Bagian Tujuh

61 4 0
                                    

Nayra adalah pasien di rumah sakit tempat Satria bertugas. Gadis cantik itu kini berwajah lesu. Ibunya senantiasa menemaninya dan tak membiarkan Nayra sendirian.
Setiap Satria mengecek kondisinya, Nayra diam seperti patung. Enggan minum obat, tak mau menuruti apa kata dokter. Tak mau makan. Meski ibunya terus menangis di sampingnya, Nayra tak peduli.

Satria gemas jika ada pasien manja seperti itu. Banyak orang antre di IGD untuk mendapatkan ruangan. Namun Nayra menyia-nyiakan kesempatannya untuk sembuh. Sakit fisik tak butuh waktu lama untuk pulih, tapi sakit kejiwaan?

Sesuai jadwal, Satria menemui psikiater yang bertugas menerapi Nayra. Satria ingin tahu, ingin pasiennya segera sembuh.

“Sepanjang hidupnya, Nayra tak pernah dikecewakan. Nayra tak pernah mengalami kegagalan. Hidupnya sungguh sempurna, apa saja yang dia inginkan pasti didapatkannya. Hingga datanglah sebuah lamaran yang dia idamkan dari seorang pria yang dia cintai. Mereka merancang hari pernikahan, membuat surat undangan dan mempersiapkan segala-galanya. Namun, takdir berkata lain. Lelaki yang dicintainya, justru menyebar undangan berbeda. Tak ada namanya tertulis di sana. Yang ada hanya nama sang lelaki, dan nama perempuan lain yang juga Nayra kenal. Undangan itu menjadi saksi nyata bahwa Nayra telah dipecundangi. Sejak itu dia stress, dan mengurung diri di kamar.

“Hari demi hari berlalu, pernikahan mantan calon suaminya telah berlangsung. Nayra malu pada teman-temannya, malu pada orang tuanya, malu pada dirinya sendiri yang merasa tidak berharga. Mengapa nasib itu terjadi padanya, dia tak mengerti. Nasihat kanan kiri tak didengarnya, bahkan nasihat orang tuanya sendiri tak dia pedulikan. Akhirnya, dia nekad mau mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun serangga itu.” Kisah Bu Alya, psikiater yang hari ini Satria temui.

“Mengapa mereka putus, sedangkan sudah membuat surat undangan?” tanya Satria.

“Tidak ada penjelasan. Lelaki itu pergi begitu saja.”

“Apa tidak ada klarifikasi? Apa dua keluarga tidak bertemu untuk menyelesaikan masalah ini?”

Bu Alya menggeleng. “Seharusnya memang ini diselesaikan dengan tuntas, tapi keluarga Nayra telanjur sakit hati. Terutama Nayra, dia tidak ingin bertemu lagi dengan mantan calon suaminya.”

“Kalau begitu, saya akan bicara pada mantan calon suaminya untuk meminta penjelasan. Lebih bagus kalau dia datang meminta maaf. Walau apapun jawaban Nayra, setidaknya dia harus tahu dan dengar sendiri dari lelaki pengecut itu.” Satria berpendapat. Bu Alya mengangguk.

Bermodal nomor telepon lelaki bernama Irfan itu, Satria menghubunginya. Satria mengatakan bahwa ada hal penting terkait Nayra yang harus dibicarakan dengannya. Irfan menyetujui untuk bertemu di sebuah pusat perbelanjaan.

Satria sudah menunggu kedatangan Irfan di sebuah bangku food court ternama yang ada di sana. Memesan minuman ringan ia terus memerhatikan keramaian pengunjung. Untuk apa dia sampai repot ingin bertemu Irfan, dia hanya ingin tahu satu saja alasan Irfan bertindak demikian.

“H-hai, Mas Satria ya?” sapa seseorang. Lelaki tinggi tegap berwajah tampan. Satria menyalaminya lalu mempersilakannya duduk setelah orang itu menyebut namanya “Irfan”.

“Sudah lama menunggu, Mas?” basa-basi Irfan.

Satria memandangnya sebentar, lalu menjawab, “Baru saja. Oya, mau pesan apa?”

“Oh, maaf, saya... sedang shaum Mas.”

Satria mengangguk-anggukkan kepalanya. Pantas saja Nayra sampai gila, lelaki ini selain tampan juga ramah dan rajin beribadah.

“Maaf, bagaimana....keadaan Nayra Mas? Ada apa dengannya? Dan, Mas siapanya Nayra?”

Satria menghela napas sebelum menjawab, “Saya dokter yang merawat Nayra. Sudah seminggu ini, tidak ada perubahan. Sepertinya Nayra sangat betah berada di rumah sakit, dia tidak tahu kalau banyak pasien yang antre untuk mendapatkan kamar kosong.”

“Nayra....sakit? Sakit apa Mas?”

“Dia, mencoba bunuh diri. Karena calon suaminya menikah dengan perempuan lain.”

Tiba-tiba wajah Irfan merengut. Dia tahu siapa yang dibicarakan.

“Saya ingin tahu, kenapa lelaki itu tega berbuat demikian? Bisakah Mas Irfan membantu saya mencari jawabannya? Sebab saya bingung sekali dengan pasien ini. Tidak mau makan, tidak mau minum obat, padahal tagihan jalan terus. Percuma saja dirawat inap, kalau dia tidak punya keinginan untuk sembuh.” Kata Satria tajam.

Irfan menundukkan kepala. Diam saja.

“Mas, Mas Irfan...?” kejar Satria karena Irfan tak juga menjawab.

“Saya memang salah....” jawab Irfan lirih. “Saya egois. Saya jahat!” serunya.

“Kalau saja, saya tidak bertemu dengan Arilla, saya tidak akan mengingat masa lalu saya dan janji kami dulu. Saya dan Arilla dulu pernah menjalin cinta, tetapi kami terpisah lama dan ketika hampir saya menikah dengan Nayra tiba-tiba saja Arilla datang lagi. Dia menagih janji kami dulu untuk menikah jika kami bertemu lagi. Sekarang, saya menyesal telah melukai hati Nayra.”

“Oh, CLBK rupanya....” gumam Satria.

“Saya juga tidak memberikan penjelasan apa-apa kepada Nayra. Lagipula Arilla tidak tahu apa-apa tentang Nayra. Saya memang brengsek!”

Ya, baguslah kalau kamu sadar. Ujar Satria dalam hati.

“Lalu, bagaimana kabar Nayra setelah mencoba bunuh diri?” tanya Irfan kemudian.

“Kacau. Dia nyaris gila.”

Irfan menarik napas panjang. Lelah. Resah. “Lalu, apa yang harus saya lakukan?”

“Mas, jangan tanyakan itu pada saya. Saya bukan dokter cinta. Saya Cuma ingin pasien saya bisa sembuh. Bagaimana dia bisa sembuh kalau batinnya sakit? Sebaiknya jenguklah dia, terserah apa yang akan kalian bicarakan. Yang penting urusan kalian selesai.” Kata Satria, lalu tanpa sengaja matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Ngapain tuh Saipeh di tempat ini. Tuh sandal jepit dengan pedenya menyaruk-nyaruk lantai.

Saipeh dan Kayla, berdua beriringan sambil tampak bercanda. Mereka menuju ke bagian kosmetik. Satria diam-diam mengikuti dari belakang, setelah urusannya dengan Irfan selesai. Dilihatnya Saipeh sedang memilih-milih kosmetik, entah untuk keperluan apa.

Tiba-tiba, matanya bersirobok dengan Kayla, yang menangkap basah dirinya sedang mengikuti mereka berdua.

“Lagi ngapain Bang?” tanya Kayla.

“Lagi belanja, kamu ngapain?”

“Lagi belanja juga. Tapi, aneh aja lihat Abang di sini. Di bagian....” Kayla menunjuk keranjang pakaian dalam wanita dengan ekor matanya.

Satria baru sadar, dia memang berada di bagian itu. Ditambah dia memegang satu celana dalam pula. Dia menjadi sangat malu. Lalu, Saipeh datang.

“Eh, Kay? Lho, Bang Sat ada di sini juga?” Saipeh bingung melihat Satria kebingungan. Namun segera ia paham situasi.

“Oh, biar Ipeh aja yang beliin Bang. Bu Pipit juga nitip ke saya tadi. Jadi biar saya aja yang beliin pakaian dalamnya. Ukurannya juga saya udah dikasih tahu. Kalau Bang Sat yang beli, takutnya salah. Hehe...” kata Ipeh.

Satria seperti baru keluar ke permukaan air setelah menahan napas karena tenggelam. Ia lantas mengangguk dan pamit pulang.

Kayla memandangi Saipeh heran. “Peh, sedeket apa hubungan lo sama nyokapnya Sapi, kok sampe nitip underwear segala?”

Ipeh mengibaskan tangannya. “Ahhh, udahlah...” lalu memilih underwear yang kira-kira pas untuk bu Pipit. Saat melakukan itu, Ipeh merasa telah menyelamatkan harga diri seorang lelaki. #tsaah!

Kesibukan mengerjakan skripsi dan berbagai persyaratan untuk kelulusan sangat menguras pikiran. Sampai lelah dan pusing Ipeh memikirkannya. Makanya, ketika Kayla mengajaknya sekadar jalan-jalan ke supermarket yang katanya mau membeli make-up dia mau-mau saja.

Tak lama lagi mereka akan lulus, dan kemungkinan mereka akan pergi dari kosan bu Pipit. Mencari hidup baru.
*

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang