Bagian Enam

67 4 0
                                    


“Mama mau, Satria yang mengantarkan makanan ini kepada mereka.”

“Ma, berbuat baik ya berbuat baik aja. Gak usah pakai syarat yang aneh. Apa maksud Mama nyuruh Satria nganterin makanan ke mereka? Ada modus nih pastinya.” Keluh Satria lalu pandangannya tertuju pada Fira. Ia pelototi adiknya yang tengah menjulurkan lidah kepadanya.

“Udahlah Sat... Tidak baik menolak perintah Mama. Ingat lho, surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.” Tegur Papa.

“Tapi Pa, kan Fira bisa. Atau Mama sendiri lah...”

“Kamu malu?” potong mama.

“Iya.” Sahut Satria singkat. Tak ingin memperlama perdebatan.

“Justru itu. Mama lihat sejak kedatangan kamu dari Jogja, hubungan kalian begitu renggang. Coba sih berbuat baik sama mereka. Mereka itu gadis yang baik dan solehah lho. Sering mengingatkan adikmu hingga mau menutup aurat. Itu kan bagus.”

Satria diam, dalam hati menggerutu, percuma menutup aurat kalau kelakuan masih mirip tupai yang loncat sana-sini.

Maka ketika matahari baru saja menampakkan keindahannya yang menghangatkan bumi, Satria sudah manyun di depan pintu kamar Ipeh. Tangannya memegang kotak makan. Lama ia berdiri, hingga tak sanggup untuk mengetuknya.

Sementara itu Ipeh merasa ada bayangan di luar kamarnya. Dia yang baru selesai beres-beres kamar dan bersiap berangkat ke kampus, membuka perlahan pintu itu dan tersentak kaget melihat Satria yang berdiri saja tanpa mengetuk pintu.

“Astaghfirullah! Ngapain Bang? Ngagetin gue aja...” kata Ipeh.

“Huft. Nih, gue disuruh Mama ngasih ini..” jawabnya seraya mengulurkan kotak makan itu. Ipeh tak langsung menerimanya.

“Kenapa Bang, akhir-akhir ini Bu Pipit jadi perhatian amat sama gue?”

“Mana gue tahu. Udah nih buruan ambil. Lo pasti kelaparan!” akhirnya Ipeh menerima kotak makan itu. Tanpa pamit, Satria berbalik dan pergi.

“Bang!” panggil Ipeh. Satria berhenti dan menoleh.

“Makasih ya...”

Apa itu? Barusan dia senyum? Hanya mengangguk singkat, Satria berjalan lagi ke rumahnya. Besok kalau disuruh mengantarkan sarapan untuk Ipeh lagi, Satria akan pura-pura memperlama mandinya saja deh.

Yang terjadi malah bu Pipit tak pernah bosan menyuruhnya mengantar sarapan atau makan malam untuk mereka. Satria sungguh jengah bila harus berhadapan dengan kedua gadis itu, terutama Ipeh. Seperti ada rasa sebal saja saat melihat gadis itu.

“Sust, pasien Nayra bagaimana keadannya?” tanya Satria pagi ini. Nayra sudah hampir dua minggu dirawat, tapi kondisinya belum menampakkan perubahan yang berarti. Dia sering menolak makanan, infusannya sering dilepasnya sendiri. Obat pun tak jarang juga dimuntahkan. Dia lemas, seperti mayat hidup. Mati tidak, hidup pun tidak.

“Semalam dia mengamuk ketika mau diminumkan obat. Keadannya sebenarnya bisa lekas pulih kalau saja dia mau makan dan minum obat. Tapi dia lebih banyak menolak semua itu. Dan menangis saja sepanjang hari.”

“Hhhh...tidak habis pikir. Orang sakit ingin sembuh, ini sebenarnya sehat malah ingin mati. Lalu bagaimana hasil terapi oleh psikiaternya?”

“Pasien mengalami trauma. Depresi yang cukup berat.”

Satria mencoba mendekati pasien tersebut. Duduk di sebelah ranjangnya, menanyai keadaannya dan terus mengajaknya berbincang.

“Nayra, saya tahu kamu mendengar saya. Mari kita bicara, apa sebenarnya yang kamu inginkan? Apa kamu tidak kasihan pada ibumu?”

Hening. Satria mengusap wajahnya. “Nay, di dunia ini ada banyak orang yang hidupnya jauh lebih menderita dari kita. Hanya, mungkin kita tak tahu.”

“Jahat! Laki-laki itu jahat! Brengsek!” tiba-tiba suara Nayra terdengar bergetar. Seperti hendak menangis.

“Jahat bagaimana?” kejar Satria.

Hening. Nayra tak melanjutkan ungkapan hatinya. Sampai lama Satria diam menungguinya, Nayra tak bicara lagi. Sore ini dia akan bertemu dengan psikiater yang menjadi pendamping Nayra. (*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang