“Gimana Pak, suasana saat itu? Dengar-dengar para perempuan Tionghoa diperkosa ramai-ramai? Penjarahan toko dimana-mana.” Tanya Ipeh penasaran.
“Kalau itu sih nggak tahu ya, tapi di sini relatif aman nggak ada yang gitu-gitu. Kalau penjarahan, namanya suasana panik, ya ada lah. Warga memilih bertahan di rumah masing-masing. Makanya, warga membuat pintu vital terbuat dari besi yang ditutup supaya jangan ada penyusup dan provokator masuk. Begitu kerusuhan sudah selesai, pintu dibuka kembali. Warga beraktivitas lagi dengan membangun puing-puing yang tersisa dari kerusuhan itu.” jelas pak Tohir.
“Penduduk Petak Sembilan 99%nya adalah etnis Tionghoa, sisanya pribumi baik lokal maupun pendatang. Perangkat desanya juga dari etnis Tionghoa semua. Nah kalau pribumi nggak suka belanja di sini, harganya relatif lebih mahal. Mereka biasanya belanja di Jembatan Lima, di sana jauh lebih murah.” Papar pak Tohir dengan antusias menjawab pertanyaan Ipeh dkk.
“Hmm... Pak, di sini ada masjid nggak?” tanya Alvin, seraya melirik jam di pergelangan tangannya. Oiya, ini sudah masuk waktu zuhur.
“Ada juga mushola, jauh di sana... Kalau masjid nggak ada.” Kata pak Tohir. “Ya maklum ya, di sini kan mayoritas Tionghoa, jadi adanya Wihara Darma Bhakti.”
Alvin mengangguk. Setelah beberapa pertanyaan kami ajukan lagi, tanya jawab itu berakhir dengan foto bersama. Kemudian berjalan lagi, memutari Petak Sembilan. Lagu-lagu Tionghoa mengalun di mana-mana, restoran sepanjang jalan menawarkan aroma yang menggoda. Hingga tanpa terasa, sampailah mereka di Jalan Kemenangan, tepatnya gereja Santa Maria de Fatima yang merupakan gereja Katolik tetapi berasitektur Tionghoa. Itulah titik pertemuan mereka dengan kelompok lain.
Seorang lelaki kurus memakai kaos merah serta celana panjang hitam, berwajah bersih dan berjenggot rapi berdiri di tengah-tengah rombongan. Ipeh sejenak melihatnya. Dalam hati dia bergumam, ini ikhwan dari mana? Jenggotnya, aih...
“Ehm! Jangan terpesona gitu Peh, dia pastor.” Kata Alvin pelan di sebelahnya. Ipeh terkejut. Pertama karena Alvin seolah tahu apa yang sedang Ipeh rasakan, kedua karena mengetahui fakta bahwa lelaki berjenggot itu adalah pastor.
“Emangnya Cuma ikhwan yang boleh jenggotan?” lanjut Alvin. Ipeh kesal karena Alvin kedengarannya seperti sok tahu. Namun, mendengar penjelasan tentang sejarah gereja Santa Maria de Fatima dari mulut lelaki berjenggot itu, Ipeh terhenyak. Iya, benar. Dia pastor.
Ipeh tak terlalu menyimak apa yang dijelaskan, hanya sebagian saja yang Ipeh tangkap. Yakni pada mulanya gereja ini diperuntukkan bagi para Hoakiau atau Cina Perantau. Dulu namanya gereja Teosebio, menyatu dengan sekolah Ricci tetapi sekarang sekolah itu terpisah secara struktural dengan gereja. Gedungnya persis di sebelah gereja, terpisahkan oleh tembok dan pintu besi.
Ketika rombongan masuk ke dalam gereja untuk melihat altar dan penjelasan lebih lanjut tentang gereja, Ipeh duduk di bangku panjang yang ada di terasnya. Berdekatan dengan sekolah Ricci. Dia termenung sendirian.
“Kenapa nggak masuk?” sapa seseorang. Ipeh menoleh, Alvin rupanya.
“Nggak apa-apa. Saya merasa nggak nyaman aja memasuki rumah ibadah agama lain.” Jawab Ipeh.
“Kan tujuannya untuk belajar.”
“Ya silakan aja kalau begitu menurutmu. Saya sih lebih nyaman di sini aja. Lha, kamu sendiri kenapa nggak masuk?” Ipeh balik bertanya.
“Hmm, nggak pengen aja.” Jawab Alvin. “Oya, kamu dari Serang ya?”
“Iya, kenapa?”
“Saya sering lho ke Serang. Kapan-kapan kalau saya ke Serang, boleh nggak saya mampir?”
“Boleh aja.” Jawab Ipeh singkat.Ponselnya bergetar, dia membaca pesan masuk. Dahinya mengernyit.
“Di mana?” bunyi pesan itu. Ipeh tak habis mengerti mengapa Satria mengiriminya pesan itu.
“Kenapa? Dapet pesan dari siapa, kok mukanya kayak abis lihat penampakan gitu?” tanya Alvin.
“Ng... ini, teman tumben SMS. Nggak apa-apa kok.” Jawab Ipeh gugup. Dia bingung mau membalas bagaimana. Akhirnya dia hati-hati sekali mengetik balasan.
“Di Pecinan Glodok.” –read
Tak lama kemudian muncul balasan lagi.
“Maaf salah kirim.”
Ipeh rasanya ingin menggigit batang pohon saking kesalnya. Apa maksudnya mengirim pesan seperti itu tetapi kemudian diralatnya sendiri dengan mengatakan “salah kirim.” Hahaha iya mana mungkin Bang Sat bakal perhatian sama gue! Ipeh bergumam sendiri dalam hati.Sementara Alvin keheranan melihat Ipeh yang wajahnya kelihatan sangat kesal.
“Mau minum?” tawar Alvin sambil menyodorkan segelas air mineral. Ipeh menerimanya dan segera meminumnya. Dia memang haus sejak tadi. Alvin tersenyum.
“Tuh kayaknya udah selesai.” Kata Alvin sambil menoleh ke arah teman-teman yang baru keluar dari gereja.
“Iya, kita lanjut jalan kaki ke Kota Tua?” tanya Ipeh. Alvin mengangguk. Setelah sesi foto bersama, mereka berjalan bersama menuju Museum Bank Mandiri dan Museum Fatahillah yang lokasinya berdekatan dan berada di Kota Tua.
Masing-masing berjalan sesuai kelompoknya. Ipeh dan teman-teman satu kelompoknya sepakat akan melewati Pasar Asemka, tempat menjual aksesoris grosiran.
“Laper euy...” gumam Ipeh.
“Mau makan?” tawar Raka di belakang Ipeh. “Tuh ada siomay! Kayaknya enak, beli yuk!” ujarnya lalu mendahului Ipeh untuk membeli. Ipeh mengikuti di belakang Raka.Keduanya berhenti di depan pedagang siomay yang menggunakan sepeda dan penjualnya seorang perempuan Tionghoa.
“Beli berapa?” tanya Raka yang sudah mendapat siomay lebih dulu, dia sibuk mengunyah makanan sambil berdiri. Ipeh bengong, kelihatannya Raka makan enak sekali. Bumbu kacangnya juga sedap.
“Lima ribu aja Bu.” Kata Ipeh.
“Nggak usah!” kata Alvin keras, tiba-tiba menarik tangan Ipeh menjauh dari pedagang siomay. Ipeh menjerit kaget karena tangannya disentuh Alvin.
“Apa-apaan kamu Vin!”
“Kamu jangan polos Ipeh! Kamu pikir kenapa saya nggak jajan apa-apa dari tadi, meski lapar sekali? Karena saya nggak yakin kehalalannya. Barusan, makanan yang hampir kamu beli dan kamu udah ngiler saking kepengennya itu apa coba? Siomay apa coba?”
“Emang apa? Siomay mah biasanya ikan.” Jawab Ipeh.
“Babi! Itu babi!”
“Astaghfirullah! Hampir aja ya...”
Mereka berbincang sambil terus berjalan di antara deretan pertokoan yang menjual dupa dan aksesoris lainnya untuk persembahyangan.
“Maaf tadi saya refleks tarik tangan kamu. Maaf kalau kamu nggak berkenan. Maaf sekali, saya kaget karena kamu kelihatan nggak tahu apa-apa tentang siomay apa yang dijual itu. Padahal jelas-jelas ada tulisan ‘B2’.”
“Ya kukira itu namanya aja. Makasih sudah mengingatkan, walaupun sebenarnya nggak perlu juga tarik tangan kayak gitu.” Ungkap Ipeh.
“Raka sih emang non muslim, biarkan aja dia makan makanan surga, yang paling enak sedunia. Emang diakui kok, daging babi itu enak. Tapi, kita seorang Muslim diperintahkan untuk nggak memakannya. Bisa tahan nggak dengan larangan itu meski rasanya sangat enak?” ujar Alvin.
“Tahu dari mana kalau rasanya enak?” tanya Ipeh.
“Kata yang udah memakannya sih, katanya enak. Tapi seorang Muslim kan nggak berpatokan pada enak atau nggak enak kalau soal makanan. Melainkan halal atau haram.” Kata Alvin. Ipeh terperangah.
“Kamu cerdas, Vin.” Senyum Ipeh sambil matanya memerhatikan aneka sandal jepit yang berjejer di trotoar.
“Ini bukan soal cerdas atau bego, tapi ketaatan kita kepada Allah.”
“Subhanallah, mulai sekarang saya harus panggil Ustadz Alvin.” Kata Ipeh. Lalu kakinya terpaku di trotoar yang di sana ada kios buku loak. Alvin juga ikut berhenti dan memilih-milih buku bekas yang bertumpuk-tumpuk itu.
“Kamu tahu nggak jalan ke Kota Tua?” tanya Ipeh.
Alvin mengangguk. Lalu Ipeh merasa tenang memilih-milih buku bekas dengan harga murah itu. Setelah memilih beberapa, keduanya berjalan bergegas menuju Museum Bank Indonesia. Melewati Pasar Asemka, Jembatan Lima, dan bangunan berasitektur Belanda berwarna abu-abu.
Sampailah mereka di Museum Bank Indonesia yang dipenuhi oleh anak-anak SMP. Ramai sekali tampaknya, berebut siapa duluan yang masuk. Petugas kerepotan mengatur mereka. Ipeh menghampiri teman-temannya yang bergerombol di salah satu sudut. Mereka sudah lebih dulu menjelajahi Museum Bank Indonesia. Di antara mereka, ada Raka yang melambaikan tangan pada Ipeh dan Alvin.
Ipeh hendak menegur Raka yang sudah mengerjainya tentang siomay babi di Pecinan tadi. Namun, Alvin lebih dulu melakukannya.
“Hey! Belajar lagi tentang toleransi yang bener ya! Hormati agama lain!” katanya tegas. Semua mata menoleh pada Alvin. Ipeh melongo. Ada apa sih sama nih anak? Tiba-tiba jadi galak gitu..
“Sori Bro, bercanda!” Raka tertawa kecil.
“Halal-haram bukan buat bercanda!” katanya lagi, lalu berjalan memasuki museum. Ipeh yang sangat ingin mengetahui museum BI cepat-cepat mengikuti Alvin.
“Vin, hehe... Kamu keren banget tadi. Raka emang harus ditegur.”kata Ipeh.
Alvin yang semula berjalan cepat, tiba-tiba berhenti. “Bukan hanya Raka yang harus ditegur. Kamu juga harus belajar lebih giat. Baru di Pecinan aja kamu udah nyaris makan makanan haram. Gimana kalau kamu suatu saat kuliah ke Jepang yang kulinernya lebih banyak yang haram?”
Ipeh nyengir. “Iya Vin, maafin saya ya. Dan makasih. Hehe.” Lalu dia masuk untuk melihat sejarah Bank Indonesia, dimulai sejak zaman Belanda. (*)