Bagian Tujuhbelas

47 4 0
                                        

Mama mendekati Kayla dengan senyum manis saat gadis cantik itu pulang ke rumah. Kayla tahu betapa berharapnya mama terhadap dirinya. Sebab, lelaki yang melamar Kayla adalah pemilik resort di salah satu kavling pantai kawasan Anyer. Selain kaya dan berpendidikan tinggi, lelaki itu keturunan Arab. Mama sudah menunjukkan fotonya kepada Kayla.

“Lihat La, dia tampan kan? Cocok sama kamu.”

Gadis cantik itu sudah malas jika membahas apapun tentang lelaki yang akan dijodohkan dengannya.

“Dia pasti bisa membuat kamu bahagia.” Ujar Mama.

“Ma, kebahagiaan nggak bisa diukur dari wajah rupawan dan harta berlimpah.” Ralat Kayla.

“Ya tapi kalau miskin juga nggak bakal bisa bahagiain kamu. Mau makan apa kalau nggak punya harta?” elak Mama.

“Bahkan cicak yang melata di dinding saja bisa hidup kok Ma.” Kayla berusaha setenang mungkin menyampaikan pendapatnya.

“Kamu mau hidup kayak cicak? Nggak jelas! La, kamu sudah lulus S1! Dulu Mama tangguhkan kamu sampai lulus, ternyata sekarang tetap saja menolak. Mau kamu apa sih?”

Kayla menatap mamanya dengan mata berkaca-kaca. “Ma, bahkan Mama yang mengandung Kayla selama sembilan bulan pun nggak tahu apa yang Kayla mau? Silakan Mama tanya ke Bibi Nisa. Bibi lebih tahu apa yang Kayla inginkan saat ini.”

“Kayla! Kamu....” kalimat mama menggantung. Kayla tak tahan untuk terus berbicara dengan mamanya. Di bawah tatapan keheranan papa dan saudara-saudara tiri, Kayla berlari keluar rumah. Bahkan di rumah mama kandungnya sendiri, Kayla tidak punya kamar. Terakhir kali dia punya kamar sebelum pindah ke rumah bibi Nisa, kini kamar itu menjadi gudang tempat menyimpan segala perabotan tak terpakai. Tempat bersarangnya  para tikus dan kecoa.
***
1 bulan kemudian...

“Ipeh, buruan! Katanya mau wisuda!” kata Ibu, heboh di ruang tengah. Ipeh masih mematut dirinya di depan cermin besar dalam kamarnya. Baju khusus sudah dipesannya untuk acara ini, sendal jepit sudah dicuci bersih dan wangi, tapi segera disembunyikan ibunya agar jangan dipakai di hari istimewanya. Ibu membelikan wedges warna ungu untuk Ipeh, itu membuatnya terlihat anggun.

“Bismillah! Aku siap!” gumamnya lalu keluar kamar kemudian bersama-sama keluarganya naik angkot yang sudah dipesan menuju lokasi wisuda.

Gedung pertemuan itu sudah ramai oleh teman-teman Ipeh dan keluarganya. Yang lelaki sudah rapi dan gagah dengan memakai toga, yang perempuan berkebaya serta menambah toga. Rata-rata para perempuan berdandan cantik untuk hari ini, ada yang sengaja ke salon supaya hasil make-upnya tidak mengecewakan.

Ipeh menemukan sosok Kayla dan keluarganya. Mereka saling melambaikan tangan, berpelukan dan foto bersama. Lalu masuk ke gedung, khusus untuk wisudawan. Sedangkan para orangtua diberikan ruangan khusus di belakang ruang prosesi wisuda. Di tempat orangtua, ada layar cukup besar untuk menyaksikan jalannya wisuda.

“Hari ini cowok yang melamar gue dateng.” Ujar Kayla setengah berbisik.

“Yang mana orangnya?”

“Belum nyampe. Tahu nggak perasaan gue kayak apa? Macam jadi barang dagangan! Mama gue begitu bernafsu menikahkan gue sama cowok itu. Bibi Nisa yang paling ngertiin gue aja nggak rela gue nikah sekarang. Karena gue masih ingin lanjut kuliah, masih ingin belajar Peh.”

“Sabar ya Kay, semoga yang terbaik aja buat lo. Kalaupun akhirnya lo harus menikah sama cowok pilihan nyokap, semoga dia bisa menjadi imam yang baik buat rumah tangga lo.” Kata Ipeh.

“Sok bijak amat lo. Hahaha...”

“Gue aslinya emang bijak Kay...”

“Serah lo dahhh....”

Keduanya terkikik pelan, lalu foto-foto berdua sebelum prosesi wisuda dimulai. Beberapa kawan mereka datang menempati kursi yang telah disediakan sesuai nomor urut pemanggilan.

“Bu, kayaknya Ipeh yang paling jelek deh.” Kata Upit.

“Iya, yang lainnya cantik-cantik, bajunya bagus. Lah Teh Ipeh? Kucel gitu...” tambah Upat.

“Jelek-jelek gitu Ipeh pinter. IPK-nya nggak kurang dari 100.” Kata ibu.

“Bu, IPK itu nggak ada yang lebih dari 5, paling gede aja 4.” Ralat Upit.

“Ah masa nilai Ipeh nggak nyampe 5? Berarti dia nggak pinter dong.” Ujar ibu serius.

Upit terkikik geli, memangnya kuliah disamakan dengan SD?

Satu persatu nama wisudawan wisudawati dipanggil untuk mendapat peresmian dari rektor bahwa mereka sudah menyelesaikan proses perkuliahan selama lebih kurang empat tahun dengan segala perjuangannya.

Ketika nama Kayla dipanggil, dia maju dengan percaya diri, setelahnya Ipeh maju ke depan. Dia merasa tidak terbiasa memakai sandal yang ada hak-nya meskipun pendek. Akibatnya dia terjatuh saat akan naik tangga. Sebagian orang tersenyum geli, ada-ada saja!

Ketika Ipeh sudah menerima piagam dan resmi sudah lulus dari perguruan tinggi itu, dia keluar ruangan bersama Kayla dan teman-teman lainnya. Keluarga masing-masing menyambut dengan suka cita. Ipeh memeluk ibu dan bapaknya.

“Selamat ya Sayang, kamu sudah lulus.” Ujar ibu.

“Akhirnya, jadi sarjana juga kamu.” Kata Upit. Sementara Upat nyengir sambil memberi setangkai bunga plastik.

“Pat, kagak ada bunga lain?” gumam Ipeh.

“Itu bunga abadi yang gak bakal layu.” Kata Upat. Lalu mereka foto bersama dengan penuh keceriaan.

Tiba-tiba seseorang menghampiri Ipeh. “Ipeh, selamat ya!” ujarnya sambil memberi buket bunga. Ipeh risih menerimanya, sementara keluarganya memandang tak mengerti tapi Upat dan Upit terus berdeham.

“Te... terima kasih Bang Alvin. Kok, bisa ke sini sih?” jawab Ipeh.

“Oooh jadi namanya Alvin? Nggak dikenalin ke kita nih?” ledek Upit. Ipeh jadi malu.

“Kenalin, ini Bang Alvin. Bang, ini keluarga Ipeh.” Lalu Alvin menyalami keluarga Ipeh. Ibu menampakkan senyum manis, agar tampak sebagai ibu yang baik.

“Dari mana Nak Alvin?”

“Dari Tangerang Bu.” Jawab lelaki yang sopan dan ramah itu.

Ipeh tak menyangka Alvin akan benar-benar hadir di hari wisudanya. Seingatnya, Ipeh hanya mengatakan bahwa kalau sempat silakan hadir. Akan tetapi jangan dipaksakan. Ternyata Alvin datang, padahal saat diundang mengaku banyak pekerjaan pada hari ini.

Sedang berkenalan itu, datang dengan tergopoh-gopoh bu Pipit dan Fira. Mereka melambaikan tangan dengan gembira, sementara Satria berjalan tak jauh di belakang mereka dengan menundukkan kepala. Mungkin malu dengan kelakuan adik dan ibunya yang dilihat banyak orang dengan tersenyum geli.

“Ipeh! Akhirnya Ibu temuin kamu. Selamat ya atas kelulusannya....” kata bu Pipit seraya berpelukan dengan Ipeh. Fira berganti memeluk Ipeh.

“Ibu, Bapak, ini Bu Pipit.” Kata Ipeh memperkenalkan.

“Ooh ini yang namanya Bu Pipit? Aduh, makasih banget ya Bu sudah mengizinkan anak saya tinggal di rumah Ibu selama ini. Maaf kalau merepotkan.” Kata Ibu seraya berakrab ria dengan bu Pipit. “Kalau yang ini pasti Fira.”

Fira nyengir, memamerkan gigi berbehel warna-warni.

“Itu.... Satria?”

Satria di belakang bu Pipit mengangguk takzim.

“Wah, Ipeh, kamu telah dengan baik memperkenalkan kami ke keluarga kamu.” Kata bu Pipit. Lalu pandangannya beralih ke Alvin yang berdiri di sebelah Upat.

“Lho kamu lagi? Ada apa ke sini?” tanya bu Pipit agak sinis. Satria berusaha menegur ibunya dengan halus agar jangan bersikap tidak menyenangkan pada Alvin.

“Eh, iya Bu. Ketemu lagi kita. Saya datang untuk mengucapkan selamat pada Ipeh atas kelulusannya.” Jawab Alvin dengan tenang.

“Aduh, padahal jauh-jauh sekali lho dari Tangerang. Lewat HP juga bisa kok ngucapin selamat doang...” kata bu Pipit, membuat Alvin agak gugup dan Satria merasa malu.

“Bu, kapan kita pulang? Kan udah ketemu Ipeh?” tanya Satria.

“Apa-apaan kamu ini? Kamu aja belum ngucapin selamat ke Ipeh!” hardik bu Pipit. Satria semakin malu.

“Ayo buruan kasih selamat!”

“Mmm... Ipeh, selamat ya. Semoga ilmu yang didapat selama ini berkah...” ujar Satria.

“Kasih kadonya!” kata bu Pipit lagi. Satria ogah-ogahan menyerahkan kotak yang dibungkus rapi, warna ungu. Ipeh menerimanya dengan ragu.

“Udah, terima aja!” desak Upat.

Akhirnya Ipeh pun nyengir kaku, tak tahu harus bagaimana bersikap dalam situasi seperti itu.  

“Nah, karena kita sudah kumpul, gimana kalau kita silaturahmi ke rumah Ipeh?” ujar bu Pipit.

“Boleh, dengan senang hati sekali Bu Pipit...” jawab ibu Ipeh. Hanya Ipeh dan Satria yang merasa tidak enak. (*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang