Bagian Sembilanbelas

54 5 0
                                    

Jodoh itu unik, sekuat apapun menolaknya pasti akan bertemu kalau memang sudah jodohnya. Kalau bukan jodoh, sekuat apapun berusaha meraihnya ya tidak akan sampai. Seperti itulah yang kini dialami Kayla. Sang mama sudah sangat ngotot ingin menjodohkan Kayla dengan si Arab. Pengusaha resort di pantai Anyer. Kayla berontak, marah, tidak ingin menikah di usia muda. Memang benar, prestasinya bagus. Sudah tentu dia akan mudah mendapat pekerjaan.

Mama mendesaknya siang dan malam. Kayla menangis memohon pada mamanya agar jangan dinikahkan sekarang. Bagaimana dia akan melalui kehidupan pernikahan kalau dia tidak punya kecenderungan pada pengusaha kaya dan tampan itu? Namun cinta kadang tak selaras dengan ketampanan dan kemapanan. Orang bilang cinta itu buta.

“Pernikahan gak selalu butuh cinta! Buktinya Mama dan Papa menikah dengan cinta tapi Papa kamu miskin harta. Akibatnya kami bercerai! Setelah Mama menikah dengan lelaki kaya, Mama bahagia!” begitu ucapan mama Kayla.

“Itu karena Mama matre! Sampai memaksa Kay menikah segera. Selama ini siapa yang ngurus Kayla? Mama? Nggak! Bibi yang merawat dan mendidik Kayla, sedangkan Mama sibuk dengan keluarga baru Mama. Sekarang setelah Kayla besar, Mama mau menjual Kayla!”

“Mama nggak menjual kamu! Mama ingin yang terbaik buat kamu! Kamu harus bahagia!”

“Mama nggak tahu selama kuliah dan ngekos di Serang, Kayla bahagia meski nggak kaya raya. Meski Mama jarang kirim uang! Kayla bahagia dengan cara Kayla sendiri, Kayla nggak mau menikah!” tangis Kayla pecah.

Mama diam, tapi tak menyerah. “Pokoknya Mama maunya kamu menikah sama Usman!”

“Kayla yang menjalani, bukan Mama! Jadi Kayla nggak akan mau menikah dengan lelaki itu! Sekaya apapun dia!” pekik Kayla, lalu pergi. Mama memanggil-manggilnya tapi tak berguna. Kayla sudah lebih dulu masuk ke dalam angkot yang lewat di jalan raya. Rumah Kayla tak jauh dari jalan.

Mama shock, dia terduduk di sofa. Mengurut dada.

Kayla mendatangi rumah bibinya. Mengadukan masalahnya, menangis sekerasnya. Bibi memahaminya, memang Kayla bukan gadis yang mudah diatur-atur, apalagi sekarang usianya semakin dewasa. Dia punya ambisi, obsesi yang harus diwujudkannya dan tidak ingin menyerah menjadi istri seorang pengusaha kaya keturunan Arab. Kayla ingin merasakan dulu dunia kerja, banting tulang menggapai impian, dan mengumpulkan banyak pengalaman.

“Bibi mengerti kamu La...” ungkap bibinya.

“Bibi emang paling ngerti Kay. Sejak kecil Bibi yang ngurusin Kay. Pokoknya Kayla nggak mau menikah sama si Arab itu!”

“Ya sudah biar nanti Bibi yang bicara sama mama kamu.”

Kayla masih menangis sesenggukan, hatinya sungguh terluka. Dia tidak tahu kalau si Arab yang hendak dijodohkan dengannya sekarang mendatangi rumah mama Kayla. Si Arab yang bernama Usman itu membawakan oleh-oleh untuk Kayla, tetapi mama Kayla hanya bisa menampakkan kesedihannya sebab Kayla kabur dari rumah. Usman bisa mengerti, sebab usianya memang lebih dewasa dari Kayla.

“Tidak apa-apa Bu. Kalau memang Kayla tidak berkenan menjadi istri saya, saya harus menyerah. Lebih baik Ibu mendekatkan diri dengannya secara emosional. Saya tidak masalah. Tidak apa-apa.” Ujar Usman.

Mama mengangguk, dia geram sekali pada putrinya. Niatnya baik, ingin memberikan kehidupan yang layak untuk Kayla, tapi ternyata Kayla tidak mau. Padahal apa kurangnya Usman? Tampan, kaya dan baik hati. Kurang apa lagi? Kayla hanya merasa belum mau menikah, itu saja.
***
Satria bertugas jaga malam hari di IGD. Hampir setiap malam ia menjumpai pasien  yang terluka parah akibat kecelakaan, atau kritis dan sekarat. Silih berganti pasien itu bisa pulang ke rumah atau malah pulang ke rahmatullah. Satria seakan sudah kebal dengan semua itu. Waktunya tersita hampir seluruhnya untuk merawat pasien-pasien, hingga dia belum memikirkan hendak menikah dengan siapa.

Kesibukan di rumah sakit saja sudah membuatnya lupa bahwa Sang Mama terus-menerus mendesaknya agar segera menikah. Dengan alasan semakin tua, bu Pipit mengharapkan Satria segera menikah, meski sambil mengerling menyebut nama Saipeh. Satria mendengus kesal, kenapa pula nama perempuan itu selalu disebut ibunya? Apa hebatnya dia?

Malam itu, ada dokter baru yang piket di IGD. Desas-desus di antara perawat sudah tersebar. Dokter itu dikabarkan baru datang dari Jogja, cantik dan cerdas. Satria tidak termasuk dalam barisan laki-laki yang memperbincangkan dokter cantik itu. Dia terlalu sibuk menjalankan tugasnya.

Kedatangan dokter cantik itu membuat siapa saja yang melihatnya terpana. Ternyata bukan hanya desas-desus, itu adalah kenyataan. Memang cantik sekali, tubuhnya tinggi semampai. Sorot matanya penuh percaya diri. Memakai busana muslimah yang menambah keanggunannya.

Hanya satu dokter wanita cerdas dan cantik yang Satria kenal di Jogja, teman kuliahnya dulu.

“Dokter Ayasha?” sapa Satria di depan pintu masuk IGD. Keduanya berpapasan dan sama-sama kaget.

“Lho, Dokter Satria di sini?”

“Saya di sini, dan kampung halaman saya juga.” Ujar Satria. Keduanya hanya sebentar saja saling menyapa. Sementara para perawat laki-laki memperhatikan sepotong kejadian itu. Ah rupanya Dokter Satria yang kelihatan paling cuek ternyata telah curi start duluan.

Menjelang Shubuh baru Satria pulang, dia menuju tempat parkir motor. Dilihatnya Dokter Ayasha juga sedang menuju parkiran mobil.

“Dokter!” sapa Satria.

“Ya?”

“Di sini tinggal di mana?” tanya Satria sopan.

“Di daerah Cipare. Mari Dokter, saya duluan.” Ujar dokter Ayasha sambil masuk ke dalam mobil. Satria melihat mobil itu meninggalkan parkiran, lalu Satria melanjutkan perjalanan menuju parkiran motor. Pulang ke rumahnya.

Sampai di rumah, ibundanya tercinta sedang bersimpuh di atas sajadah, menunggu waktu Shubuh. Lirih suara doanya terdengar.

“Ya Allah, dekatkanlah anakku Satria dengan jodohnya.... Hamba hanya ingin putra Hamba menemukan pendamping hidup yang sholehah dan sabar....”

Hati Satria merasa sejuk mendengarnya. Dia sangat menyayangi Sang Mama. Satria juga ingin segera menemukan belahan jiwa, tetapi memang belum saatnya dipertemukan. Satria belum menemukan gadis ideal yang kelak dijadikannya istri. Saipeh? Satria tersenyum kecut. (*)

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang