Bagian Enambelas

51 5 0
                                    

“Mama....! Ada pengemis....!”

Kayla dan Ipeh saling pandang. “Kayaknya kita salah alamat deh. Cabut aja yuk!”. Namun sebelum mereka melangkahkan kaki lebih jauh, sosok ibu yang tak kalah aneh keluar dari rumah. Ibu berdaster dengan membawa sapu, tergopoh-gopoh keluar.

“Aduh Fira! Harusnya kamu kasih aja ke pengemisnya, gak usah teriak panggil Mama!” ujarnya.

“Maaf Bu, kami bukan pengemis. Kami mau ngekos. Katanya di sini ada kosan?” kata Kayla.

Ibu tersebut menatap gadis yang disebutnya Fira, “Heh! Ini bukan pengemis!”

Gadis itu nyengir.

Itulah awal perkenalan Ipeh dengan bu Pipit. Kedua gadis yang kepanasan terpapar terik matahari itu diajak masuk ke rumah, ditanya mau minum apa segala macam. Pesan jus jeruk dan teh manis tetap saja yang keluar air putih. Bu Pipit lalu mengantarkan mereka berdua ke kamar paviliun yang kotor dan berdebu. Tanpa sungkan menyuruh Ipeh dan Kayla membersihkannya.

Gadis yang cengar-cengir di teras tadi, lantas mendatangi kamar yang sudah rapi itu. Memperkenalkan diri, mengaku bernama Bidadari. Kemudian bu Pipit datang seraya menoyor kepala gadis aneh itu.

“Bidadari ndasmu! Sana mandi! Udah tiga hari gak mandi-mandi.” Katanya, disambut dengan wajah bete gadis yang aslinya bernama Safira.

“Itu anak bungsu saya, namanya Safira. Hari ini ngaku Bidadari, kemarin ngakunya Kim So Un, besok entah apa lagi. Asal jangan ngaku Maudy Kusnaedi aja.”

“Emang kenapa Bu?”

“Ya, Maudy Kusnaedi itu saya.”

Ipeh kini tertawa sambil lekat memandangi jendela. Pasangan ibu dan anak yang sangat aneh. Namun, tak bisa dipungkiri, selama ngekos di sana Ipeh selalu bahagia. Ada saja keceriaan dan kehebohan yang tercipta. Sudah dianggap seperti keluarga sendiri.

“Ipeh, kamu mau makan apa?” tanya ibunya.

“Sate ayam, steak daging sapi, soto, bakso....” belum selesai Ipeh menyebutkan makanan yang dia inginkan, ibu  sudah memotongnya.

“Ibu masak tempe goreng, ayo makan.”

“Ih, kirain nanya mau makan apa karena mau masakin. Taunya Cuma bener-bener nanya.”

Ipeh makan bersama keluarganya. Bapak dan ibu, Upit kakaknya dan Upat adiknya. Sering Ipeh malah memanggil kakaknya “Upil.”

Upit adalah lelaki yang usianya sepantaran dengan Satria. Kini Upit bekerja di bengkel mobil di daerah Anyer. Sedangkan Upat tahun ini lulus SMA.

“Kapan wisuda?” tanya Upit.

“Insya Allah bulan depan.”

“Sip. Kamu nanti tinggal di sini kan?” tanya Upit lagi.

“Iyalah, mau di mana lagi?”

“Kali aja mau balik lagi ke kosan itu. Hehehe.”

Ipeh lagi-lagi teringat bu Pipit. Sosok anehnya entah mengapa telah menjelma seperti ibunya sendiri. Kalau lagi makan bersama, itulah momen bu Pipit akan membanggakan anak lelaki kesayangannya, Satria. Apa kabarnya Bang Sat?

***
Kayla kembali ke rumah bibinya, tidak mau pulang ke rumah mama atau papanya. Sejak kecil Kayla dekat dengan bibi, dianggapnya lebih dari sekadar orangtua. Mama dan papanya punya kehidupan sendiri setelah bercerai, jadi kurang interaksi dengan Kayla. Namun masalahnya adalah, kini Kayla sudah lulus kuliah. Mamanya menagih janjinya untuk menikah selepas kuliah. Pengusaha muda pemilik resort telah datang lagi untuk menanyakan kesiapan Kayla sebab beberapa tahun lalu saat dilamar, dia masih semester awal kuliah.

“Bi, tolong bilangin ke Mama, Kayla ingin kerja. Kalaupun mau nikah, Kayla akan mencari sendiri. Jadi nggak usah jodoh-jodohin Kayla.”

“Bibi bisa apa La, kan mereka itu orangtua kamu.” Kata bi Nisa.

“Yang sebenar-benarnya orangtua Kayla, kan Bibi Nisa. Sejak Mama dan Papa cerai, Bi Nisa yang ngerawat Kayla. Mereka mana peduli. Sibuk cari pasangan, nikah lagi. Punya keluarga sendiri. Giliran Kayla dilamar, langsung pada ngaku anak.”

“Jangan begitu. Sampai kapanpun mereka tetap orangtua kamu. Kamu harus patuh sama mereka.”

“Tapi kan, Kayla nggak suka sama calon yang diajukan Mama.”

“Udah ketemu belum?  Ganteng nggak?”

Kayla menggeleng, “Belum ketemu. Males.”

“Yah, saran Bibi sih temui aja dulu. Kalau nggak sreg ya sudah jangan lanjutkan. Kalau ternyata cocok, kenapa nggak? Kan nikah juga bisa sambil kerja.” Kata bibi Nisa.

Kayla termangu. Baginya lebih baik kembali ke kosan bu Pipit. Di sana tidak ada intimidasi untuk segera menikah. Seaneh-anehnya bu Pipit, sikapnya hangat. Lebih hangat dari keluarga intinya. Lebih menyenangkan dari mamanya, karena tak pernah mengejarnya untuk menikah.

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Kalau kamu merasa berat ketemu dia sendirian, Bibi akan temani.” Kata bibi, menenangkan Kayla. Mereka berpelukan.
(*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang