Bagian Tiga

91 5 0
                                    

Bu Pipit sibuk membuat sarapan dan bekal untuk anaknya. Dia membuatnya cukup banyak, untuk Kayla dan Saipeh juga. Bu Pipit selalu senang ketika Fira bepergian bersama mereka berdua. Sementara Saipeh dan Kayla antara ragu dan sebal pada suasana pagi ini, karena Fira akan mengikuti mereka.
Nyaris mereka mau membatalkan rencana petualangan mereka, tetapi bu Pipit sudah semangat berteriak di luar kamar memanggil Kayla dan Ipeh. Mau tak mau mereka keluar, dan dengan diiringi lambaian tangan bu Pipit mereka berangkat. Kereta akan berangkat pukul tujuh pagi. Satria sudah menunggu di depan rumah, dengan setelan jaket hitam dan topi hitam, tentu saja. Tangannya dilipat di depan dada, wajahnya dingin dan kentara sekali tidak senangnya. Ia lalu berjalan paling depan begitu melihat tiga bidadari jatuh dari surga itu keluar pagar.
Bu Pipit terus melambaikan tangan dengan gembira. Fira tak kalah hebohnya membalas lambaian tangan mamanya.
“Daaah! Dadaaah Mamaaaaa..... Jangan lupain Fira yaaaaa...... Ingat Fira selalu dalam doa Mamaaaa......” teriaknya sambil mundur. Banyak orang di pinggir jalan yang melihatnya terus.
“Duh, malu-maluin amat sih nih anak. Lebay dan alaynya kebangetan! Dikira mamanya bakal lupa begitu dia pulang nanti. Lalu nanya, hei kamu siapa gadis sinting?” ujar Ipeh.
“Kamu juga hati-hati Sayang.... Jangan lupa minum setelah makan. Jangan lupa cebok kalau habis pipis. Dan jangan lupakan semua kenangan kita....” balas mamanya sambil teriak juga.
“Gue gak heran kenapa Sapi bisa kayak menderita gejala sakit jiwa gitu.” Kata Kayla sambil menoleh ke arah bu Pipit.
“Gue rasa, inilah alasannya sikap Bang Sat begitu dingin.” Gumam Ipeh.
“Ya, gue rasa, itu untuk menutupi kenyataan bahwa dia adalah anak kandung Bu Pipit. Pantas aja kalau lagi jalan sama Sapi, dia suka bersikap seolah gak kenal adiknya sendiri.” Kayla berspekulasi. Keduanya terkikik pelan.
Stasiun Serang pagi ini. Beberapa calon penumpang sudah bersiap di peron. Duduk dan berdiri sambil sesekali menengok ke arah datangnya kereta. Mereka sibuk berbincang dengan temannya. Sedangkan Kayla memilih untuk main HP. Fira sibuk selfie. Ya di tengah rel, di kursi peron, di depan ruang kesehatan, memeluk pilar, bahkan ngajak petugas stasiun untuk foto bersama. Tampak Satria menutupi wajahnya dengan topinya, melesak semakin dalam hingga tidak bisa dilihat keseluruhan wajahnya. Saipeh ngemil pilus.
Kereta pun datang. Suaranya begitu khas terdengar dari kejauhan. Fira melonjak-lonjak senang. Tak sabar ia ingin segera naik.
“Puas-puasin ya... petualangannya!” sungut Kayla pada Fira. “Jarang-jarang kan, kamu dibiarkan berkeliaran macam begini, ha?!”
Satria yang mendengar itu, sontak membuka topinya dan agak melotot kepada Kayla. Tak senang adiknya dibully. Saipeh menghindari bertatap muka dengan Satria.
Kereta cukup penuh oleh penumpang yang sudah sangat berjejal sejak dari stasiun sebelumnya. Maklum saja, ini weekend. Banyak yang pergi keluar kota, entah kemana tujuan akhirnya. Terpaksa mereka berempat berdiri, sambil berharap ada yang turun di stasiun berikutnya. Meski kenyataannya, bukannya berkurang malah semakin banyak saja yang naik. Belum apa-apa, Fira sudah mengeluh gerah dan lelah.
“Bang... kipasin Fira....” rengeknya pada sang abang.
Sebagian penumpang melihat adegan itu, hingga mungkin saja disangkanya mereka pacaran. Satria tengok sekeliling, merasa diperhatikan dia bukannya menuruti permintaan adiknya, justru menoyor kepalanya.
“Gue ditugasin Mama Cuma buat nemenin lo. Bukan buat jadi dayang-dayang lo yah!”. Fira cemberut. Ipeh dan Kayla geli menahan tawa.
*
Kereta mulai agak longgar setelah di stasiun Rangkasbitung. Ada dua bangku yang kosong. Satria menyuruh ketiga gadis itu duduk. Fira menyerobot duluan, dia menempati kursi yang pinggir jendela. Kayla di tengah, Ipeh di pinggir. Satria berdiri di sebelahnya. Masih terbayang jelas perkataan Satria pada malam itu. Ipeh sebal dibuatnya. Jadi ikhwan sok cakep amat. Dia pikir semua akhwat bakalan naksir sama dia. Dia kira kalau taaruf sama akhwat manapun, dia bakal diterima? Batin Ipeh.
Peh, lo liat aja dia. Apa kurangnya Bang Sat? Tampan, pintar, seorang dokter, cool dan sholeh pula. Hanya akhwat bodoh yang bisa menolaknya kalau dilamar. Tiba-tiba Ipeh mendengar suara bisikan pelan. Entah dari mana datangnya. Sekilas ia melirik ke samping. Satria berdiri kokoh dengan berpegangan pada sandaran kursi. Matanya lurus menatap keluar kereta. Aroma parfum menguar dari tubuhnya, begitu jelas tercium dari tempat Ipeh duduk yang membuatnya tak nyaman. Akhirnya ia berpura-pura tidur.
“Peh, Peh, bangun Peh!” Kayla menepuk pipi Ipeh. Mulanya pelan, lama-lama makin semangat. Fira juga ikutan menepuk—lebih tepatnya menampar—pipi Ipeh. Tergeragap Ipeh bangun. Niatnya hanya pura-pura tidur, malah pulas tidur sampai kereta berhenti di Angke. Mereka lantas keluar gerbong, yang memang telah sepi.
“Hebat banget lo tidur lama gitu. Sampe mangap-mangap dan ngiler segala. Abangnya Sapi ngeliatin lo jijik gitu.” Bisik Kayla.
“Ah, masa?!!” pekik Ipeh.
“Ini buktinya.” Kayla mengeluarkan Hpnya dan menunjukkan beberapa foto Ipeh saat sedang tidur. Benar katanya! Mangap dan ngiler. Ipeh menelan ludah. Sebongkah malu menindih hatinya. Bagaimana bisa dia tidur dalam keadaan mengenaskan, di depan ikhwan perfeksionis yang belum lama ini membullynya?
Mereka lanjut naik KRL tujuan Bogor. Kali ini ada banyak tempat duduk yang kosong. Satria sengaja duduk di kursi yang agak jauh dari tiga bidadari jatuh dari surga itu. Ia takut melihat pemandangan yang tak sedap lagi seperti tadi.
Hampir dua jam perjalanan, Saipeh habiskan dengan main HP. Begitu juga Kayla. Sedangkan Fira sibuk selfie, langsung upload di IG, dan membalasi komentar teman-teman dunia mayanya.
*
“Welcome to Bogor!” teriak Fira begitu keluar dari stasiun Bogor. Teriakannya disambut oleh para tukang ojek yang mangkal di situ. Berebut mau mengantarkannya ke mana saja.
“Abis ini kita ke mana ya?” gumam Fira sambil merengut karena para tukang ojek itu terus saja menawarkan jasanya.
“Kita mau ke mana?” tanya Satria. Saipeh menunduk saja, tak ingin ngobrol dengan Bang Sat. Kayla tampak berpikir sebentar.
“Kebun Raya aja gimana?” usulnya.
“Yaudah.” Singkat kata Satria sebelum dia ke pinggir jalan mencari angkot jurusan Kebun Raya. Tak lama kemudian mereka naik. Fira paling heboh, ingin paling duluan masuk. Satria duduk di bangku depan samping sopir. Ipeh jadi bisa sedikit leluasa berekspresi.
“Bogor itu kenapa ya disebut kota hujan? Apa karena tiap hari hujan? Trus gimana kalau ada pada satu hari nggak hujan, apa akan tetap disebut kota hujan? Gimana kalau diganti jadi kota gerimis? Huhuu... kayaknya lebih romantis deh. Coba dieja. Ge-ri-mis! Whoaaa! Fantastis! Manis!” Fira tak berhenti mengoceh.
“Mistis! Kayak lo!” sahut Kayla.
“Kay, lo masih ada sisa lontong?”
“Buat apa Peh?”
“Tuh buat Sapi. Kayaknya dia lapar deh, makanya berisik gitu.”
“Hahahaha.....!” Fira malah terbahak.
“Hus! Ini akhwat ketawanya gak direm amat, malu dong. Kita lagi di negeri orang...” ucap Ipeh. Kelakuan Fira sejak dulu belum berubah, kalau tertawa persis orang kesurupan. Mereka lalu diam. Hingga ketika angkot berhenti di depan gerbang Kebun Raya, Fira segera loncat turun dengan penuh semangat. Satria berjalan paling depan, tak peduli pada tiga bidadari jatuh dari rumah susun lantai sebelas itu. Sementara Fira tak hentinya selfie, tak peduli di depan pohon besar, di tengah pandan laut, di atas tangga, juga di rerumputan dengan posisi tiarap.
Begitu sampai di jembatan merah, Satria berhenti tepat di tengah. Rupanya ada sepasang kekasih yang berjalan amat lambat, sambil foto berdua pula. Terpaksa Satria memperlambat jalannya, hingga tiga bidadari jatuh dari rumah susun lantai sebelas itu berhasil menyusulnya.
“Ssstt... Katanya, kalau pacaran di jembatan merah, mereka bakalan putus lho!” ujar Fira keras. Sepasang kekasih yang tengah kasmaran itu menoleh. Satria menatap mereka tajam, segera sepasang kekasih itu berjalan menjauh.
“Kay, serem banget nih sungainya lagi deras arusnya...” gumam Ipeh.
“Lah, kan kedemenan lo tuh. Biasa main arung jeram juga.” Balas Kayla.
“Ini kenapa jembatannya goyang-goyang ya Kay...” ujar Ipeh.
“Gimana nggak? Tuh lihat!” Kayla menunjuk Fira dengan isyarat mata. Putri bungsu bu Pipit itu tengah melonjak-lonjak gembira, membuat jembatan jadi bergoyang menakutkan. Bisa saja talinya putus. Ipeh mengejar anak itu. Namun karena kurang keseimbangan, Ipeh menubruk Fira sampai tersungkur di jembatan. Nahas, sandal jepit kesayangan Ipeh terlepas dan jatuh ke sungai. Terbawa arus, hingga tak kelihatan lagi.
“Ya Allah!” pekik Ipeh. Dia terus memandangi sungai di bawahnya sambil berpegangan pada tali jembatan. Sebelah sandalnya tak mungkin ditemukan, bahkan meskipun ia menceburkan dirinya ke sungai untuk mencarinya.
Fira pun tak kalah histeris. Kayla hanya geleng-geleng kepala. Dari jauh, Satria menoleh. “Kenapa Fi?” teriaknya.
“Sandalnya Teh Ipeh hanyut Bang!”
Satria dengan kesal mendekat. “Jadi akhwat pecicilan sih...” lirihnya, lalu memungut sebelah sandal yang tergeletak di lantai jembatan. Lalu dilemparkannya ke sungai.

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang