Bagian Sepuluh

65 4 0
                                    

“Nggak apa-apa Mbak. Saya yang salah, kelamaan.” Balas Ipeh. Hatinya masih gundah memikirkan pertemuannya barusan dengan Satria. Bagaimana dia bisa menghadapinya lagi kalau bertemu dengannya di lain waktu?

Sampai malam Ipeh tidak bisa tidur, memikirkan betapa gugupnya dia karena terus bertemu dengan Satria. Karena itulah dia terlambat bangun. Mila sudah duluan ke restoran di lantai bawah. Ipeh menuntaskan keperluannya, kemudian segera menyusul Mila. Semoga makanannya belum habis!

Ipeh celingukan di restoran. Semua kursi terisi penuh, sebagiannya diisi teman-temannya. Ipeh mengambil piring dan berdiri di depan koki yang memasak omelet.

“Mbak, mau omelet dengan toping apa?” tanya koki tersebut.

“Telur sama daun bawang aja cukup Mas. Tapi nggak apa-apa kalau ditambah sosis, daging dan keju.” Jawab Ipeh.

Koki itu tersenyum lalu membuatkan pesanan Ipeh. Setelah itu Ipeh bingung mau duduk di mana. Seseorang melambaikan tangan kepadanya. Teman sesama bimtek juga. Alhamdulillah, setidaknya di sini ada yang kenal gue. Ipeh menghampiri meja yang cukup besar itu. Dia tidak menyadari kalau meja itu tak hanya diisi teman-temannya, tetapi juga tamu lainnya.

Salah satunya adalah Satria. Dia sibuk menikmati susu dan sereal sambil berbincang-bincang dengan rekan di sebelahnya. Pembicaraan yang serius, tentang dunia kesehatan.

“Mbak Ipeh asalnya dari mana?” tanya teman baru Ipeh. Sebuah perkenalan yang lumrah terjadi. Ipeh meringis, dia sangat berharap temannya tidak menanyakan apapun kepadanya, paling tidak sampai Satria pergi. Sebab pertanyaan dengan suara keras itulah, Satria mau tak mau menoleh kepadanya. Ipeh langsung menunduk dan sibuk menikmati omeletnya.

“Nggak makan nasi? Tumben.” tanya Satria.

Ipeh merasa pertanyaan itu diucapkan oleh Satria, tapi dia tak menyangka bahwa dialah yang ditanya. Namun, Ipeh diam saja. Pertanyaan temannya diabaikan, lidahnya kelu untuk menjawab meski hanya satu patah kalimat.

Keesokan harinya, Ipeh bangun lebih pagi sehingga dia bisa sarapan lebih pagi. Masih kosong. Kesempatan buat gue makan banyak nih. Kemarin malu, makanya Cuma makan omelet.

Ipeh memulai aksinya dengan mengambil buah-buahan, mengambil omelet dan waffle, lalu sereal dan susu segar. Dia sudah hampir kenyang, ketika menengok ke sisi kiri dilihatnya makanan bertuliskan “kimchi”.

“Itu kan makanan khas Korea yang suka muncul di drama! Ambil ah!” serunya, lalu beranjak dan mengambil sepiring kimchi. Kembali dia duduk di tempatnya, menikmati kimchi yang ternyata terasa asin dan asam semata. Lebih enak pecel! Ipeh sudah makan beberapa suap, ketika kejadian horor terjadi lagi padanya.

Satria berjalan dengan percaya diri bersama rekannya, mengambil tempat duduk di meja Ipeh. Karena gugup, Ipeh langsung masuk ke kolong meja. Berharap Satria tidak melihatnya kali ini. Ipeh sembunyi di kolong, sementara Satria asyik makan sambil ngobrol.

Efek dari kimchi ternyata tidak main-main. Mendadak perutnya sakit, melilit. Ipeh memegangi perutnya dan menahan agar jangan sampai keluar angin, tetapi percuma. Angin itu keluar dengan sendirinya dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Temannya Satria pun berkomentar.

“Ini sepertinya bau septictank bocor deh.”

Satria menanggapi, “Masa sih? Sepertinya ada truk sampah parkir di lobi hotel.”

Ipeh gemas sendiri mendengar obrolan tidak jelas itu. Dia merasa kesulitan mengatur napas, betapa sakit perutnya. Ingin segera lari ke belakang tapi malu jika ketahuan Satria.

“Ini siapa sih yang abis makan di sini? Mejanya penuh makanan, kayak dicicipi semua gitu.” Ucap temannya Satria.

“Iya, kampungan.” Imbuh Satria.

Ipeh makin kesal, dia keluarkan saja anginnya sepuas-puasnya. Satria dan temannya bukannya pindah ke meja lain, malah sibuk mengomentari sumber bau tidak enak itu.

“Kamu kentut ya?” tanya Satria ke temannya.

“Nggak, kamu kali.” sahut temannya.

Jika ada cermin, Ipeh akan melihat wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Dia berusaha keras menahan sakit perutnya. Kemudian, datang teman-teman Ipeh dengan membawa piring berisi sarapan.

“Mbak Ipeh ngapain di kolong meja?” tanya salah satu dari mereka.

Ipeh merasa pertahanannya sejauh ini hancur lebur sudah, terlebih lagi ketika Satria melongok ke kolong meja dan kaget melihatnya. “Ipeh, kamu ngapain di situ?” serunya.

“Kamu kenal dia Tri?” tanya temannya.

“Ya, kenal.”

“Jadi yang tadi kentut itu, dia?”

“Iya kali, dia sih biasa buang angin sembarangan.” Kata Satria, membuat temannya dan teman-teman Ipeh tertawa. Ipeh tersinggung, dia berdiri lalu lari ke belakang. Satria geleng-geleng kepala.

“Jadi yang kampungan dengan makan sebanyak ini juga dia?” tanya teman Satria.

Satria memandangi bekas piring makanan Ipeh, lalu menoleh ke arah toilet. Satria jadi terdiam memikirkan sesuatu.

Ipeh tak hanya menuntaskan hajatnya di kamar mandi. Dia juga berteriak kesal karena merasa dipermalukan. Ya dia memang makannya banyak, mumpung enak. Dia juga yang tadi coba-coba makan kimchi padahal lidahnya ndeso, terbiasa makan gado-gado. Ipeh ingin menangis, tetapi untuk apa? Lantas dia keluar kamar mandi dengan gontai, masih terasa sakit perutnya.

Tiba-tiba resepsionis memanggilnya, “Mbak Saipeh ya?”

“Ya?” Ipeh mendekatinya. “Ada apa ya Mbak?”

“Mbak Saipeh, ini ada titipan untuk Mbak.” Ujar resepsionis cantik itu. Ipeh menerima bungkusan kecil yang diberikan kepadanya.

“Dari siapa ini Mbak?”

“Dari laki-laki tadi, nggak bilang namanya.”

Setelah mengucapkan terima kasih dia membuka bungkusan itu. Tertera tulisan pada kertas kecil: makanya, jangan coba-coba makan yang aneh-aneh. Nih minum obat biar nggak mules lagi.

Ipeh terperangah. Siapa yang mengiriminya obat ini? Setelah mengucapkan terima kasih, Ipeh meminum obat itu. Lalu masuk ke ruangan, duduk di samping Mila. Beberapa temannya tersenyum saat Ipeh datang, senyum penuh ejekan.

“Gimana Mbak, masih sakit perut?” tanya Mila.

“Udah nggak, Mbak. Tadi minum obat.”

“Ooh...”

Mereka mengikuti materi hari itu, sama seperti kemarin sampai malam baru selesai. Masuk kamar sudah kelelahan. Besok hari terakhir, agendanya ekskursi lapangan. Ipeh tak sabar ingin segera jalan-jalan ke Kota Tua, tempat yang akan diobservasi.

Pagi-pagi sekali usai sarapan, semua peserta Bimtek Sejarah berkumpul di lobi hotel. Semalam sudah dibagi beberapa kelompok, Ipeh mendapat bagian di daerah Pecinan Glodok. Bersama sembilan orang lainnya, Ipeh akan menyusuri daerah yang terkenal dengan etnis Cina itu. Sedangkan Mila bersama kelompoknya langsung observasi ke Gereja Santa Maria de Fatima, masih di kawasan Glodok.
Bau dupa menguar sepanjang jalan gang Petak Sembilan. Kanan kiri jalan dipenuhi pertokoan yang menyediakan berbagai perlengkapan rumah tangga. Mulai dari pakaian, perabotan, furniture, sembako, sampai sayur dan ikan. Mayoritas pedagangnya juga beretnis Cina.
Salah satu barang dagangan yang menarik perhatian Ipeh adalah katak yang masih hidup dengan terikat kakinya.

“Wah! Katak aja laku di sini.”gumam Ipeh. Kayaknya ntar gue alih profesi aja deh, jadi pencari katak.

Seorang ibu paruh baya jongkok di depan pedagang katak dan terjadilah tawar menawar di antara mereka. Harganya setara dengan ayam. Iseng Ipeh bertanya ke ibu tersebut.

“Bu, emang rasanya enak ya?”

“Iya, enak. Rasanya gak beda jauh dari daging ayam.” Jawab ibu tersebut.

“Masa sih Bu? Nggak jijik gitu?”
“Peh, yang jijik itu kalau dimakan mentah.” Kata Alvin, teman sekelompok Ipeh.

“Dalam kepercayaan kami, katak itu ayam dari langit.” Jelas ibu tersebut, yang oleh karena tak terjadi kesepakatan harga dengan sang pedagang akhirnya mengurungkan niatnya membeli katak.
Mereka berjalan lagi, sambil mengatur strategi. Memecah kelompok untuk bertanya ke pedagang-pedagang yang ada di sana, ke hansip, ke RT. Ipeh, Alvin dan Heni bertugas mewawancarai para pedagang. Mencari informasi sejak kapan berjualan di Petak Sembilan, serta sejarahnya.

Sepanjang jalan menuju Petak Sembilan memang banyak pertokoan yang didominasi etnis Cina. Nama tokonya ada yang bertuliskan aksara Cina, ada yang sudah berubah nama menjadi nama bernuansa Indonesia, katanya sih itu karena pada zaman Orba ada kesensitifan terhadap hal-hal berbau Cina. Maka nama toko pun diubah menjadi bahasa Indonesia. Toko-toko itu ada yang sudah puluhan tahun ada pula yang baru-baru ini saja. Ada yang bahkan sejak lahir sudah ada di situ.

Lagi-lagi Ipeh takjub melihat dagangan di emperan toko. Bentuknya persegi panjang, empuk dan direndam di dalam baskom.

“Ini apaan sih?” tanyanya.

“Teripang, timun laut.” Jawab pedagang bermata sipit.

“Harganya berapa?”

“Tergantung yang mana. Kalau itu sekilonya satu juta.” Jelas pedagang itu.

“Hah! Gila, masa mahal banget! Emang apa khasiatnya?”

“Obat kolesterol. Ini yang kering lebih mahal lagi, empat juta.”

“Mahal banget ih!”

“Ya, kan ngambilnya di dalam laut. Menyelamnya aja susah, Peh.” Kata Alvin, yang kemudian mengambil alih tugas wawancara, daripada Ipeh terus-menerus menyatakan ketidakpercayaannya atas harga teripang itu.

Bahwa teripang-teripang itu didapatkannya dari Surabaya, khasiatnya memang bagus dan warga Tionghoa biasa mengonsumsinya untuk menjaga kesehatan. Kalaupun mahal akan dibeli juga. Biasanya kalau ada acara besar barulah memasak teripang, itu juga tidak boleh asal dalam memasaknya. Teripang sangat sensitif terhadap minyak, jadi mudah rusak zat yang terkandung di dalamnya. Kalau tidak hati-hati, percuma membelinya jutaan rupiah.

Kelompok mereka berkumpul di titik yang sudah disepakati, pos hansip. Masing-masing melaporkan apa yang sudah didapat.

“Pedagang?”

“Sip!” Alvin mengacungkan ibu jarinya. “Mereka rata-rata sudah jualan di sini sejak zaman dulu sih, turun-temurun dari leluhurnya. Ada juga yang baru.”

“Tadi kami ke warung makan yang jualan makanan beraneka macam babi, ternyata pemiliknya adalah RT di Petak Sembilan ini.” Sambung Lilo.

“Itu juga tuh, nenek yang jualan kue di depan wihara. Beliau jualan di situ sejak masih remaja. Kue yang dijual bukan sembarang kue. Jadi kalau ada orang mau sembahyang di wihara, harus lihat dulu itung-itungan ramalannya. Makanan yang sesuai dengan ramalan hari itu, itulah yang harus dibeli. Lagian nenek itu jualan bukan sekadar cari untung sih, tapi buat melestarikan kebudayaan mereka.” Jelas Raka sambil mengunyah makanan sejenis apem, hasil dia wawancara dengan sang nenek.

“Jadi, ini makanan sesuai ramalan buat kamu?” tanya Alvin.

“Hahaha, bukan gitu. Nggak enak juga lah saya tanya-tanya tapi nggak beli.” Ujarnya sambil terus menikmati kue itu. Tak ada yang berminat mencicipinya, karena penampilannya memang sangat jadul.

Mereka kemudian ngobrol dengan hansip yang sudah bertugas di Petak Sembilan sejak 1996 dan ternyata dia asli Serang.

“Udah lama banget Pak, berarti saat kerusuhan Mei 1998, Bapak jadi saksi sejarah nih?” imbuh Alvin.

“Iya, itu saya saksikan sendiri kerusuhan yang terjadi di banyak tempat dalam waktu bersamaan. Lumayan kalang kabut juga saya. Hahaha. Tiap waktu kedengeran suara petasan, api berkobar di mana-mana.” Ungkap hansip yang bernama Tohir itu.

“Gimana Pak, suasana  saat itu? Dengar-dengar para perempuan Tionghoa diperkosa ramai-ramai? Penjarahan toko dimana-mana.” Tanya Ipeh penasaran.(*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang