Bagian Tigabelas

63 4 0
                                    

“Sebentar ya Peh, Ibu mau nganterin bubur ini ke dalam dulu.” Kata bu Pipit. Ipeh mengangguk meski sebenarnya sangat lelah dan ingin kembali ke kamarnya. Tidur sepuasnya. Namun bu Pipit benar-benar menahan Ipeh untuk diajaknya berbincang-bincang tentang segala hal. Mulai dari kutu air, sampai sinetron yang lagi heboh.

“Di sini Cuma kamu yang sudi mendengarkan semua isi hati Ibu.” Kata bu Pipit, yang disambut gumaman dalam hati Ipeh, ya jelas aja pada nggak mau dengerin, aslinya gue juga males dengerin cerita Ibu. Cuma karena basa-basi biar tetep dapet harga kosan murah, gue relain aja deh telinga gue buat dengerin keluh kesah bu Pipit.

“Kamu itu udah Ibu anggap seperti anak Ibu sendiri. Bagaikan anak perempuan Ibu yang hilang.” Ujarnya lagi, mulai ngaco.

“Kan Sapi, eh Safira anak perempuan Ibu...” ralat Ipeh.

“Iya, tapi kamu itu ibaratnya kembaran Fira gitu lho...” imbuh bu Pipit. Ipeh speechless ketika disamakan dengan gadis aneh si Sapi itu. Sebelum obrolan semakin ngaco, Ipeh permisi untuk pamit ke kamarnya.

“Ya sudah. Kamu istirahat gih, pasti capek banget.”

Ipeh mengangguk, bergegas melangkahkan kaki ke kamarnya yang sangat dia rindukan.
***
Ada sesuatu yang berbeda pada diri Nayra belakangan ini. Dia sudah mulai mau makan dan minum obat, padahal sebelumnya seperti ingin bunuh diri pelan-pelan dengan cara mogok makan. Pasalnya, dia dikunjungi oleh  Irfan, mantan calon suaminya. Irfan datang sendirian, dengan wajah dipenuhi mendung dia menyatakan permintaan maafnya kepada Nayra dan keluarganya.

“Mungkin kamu anggap saya pengecut, tapi demikianlah adanya. Saya mau minta maaf sedalam-dalamnya atas kesalahan saya yang membuat kamu jadi begini.” Kata Irfan, dan Nayra diam saja.

“Saya tidak tahu harus bagaimana menghadapi kamu. Hanya bisa bilang maaf....” lanjut Irfan dengan airmata tertahan. Satria melihat dari kejauhan adegan melankolis itu. semula menduga Nayra akan menangis histeris. Ternyata, gadis itu diam saja. Tak menjawab sepatah kata pun. Hingga Irfan pergi, dan ibu Nayra mengajak putrinya berbicara.

“Nay... Kamu nggak apa-apa?”
Nayra mengembuskan napas. “Lelaki baik itu nggak ada di bumi. Bahkan seorang yang kusebut ayah, ternyata memiliki istri selain ibu. Begitu juga Irfan... Dia lebih mengutamakan seorang dari masa lalunya untuk dijadikan pendamping hidupnya, dibandingkan aku yang lebih sabar menghadapinya.”

“Nay, jangan berkata seperti itu. Ayah kamu orang baik, kamu jangan menganggapnya begitu.”

“Tapi menelantarkan kita. Sama seperti Irfan. Jadi, sudahlah. Aku nggak percaya lagi sama kata-kata lelaki.”

“Nayra!” tegur sang ibu.

Satria mengusap wajah. Ternyata efek patah hati itu bisa menimbulkan kata-kata yang menyakitkan, menghujam ke dasar hati.  Satria berjalan mendekati Nayra, karena memang jadwalnya kunjungan pasien.

“Bagaimana keadaanmu Nayra?” tanya Satria.

“Buruk, Dokter. Rasanya saya akan mati sebentar lagi.” jawab Nayra.

“Kamu akan sembuh, sehat seperti dulu.” Kata Satria.

“Buat apa sembuh kalau hatiku sudah tak berbentuk lagi. Sudah tak percaya lagi pada kenyataan hidup ini. Tidak ada lelaki yang bisa kupercaya lagi.”

Satria dan ibu Nayra saling pandang, merasa risih saat mendengar kalimat yang diucapkan Nayra.

“Kamu akan menemukan lelaki yang baik itu Nayra.” Kata Satria.

“Siapa? Apakah Dokter termasuk lelaki yang baik atau jahat?” tanya Nayra dengan binar mata penuh keputusasaan.

“Kenapa? Kalau kamu mempertanyakan kebaikan atau kejahatan saya, artinya kamu masih percaya bahwa masih ada lelaki baik di bumi ini. Suatu saat kamu akan bertemu lelaki yang baik, asalkan kamu juga tetap dalam kebaikan. Oke, sekarang, sarapan ya? Setelah itu minum obat.” Kata Satria.

Nayra tersenyum, “Ya, Dokter memang baik. Saya tahu itu. Kebanyakan lelaki lebih suka menampakkan kalau dia baik dan mengaku baik, padahal sebenarnaya jahat. Menyimpan racun di belakang. Tapi Dokter tidak begitu.”

Satria menarik napas, bingung pada perkataan Nayra. “Oke, saya tinggal dulu ya. Jangan lupa diminum obatnya.”

Satria tidak tahu lagi apa yang Nayra katakan sepeninggalnya, sebab dia harus mengunjungi pasien di ruang rawat inap lainnya. Dia sendiri sebenarnya masih kurang sehat, tetapi dipaksakannya masuk. Ibunya berulangkali menelepon untuk mengingatkannya jangan sampai lupa makan dan minum obat.

“Iya Ma, Satria hanya kecapekan. Mama jangan khawatir ya...”

“Gimana nggak khawatir, kamu ini anak Mama yang masih jomblo. Belum menikah.”

“Apa hubungannya Ma?”

“Ya Jelas ada hubungannya! Kalau kamu sakit sampai parah, lalu kamu meninggal dalam keadaan jomblo, kamu nggak akan punya keturunan untuk mendoakan keselamatan kamu di akherat.”

Satria tersenyum, pemikiran ibunya kadang melampaui batas kesadarannya. “Ma, kalaupun begitu, Mama akan terus doain aku kan?”

“Ya tergantung, kalau Mama inget.”

“Hahaha, ya sudahlah Ma, Satria mau bertugas dulu.”

“Kamu jangan terlalu capek ya Sat...”

“Iya Mama Sayang....”

Satria menutup teleponnya dengan menyisakan sedikit senyum. Bagi orang lain, ibunya mungkin aneh. Namun baginya, ibu adalah segalanya. Seorang yang paling perhatian kepadanya meski dibumbui dengan segala kecerewetannya. Ibu adalah orang yang selalu membuat harinya cerah dan ia yakin bisa tersenyum setiap hari. Kadang dia merasa repot karena disuruh ini dan itu, terutama sejak kepulangannya ke rumah.

Mama tak pernah bosan menyuruhnya melakukan berbagai macam hal yang berkaitan dengan Ipeh. Hah? Ipeh? Satria segera tersadar dari lamunannya tentang ibu. Sosok Ipeh membuat kacau lamunannya. Segera dia singkirkan dan kembali sibuk dengan pekerjaan.

Kadang Satria bertugas malam di ruangan IGD. Ruangan cukup luas dan lengkap peralatannya itu menampung banyak pasien dengan beragam masalah. Ada yang sudah gawat darurat membutuhkan bantuan segera. Ada yang sudah tak sadarkan diri. Ada yang berdarah-darah akibat kecelakaan. Anyir darah menguar di mana-mana, serta tangis meraung-raung tiap ada pasien yang meninggal dunia. Satria terbiasa dengan suasana kelam seperti itu.

Satria terbiasa melihat kehilangan demi kehilangan anggota keluarga, tetapi dia tidak bisa membayangkan andai salah satu keluarganya yang dipanggil Sang Pencipta. Mamanya yang banyak bicara, papanya yang pendiam, Bang Amru yang sangat perhatian pada keluarga, juga Fira yang selalu ceria. Satria berharap mereka semua senantiasa sehat.
***
Saipeh dan Kayla bolak-balik perpustakaan untuk menambah referensi skripsi Kini mereka sudah mendaftarkan skripsi yang siang malam diotak-atik hingga ke bagian kata per kata. Bertemu dosen pembimbing sepanjang minggu, lalu sibuk mengedit sampai lupa makan. Tinggal menunggu daftar sidang, maka selesailah sudah tugas mereka sebagai mahasiswi cantik bak bidadari jatuh ke tempayan.

“Akhirnya kita terbebas juga dari segala tugas ya Kay...” kata Ipeh.

“Iya, dan kita sebentar lagi lulus. Lo mau kemana Peh?”

“Entahlah... Kalau lo?”

“Mama mulai meminta gue menikah, Peh. Gue harus gimana ya? Padahal usia gue masih muda banget, belum pengen nikah.” Kata Kayla.

“Siapa calonnya? Pengusaha resort itu?”

Kayla mengangguk. “Tampaknya dia bersedia nungguin gue. Jadi selama ini dia belum juga menikah.”

“Ya siapa sih cowok yang nggak mau nungguin lo? Cantik dan solehah, seluruh lelaki di bumi juga bakal setia nungguin lo buat jadi suaminya.”

“Gombal banget sih lo Peh.” Kayla tersipu.

“Hahaha....”

Safira tiba-tiba muncul di antara mereka. “Gue tahu, kalian pasti lagi sedih karena jarang ketemu gue kan? Maafkan....maafkan kesalahan gue ya Teteh-teteh Sayang. Bukan maksud gue buat ngelupain kalian, tapi gue emang lagi sibuuuuk banget. Biasalah artis papan atas. Ada syuting ini itu, biasalah...” katanya dengan begitu heboh.

“Artis papan penggilesan iya. Eh Sapi, lo kok selalu nempel kita terus sih? Pergi jauh gih. Apalagi setelah kita berdua lulus ya, mau sama siapa lo main? Emang lo punya temen?” kata Ipeh. Sementara Kayla pura-pura muntah saat mendengar Fira menyebut dirinya artis papan atas.

“Ya punya lah. Emang kalian berdua mau ke mana sih? Ke Mars?”

“Kepo, gak jauh beda sama ibunya.” Ujar Kayla.

“Yang jelas sih, kita berdua ini nggak akan selamanya tinggal di rumah lo.” Tambah Ipeh.

“Jadi, mau pada ke mana nantinya?” kejar Fira.

“Kepo lagi.”

“Teteh! Please!” ujar Fira serius. Matanya sampai mau keluar, menatap Ipeh dan Kayla.

“Kenapa Pi? Lo nggak rela ya kalau kami pindah?” tanya Ipeh.

“Iya jelas gak rela lah! Sejak kehadiran kalian berdua, suasana rumah begitu tenang dan nyaman. Kalau kaliah pergi, siapa yang bertugas menakut-nakuti tikus? Hahahaha....”

Ipeh dan Kayla saling pandang, lalu kompak meninggalkan Fira yang masih tertawa terbahak-bahak sendirian. Kemudian segera sadar dan mengejar dua gadis itu.

“Teh, marah ya?” rajuk Fira.

“Gak!” teriak Ipeh dan Kayla kompak.

Safira masih ingin mengejar Ipeh dan Kayla, ketika teman-teman Fira memanggilnya untuk masuk kelas. Sudah ada dosen katanya. Safira menghampiri mereka semua sambil melambaikan tangan pada dua gadis cantik keturunan Adam dan Hawa itu.
***
Pagi itu Ipeh dan Kayla tidak ada kegiatan apa-apa. Draft skripsi sudah diajukan menunggu sidang, jadi hanya di kosan santai-santai. Sempat Kayla mengajak Ipeh jalan-jalan ke suatu tempat, tapi Ipeh menolak.

Tiba-tiba dering ponsel mengagetkannya. Nama Alvin tertera di layar. Mau ngapain Alvin telepon gue?

“Assalamu’alaikum Ipeh!” seru Alvin di sebrang telepon. (*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang