Satria sedang sibuk di dapur, membuat susu hangat sebelum tidur. Bu Pipit masuk sambil bersenandung. Membuka kulkas, mengambil sebuah jeruk nipis yang diramu menjadi jeruk nipis peras. Duduk di salah satu kursi menikmati minuman kesukaannya itu.
“Sat... umur kamu berapa sekarang?”
“Duatujuh. Kenapa Ma?”
“Ya ampun! Dulu, waktu Mama umur segitu, Mama udah punya anak satu! Wah, ini tandanya kamu harus segera menikah!” ujar bu Pipit.
Satria tersedak dan terbatuk-batuk sampai susu yang sedang diminumnya tumpah ke lantai.
“Uhuk! Satria belum memikirkan itu Ma...”
“Lho, bagaimana sih? Mama sudah tua, Nak... Sudah ingin punya cucu.... Kenapa? Kamu susah cari jodoh? Biar, Mama yang akan carikan. Kamu maunya yang gimana? Cantik, baik, solehah, pinter masak, iya kan? Tenang... Mama punya kandidat!”
“Mama, kayak pemilu aja pake kandidat segala... Udahlah Ma, biar Satria cari sendiri aja. Masih laku kok Ma. Dokter dan perawat di rumah sakit aja banyak yang ngefans sama Satria.”
“Tapi pilihan Mama ini nggak mungkin salah, dia jempolan deh pokoknya...”
“Emang siapa kandidat pilihan Mama?” Satria penasaran juga.
“Saipeh!”
“Uhuk-uhuk!” Satria terbatuk lagi. Tersedak makin parah. “Mama, kayak gitu dibilang kandidat....”
Grompyang! Suara gayung jatuh dari kamar mandi. Satria parno lagi, teringat kejadian waktu malam itu, saat membicarakan Saipeh tiba-tiba orang yang dibicarakan keluar dari kamar mandi. Kini lebih panik lagi karena mamanya mendekati pintu kamar mandi.
“Peh....kamu kenapa? Kok lama banget di situ?” suara mamanya terdengar bagai gemuruh menggelegar. Satria sungguh merasa malu hingga mukanya merah padam.
“I...iya Bu.... Lagi nyuci sekalian....” jawab Ipeh.
“Ma, kok dia ada di sini terus sih? Kenapa nggak di kamar mandinya sendiri aja....” bisik Satria pelan.
“Eeeh itu kan kamar mandinya Ipeh lagi rusak. Airnya nggak ngalir. Yaudah mumpung inget, besok pagi kamu benerin ya! Kan kasihan Ipeh tiap mau mandi harus jauh-jauh ke sini dulu.” Ujar mamanya, lebih menggelegar lagi terdengar di telinganya.
“Ma, kenapaaaa... nggak manggil tukang aja Ma...” suara Satria sudah melempem seperti kerupuk terendam tsunami.
“Biayanya mahal. Kalau kamu kan bisa gratis, cukup dikasih cemilan pisang goreng sama kopi pait!” sahut mamanya lalu masuk ke dalam. Nonton sinetron kesayangannya.
Satria merasa lututnya lemas. Dia berjalan masuk, seakan telapak kakinya menempel di lantai sampai jalannya terseret-seret. Beberapa menit kemudian, Saipeh yang merasakan kakinya terasa berat melangkah keluar rumah bu Pipit. Ia menuju kamar kosannya sambil menenteng ember berisi pakaian yang sudah dicuci.
Dari kamar Satria yang jendelanya menghadap kamar kosan Ipeh, Satria bisa melihat Ipeh berjalan gontai...
Esok paginya, usai salat Shubuh, Satria mengetuk pintu kamar Ipeh dengan membawa peralatan tukang. Kayla yang sedang tilawah menghentikannya dengan heran seraya menutup al-Qur’annya. Lalu membangunkan Ipeh yang sedang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Bangun oiii.... Peh, jangan mentang-mentang lagi dapet, lo bangunnya siang. Bangun! Itu ada Bang Tri...” Kayla menggoyangkan tubuh Ipeh.
“Gue nggak mau bangun!” sahut Ipeh lantas menutup lebih rapat tubuhnya. Sampai tak ada celah yang tampak. Kayla geleng-geleng kepala, lalu membukakan pintu.
“Ada apa Bang?” sapa Kayla.
“Benerin air di dalem, boleh?”
Kayla menjawab dengan membukakan pintu lebih lebar hingga Satria bisa leluasa masuk. Sekilas Satria melihat Ipeh yang terbungkus selimut. Sekitar satu jam Satria membetulkan kerusakan pada keran air. Kemudian air mengalir normal. Dia bergegas keluar.
“Udah betul tuh. Jadi bisa mandi di sini aja ya kalian.” Kata Satria.
“Ya makasih.” Kayla menjawab datar. Merasa ada yang aneh dengan kalimat Satria tadi. Pasti karena selama ini Ipeh mandi di rumahnya. Gumam Kayla dalam hati. Setelah Satria pergi, Kayla membangunkan Ipeh. Memaksanya untuk bercerita, kenapa sikap Satria sedemikian rupa. Dengan malas Ipeh duduk.
“Secepatnya, gue akan pindah dari sini. Terserah lo mau ikut gue atau tetap di sini.”
“Lho, lho, kok gitu ngomongnya? Ada apa sih antara lo sama Bang Tri? Perasaan belakangan ini aneh banget.”
“Udah biasa kan kalo gue aneh? Lo sendiri yang sering bilang begitu.”
“Peh, tell me please, ada apa sebenarnya?”
Ipeh mendesah kesal, “Jadi gini Kay, dengerin ya! Bu Pipit pengen gue jadi menantunya, sedangkan anaknya si Bang Sat itu udah bersikap melecehkan gue...”
“Apa?! Lo dilecehkan? Apanya?”
“Hush! Ngeres deh lo! Dia kayak meremehkan gue Kay.. Mentang-mentang gue nggak cantik, nggak baik, nggak jago masak, ah udahlah! Intinya gue baper Kay, baper banget!”
“Oke, kalau lo baper, yuk cabut. Kita sarapan di kampus!”
“Woy gue baper, bukan laper!”
“Buat lo, dua kata itu nggak ada bedanya Peh, buruan yuk!”
Mereka bersiap berangkat ke kampus, walaupun sudah tidak ada perkuliahan lagi. Tinggal menunggu jadwal sidang skripsi dan wisuda. Sambil makan nasi uduk di pojok kampus, mereka melanjutkan lagi obrolan tadi.
“Oya Peh, kenapa lo mesti baper? Emangnya lo ada rasa ya sama Bang Tri? Kalau nggak ada, ngapain juga lo masukin hati tuh kata-kata pelecehannya?”
“Yaaaa....gue nggak terima aja kalau sikapnya begitu. Lo nggak usah jauh-jauh berkhayal tentang perasaan gue yah. Gue nggak ada rasa tuh sama dia.” Sedang bicara begitu tiba-tiba ada notifikasi masuk ke HP-nya.
Diberitahukan kepada para calon peserta Bimbingan Teknis Penulis Sejarah.....Bahwa Saudara/Saudari dinyatakan LOLOS SELEKSI...
Ipeh terperangah. “Wuah! Gue lolos seleksi Kay!”
“Lolos seleksi apaan?”
“Workshop menulis sejarah. Asyik.... gue bakal liburan nih, dan katanya acara ini bakal observasi lapangan juga loh. Jadi seru pastinya...”
“Ya deh. Biar lo seneng.” Sahut Kayla.
***
Ipeh bersiap berangkat menuju Jakarta, tempat acara Bimtek itu berlangsung. Kayla mengantar sampai ke stasiun.“Lo di sana hati-hati ya Peh. Jangan katrok. Apalagi kan itu acaranya di hotel, lo harus inget siapa teman sekamar lo. Jangan salah masuk kamar, jangan jorok, jangan ngupil, jangan…”
“Iya bawel…” potong Ipeh. Kereta sudah datang, ia bergegas naik. Kayla baru pergi setelah kereta benar-benar berangkat. Lalu pulang ke kosan.
Perjalanan tiga jam di kereta itu dihabiskan dengan tidur. Ipeh benar-benar ingin liburan, menjauh sejenak dari keanehan keluarga bu Pipit dan menghilangkan bapernya akibat Satria. Kereta berhenti di stasiun Kebayoran. Selanjutnya dia memesan taksi online menuju hotel tempat kegiatan.
Ipeh menatap megahnya bangunan hotel, dia berjalan memasukinya. Satpam dan penjaga pintu menyapanya. Dia diarahkan ke lantai dua, masuk lift yang dia tidak tahu harus menekan tombol apa. Dia berdiri lama menghadap pintu lift, bingung.
“Mau ke mana?” sapa seorang pria di belakangnya.
Ipeh kaget, sampai dia hampir loncat. “Eh, mau... mau ke atas.”
“Kok diam saja. Ayo masuk.” Pria itu menekan tombol ke atas. “Udah terbuka tuh. Baru sekali naik lift ya?”
Ipeh ragu-ragu masuk, malu karena ketahuan tidak bisa menggunakan lift. Dia terus menatap bayangannya di dinding lift. Pria itu tersenyum, Ipeh semakin malu. (*)
