Bagian Duapuluh

48 5 0
                                    

“Assalamu’alaikum...” sapa Satria saat memasuki rumah. Bu Pipit sebenarnya sudah mendengar deru motor anak lelaki kesayangannya, tetapi dia masih sibuk berdoa. Maka jawabnya pelan saja Wa’alaikumsalam....

Satria juga seperti biasanya, tidak akan mengganggu ibundanya terkasih sedunia akherat, dia langsung menuju kamarnya dan melewati kamar adiknya semata wayang itu dia menggedor pintunya.

“Bangun! Shubuh Shubuh....”

Tak terdengar jawaban, pintu terkunci. Biasanya Fira akan dibangunkan ulang oleh mamanya setelah azan Shubuh. Bu Pipit akan sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Satria juga biasanya duduk di meja makan setelah shalat Shubuh.

“Sekarang rumah kita sepi ya?” gumam bu Pipit sambil mengaduk nasi goreng.

Satria mengembuskan napas, Mama mulai lagi deh.

”Sat, apa kamu bener-bener nggak suka sama Ipeh? Mama kok, rasanya sayang sama dia?” ujar bu Pipit. Satria terdiam.

“Tapi ya, namanya juga kamu yang menjalani rumah tangga. Terserah kamu saja deh. Apa sudah ada calonnya?” tanya bu Pipit.

Satria menggeleng. “Belum ada Ma.”

“Kamu sudah harus menemukan gadis itu, yang sholehah dan sabar. Terutama lagi, dia mau menjadi ibu rumah tangga. Bukan pekerja kantoran.”

“Kenapa memangnya Ma?”

“Kalau kamu dan istrimu sama-sama sibuk kerja, siapa yang menjaga anak-anakmu?”

Satria tampak berpikir, “Itu masalah teknis saja Ma. Gampang lah.”

“Kata siapa gampang. Sat, kamu harus memilih perempuan yang membaktikan dirinya demi keluarga. Bukan yang ambisius dengan cita-citanya sendiri. Mama nggak mau kamu dan istrimu sibuk cari uang sementara anak-anakmu diurusi pembantu dan nggak jelas pendidikannya. Mama tidak mau cucu-cucu Mama lebih kenal pengasuhnya dibandingkan ibu dan ayahnya sendiri.”

“Ngomong apa sih Shubuh-shubuh gini? Serius amat?” Papa datang langsung nimbrung.

“Tentang masa depan Satria Pa, Satria harus segera cari istri.”

“Tumben amat ngebahas hal yang serius gini? Biarin ajalah Ma, Satria sudah dewasa. Sudah bisa berpikir. Kita jangan banyak mengatur.” Kata Papa.

“Papa nggak tahu aja kalau Satria itu pemilih sekali. Biarin, jadi bujang lapuk tahu rasa!” ujar bu Pipit.

“Jangan mendoakan yang jelek-jelek Ma, bagaimana kalau itu jadi doa? Baiklah, Satria akan serius mencari calon istri. Biar Mama bahagia.”

“Niatkan untuk ibadah, jangan untuk Mama!” hardik bu Pipit.

“Membahagiakan Mama kan ibadah.” Senyum Satria.

“Mama..! Mamaku yang cantik dan cerewet sejagat raya. Mana sarapannya?” tiba-tiba Fira muncul dengan wajah kucel.

“Udah sholat Shubuh belum?” tanya Satria.

“Udah dong!” jawab Fira ketus.

“Masih ileran juga minta sarapan. Jangan dikasih Ma...” kata Satria.

“Sini sini Nak, makan sama Mama.” Ujar bu Pipit seraya menggandeng tangan Fira ke dekatnya. Fira bermanja di depan mamanya, minta dibuatkan susu segala. Satria memandangnya dengan kesal. Adiknya itu sangat manja, menyebalkan.
***
Kayla bercerita pada Saipeh bahwa dia sudah mendaftar program beasiswa S2 ke Jepang. Kayla serius dengan pilihannya, hingga dia berusaha keras memenuhi semua syaratnya. Mama sudah sangat kesalnya hingga tak memedulikan Kayla lagi. Sejak Usman melepaskan diri dari ikatan taaruf dengan Kayla, mama menjadi uring-uringan. Tidak mau tahu lagi apa yang putrinya kerjakan. Sementara bibi Kayla selalu mendukung apa yang keponakannya itu lakukan. Bibinya ingin melihat Kayla sukses, dihormati orang, kaya raya, tanpa dipandang rendah oleh siapapun termasuk calon suaminya kelak.

Sedangkan Saipeh mengikuti program Pemberdayaan Desa yang diprogramkan pemerintah. Sambil menunggu proses seleksi, Ipeh juga mempersiapkan diri kalau-kalau dia diterima dalam program itu. Program yang bertujuan menjadikan sebuah desa bisa mandiri dan berbudaya.

Begitu Ipeh menerima hasil seleksi itu, bahagia sekali dia. Lokasi desa yang menjadi tujuannya adalah Jogja. Darahnya tersirap setiap kali mendengar nama kota itu disebut. Ada sepotong hatinya di sana, kalau dia mengakui itu.

Beberapa tahun lalu saat Ipeh baru saja masuk kuliah, dia dan Kayla jalan-jalan ke Jogja. Fira ikut juga, sedangkan Satria saat itu masih mahasiswa tingkat akhir di UGM. Ketika sedang istirahat di Masjid Terban, Ipeh bertemu dengan sosok lelaki idamannya,  Iskandar. Lelaki sederhana bersandal jepit dan mengayuh sepeda ontel usai mengisi pengajian ibu-ibu. Tahi lalat di pipi lelaki itu menambah manis senyumnya.

Ketidaksengajaan Ipeh salah memakai sandal jepit milik Iskandar ternyata meninggalkan kesan mendalam di hati Ipeh. Dengan begitu sopan Iskandar meminta sandalnya dikembalikan, sementara Ipeh sebal sekali karena Fira mengatakan pada pemuda sholih itu bahwa Ipeh “sekolah di Pakem” yang bermakna –sakit jiwa--.

Ipeh mendapat kesempatan dua kali untuk bertemu dengan lelaki pendiam itu, di rumah lelaki yang merupakan sahabat dekat Satria. Kemudian jadi kenal dengan Retno, adik Iskandar. Apa kabarnya gadis ayu itu?

Segala sesuatunya Ipeh persiapkan. Bukan hanya pakaian, buku-buku dan banyak hal yang akan dia perlukan di sana. Ibu merasa berat melepas Ipeh begitu jauh. Sudah 4 tahun lebih menjadi anak kosan, sekarang mau pergi lebih jauh lagi. Upit berpesan pada adiknya itu agar jangan lupa mandi, sedangkan Upat mengingatkan Ipeh untuk rajin ngupil. Sedangkan Bapak tidak banyak bicara, hanya memberikan sejumlah uang untuk bekal Ipeh di sana. Program itu akan berjalan selama dua tahun.

Alvin datang untuk mengantar keberangkatan Ipeh. Sebenarnya gadis itu tidak enak juga kalau Alvin sampai repot-repot datang dari Tangerang hanya untuk turut melepasnya pergi. Apalagi Alvin bukan siapa-siapanya. Meskipun secara jelas sikap Alvin begitu peduli terhadapnya. Justru Ipeh sendiri merasa perhatian itu berlebihan.

“Bang Alvin sebenarnya nggak perlu repot-repot datang kemari. Saya jadi nggak enak.” Kata Ipeh sambil berjalan menuju mobil yang sengaja Alvin bawa untuk mengantar Ipeh. Sejak Shubuh mobil itu sudah nangkring di halaman rumah. Berarti Alvin berangkat dini hari.

“Kamu akan pergi lama, apa salahnya kalau saya ikut mengantar?” jawab Alvin dengan senyum dikulum dan berjalan tegap seraya kedua tangannya ditautkan di balik badannya.

Melihat gerak-gerik lelaki itu, Ipeh teringat desas-desus saat Bimtek mengenai kebangsawanan lelaki tampan yang kini jauh-jauh datang dari luar kota demi melihat Ipeh pergi jauh.

“Bang, boleh tanya?” ragu Ipeh bertanya.

“Silakan.” Bahkan cara menjawabnya pun sangat tertata rapi.

Ipeh berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepalanya. Bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakan perihal itu. Alvin menarik dua sudut bibirnya ke atas.

“Kok nggak jadi tanya?”

“Bukan sesuatu yang penting kok, Bang.”

“Jangan lupa sama saya. Oya, keluarga saya asli Surakarta. Kalau saya ada kesempatan mudik, boleh saya berkunjung ke tempat kamu bertugas?”

Gadis berkerudung ungu polos itu mengangguk pelan. Basa-basi ingin mampir itu kan biasa. Namun, Alvin bukan orang yang gemar berbasa-basi.

Ipeh berangkat diantar Alvin ke terminal bus bersama keluarganya. Begitu Ipeh naik bus, Alvin mengantar pulang keluarga Ipeh. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 16 jam hingga sampai di tempat tujuan yang terletak di Kabupaten Bantul.

Desa yang Ipeh tempati ternyata berada di dekat pantai Depok. Ingatan gadis itu segera meloncat ke masa sekitar empat tahun lalu saat dia baru masuk kuliah dan melakukan perjalanan wisata bersama Kayla dan Fira. Desa itu bertetangga dengan desa lelaki sederhana yang pernah membuat jantung Ipeh berlari panik. Tahun 2008 kala itu.

Teman-teman Ipeh berasal dari berbagai daerah, beberapa di antaranya sama-sama dari Pulau Jawa. Ada pula yang dari luar Jawa. Mereka memiliki keterampilan dan bidang keahlian beragam. Ada yang ahli ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan agama. Saling berpadu dalam rangka memberdayakan desa menjadi lebih maju.

Ada Ali, Rafiq, Nila, Santi, Fifi dan Majid. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk saling beradaptasi, saling mengenal dan menjadi dekat. Sebab mereka kini akan bersama-sama terus menjadi partner yang saling membantu dan mencapai tujuan bersama.

Bu Pipit marah saat mengetahui bahwa Ipeh sekarang berada di Jogja. Fira menjadi informan yang sangat akurat, melaporkan apa saja yang mamanya ingin tahu tentang mantan anak kosnya itu.

“Anak itu sudah nggak menganggap Mama lagi!” kemudian menelepon Ipeh sambil mengomel.

“Ibu sudah sering bilang, jangan pernah lupain Ibu! Kamu pergi jauh, pamitan aja nggak!”

Ipeh menghela napas, memang salahnya tidak memberi tahu bu Pipit sebelum berangkat. Namun dia juga tidak ingin bertemu Satria.

“Maafkan saya Bu, saya buru-buru sekali berangkatnya. Nanti, kalau Ipeh liburan akan Ipeh kunjungi Ibu ya.” Bujuk Ipeh.

“Kamu nanti bohong!”

“Tidak Bu, insyaAllah...”

“Benar ya! Awas kalau bohong!” bu Pipit masih terlihat tidak senang.

Dalam hati Ipeh terharu juga, ternyata bu Pipit masih menganggapnya “anak”. Meski suaranya keras dan marah-marah di telepon, Ipeh tahu itu sebagai bentuk perhatian. Bu Pipit ingin selalu dianggap ibu oleh Ipeh maupun Kayla.

Kini meski jauh dari keluarga, Ipeh sangat menikmati perannya sebagai penyuluh pendidikan. Dia mengajar para ibu tuna aksara. Mengajar ngaji anak-anak kecil dan membimbing para remaja menciptakan kegiatan positif. Bersamanya, ada beberapa teman dari daerah lain. Ipeh merasa sangat sibuk, tapi justru dalam kesibukan itulah dia mendapatkan gairah untuk terus membuat program demi program yang menarik dan bermanfaat.(*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang