coba telpon ya nanti. Siapa tahu memang bisa." Fira menengahi. Mama baru mau diam. Sedangkan Satria merasa semakin terpojok. Ulah mamanya semakin menjadi, sebegitu inginnya menjadikan Ipeh sebagai menantunya. Padahal, apa sih kelebihannya? Satria mencoba mencari sisi baik gadis itu, tetapi pikirannya selalu buntu. Ipeh dalam benaknya adalah ceroboh, suka ngupil, maniak sandal jepit, dan malu-maluin dalam kondisi apa saja. Sama sekali Satria tak menemukan celah untuk bisa mencintainya. Apalagi menjadikannya istri.
"Halo, Teh Ipeh! Hahaha... kangen Fira nggak? Ada di mana nih? Helow, Teteh sakit? Kok suaranya serak gitu? Oh gitu? Teh, di mana?" kata Fira di telepon.
"Lagi perjalanan pulang, liburan."
"Kebetulan! Teh, ke rumah ya. Lusa, Mama nyuruh Teteh ke sini."
"Insya Allah ya..."
"Kudu dateng! Gak mau jadi anak durhaka kan?"
"Hahaha..."
Bu Pipit tersenyum. Usahanya berhasil.
"Kalau gitu Satria akan undang dokter Ayasha juga, biar Mama kenalan sendiri dengan dia." Kata Satria.
Mama tersenyum menantang, siapa takut?(*)
