Bagian Duabelas

71 5 0
                                    

Tujuan terakhir adalah Museum Fatahillah, atau yang lebih dikenal sebagai Museum Kota Tua. Sebuah museum yang sepanjang jalan trotoarnya banyak diisi oleh pelapak yang menjual aksesoris ponsel dan kaos murah. Ada perempuan berdandan ala noni Belanda dengan gaun putih dan topi lebarnya yang siap diajak foto bersama asalkan kita bersedia mengisi kotak uangnya.
Ada beberapa kafe bergaya klasik yang ada di samping museum.

Sebelum memasuki museum, rombongan mengambil foto bersama di anak tangga. Ada jeda beberapa menit yang digunakan teman-teman Ipeh berswafoto.

Ipeh menghampiri tempat penyewaan sepeda. Satu sepeda berwarna ungu sudah dinaikinya, lengkap dengan topi lebar ala noni Belanda yang juga berwarna ungu. Dia bersepeda mengelilingi lapangan yang ramai itu. Banyak yang bersepeda juga seperti dia.

Saat sedang asyik mengayuh sepeda, Ipeh merasa ada yang aneh. Remnya lepas. Dia terus menarik rem tapi tidak berhasil. Kalau dia jatuhkan sembarangan, lalu sepedanya rusak, dia bisa kena denda. Kalau tidak diberhentikan, bisa nabrak orang. Ipeh akhirnya terus berputar-putar sambil berharap sepeda itu akan berhenti dengan sendirinya.
Namun, tiba-tiba Alvin berada di belakangnya. Duduk di sadel belakang sehingga Ipeh merasakan kayuhannya terasa berat. Tak lama kemudian sepeda pun berhenti. Alvin tersenyum.

“Huft. Makasih ya Vin, kamu nolongin saya lagi.”

“Santai. Saya kan harus bertanggung jawab sama semua anggota kelompok kita. Yuk, udah mau masuk ke museum nih.” Ujar Alvin. Ipeh mengangguk seraya menuntun sepeda itu ke tempatnya. Tak lupa dia katakan pada pemilik sepeda untuk memperbaiki rem sepedanya.
Museum Fatahillah berdiri megah menyambut para pengunjung. Pada pintu masuk ada beberapa guide yang memakai baju kebaya. Ruangan besar di dekat pintu masuk terpampang sebuah lukisan sangat besar karya Sudjojono. Menggambarkan suasana kerajaan Jawa masa lalu. Seorang guide laki-laki yang sudah bekerja sama dengan Mendikbud memandu mereka. Tiap sudut dijelaskannya dengan rinci.

“Batavia adalah kota impian yang diharapkan bisa sama seperti Belanda. Kota dengan benteng yang kuat dan dikelilingi sungai-sungai. Sayangnya, Batavia berbeda dengan Belanda. Lokasinya berada di dataran rendah, sehingga saat musim penghujan air sungainya meluap ditambah curah hujan yang cukup tinggi. Karena itulah sejak dahulu pun Batavia sudah sering kena banjir.” Jelas guide tersebut.

“Ada yang aneh dengan lukisan itu.” sela seorang peserta Bimtek. Ipeh dan teman-teman menyebutnya Pakde. Lelaki sudah sepuh, seorang seniman pahat dari Jogja.

“Anehnya di mana Pak?”

“Begini, ketika saya mempelajari tentang kebudayaan Jawa maka lukisan itu sangat aneh. Tidak mungkin raja Jawa memakai pakaian you can see.” Penuturan Pakde lalu menimbulkan diskusi yang cukup alot. Terkadang, kita tidak bisa begitu saja menyamakan antara seni dengan sejarah.

Ipeh berdiri di pojokan, ngupil.
Guide berjalan terus ke ruangan lainnya. Ada banyak lukisan yang menggambarkan suasana Batavia pada masa lalu. Museum Fatahillah sendiri dulunya merupakan stadhuis atau balai kota tempat pemerintah menyelenggarakan pemerintahannya. Lapangan cukup besar di depan museum adalah arena yang biasa digunakan pemerintah untuk menghukum para narapidana dan masyarakat boleh menyaksikannya agar mereka belajar dari hal itu. Hukumannya adalah pancung dan gantung. Perampok dan penjahat diadili, juga warga Tionghoa yang dibantai pemerintah Belanda pada tahun 1740 dalam peristiwa “Geger Pecinan” yang bersumber dari konflik ekonomi antara warga Tionghoa dan Belanda.

Itulah yang menyebabkan Kota Tua berhubungan erat dengan Pecinan Glodok. Kota Tua adalah daerah kota yang dibentengi khusus untuk warga Belanda, sedangkan warga Tionghoa dikonsentrasikan di Glodok.

Ruangan berikutnya adalah potret kengerian. Sebuah lukisan di dinding yang menampakkan bagaimana hukum berjalan sejak zaman dahulu dalam sejarah bangsa Belanda. Seorang yang terbukti bersalah bisa mendapatkan hukuman dikuliti hidup-hidup. Penjelasan guide membuat merinding. Ipeh melihat jendela berukuran sangat besar dan tebal dengan slot besi penutupnya yang juga besar. Ada meja dan kursi asli dari kayu jati sejak zaman Belanda.

Ruangan di sebelahnya merupakan ruang pengadilan. Bernuansa kayu baik lantai, lemari maupun mejanya. Sebagian besar lantainya sudah direnovasi, hanya dua baris yang merupakan asli warisan Belanda. Berbagai foto para hakim zaman Belanda dipajang di dinding.

“Sekarang kita akan ke penjara bawah tanah.” Ujar guide yang berjalan paling depan menuju lantai bawah.
Aroma pengap sangat terasa di dalam penjara bawah tanah. Ruangan yang bahkan untuk berdiri saja tidak akan bisa dilakukan orang dewasa. Terlalu sempit dan pendek jaraknya dengan langit-langit. Dalam ruangan itu terdapat banyak bola-bola besi yang ukuran paling kecilnya saja sangat berat. Apalagi ada yang ukuran sangat besar, sebesar semangka ukurang yang paling besar. Bola-bola besi itu digunakan untuk diikatkan pada kaki narapidana, supaya jangan kabur.
Ruangan yang tidak simetris itu diisi oleh 50-an orang. Salah satu pahlawan yang pernah menghuni penjara ini adalah Sultan Ageng Tirtayasa dan Cut Nyak Dien.

“Parah ya Belanda. Penjaranya gelap, pengap, sempit, ada jeruji dan bola besinya. Benar-benar sempurna, nggak bakalan ada yang kabur kalau begini.” Kata Ipeh.

“Iya Mbak, serem banget ya. Kebayang bagaimana perjuangan para pahlawan kita zaman dulu.” Sambung Mila.

Setelah puas berkeliling, mereka mengakhirinya di lapangan belakang. Patung Hermes berdiri membelakangi museum. Di dekat situ ada banyak tempat duduk terbuat dari semen. Ada pula ruang penyimpanan benda-benda pusaka, supaya aman dari pencurian.

“Kita pulang lewat samping ya.” Ujar pemimpin rombongan. Melalui sisi lain dari museum, dan pintu gerbang besinya sangat besar. Bus sedang parkir di pinggir jalan depan Museum Bank Indonesia. Rombongan memasuki bus tersebut untuk kembali ke hotel. Malam nanti tiap kelompok harus presentasi tentang apa yang sudah diobservasi. Besok pagi penutupan acara, dan langsung pulang ke rumah masing-masing.
***
Pagi-pagi sekali Ipeh sudah sarapan di restoran. Semalam dia tidur dengan sangat nyenyak, akibat kelelahan seharian berjalan kaki. Koper sudah dibereskan, tinggal angkut saja. Dia sarapan bersama Mila.

“Mbak, kemarin kenapa Mas Alvin marah-marah gitu ke Raka? Ada kejadian apa sih?” tanya Mila.

“Oh itu kesalahpahaman saya Mbak. Hampir saja saya makan siomay babi, kalau saja Alvin nggak mencegah.” Jawab Ipeh sambil mengunyah donat rasa coklat.

“Wih, tegas banget ya Mas Alvin?”
Ipeh tersenyum. Sarapannya segera dihabiskan. Dia sudah memesan taksi online untuk ke stasiun. Dia akan pulang dengan kereta paling pagi. Sejak semalam dia tidak melihat Satria. Ruangan rapatnya pun sudah berganti dengan instansi lain. Pun di restoran, tak tampak juga wajahnya. Agaknya memang acara Satria sudah selesai sejak kemarin, saat Ipeh observasi lapangan.

Ipeh menyeret kopernya ke lobi hotel, menunggu taksi yang dipesannya datang. Ipeh duduk di kursi ayunan seraya berbalas pesan dengan sahabatnya, Kayla.

Kayla: Woy, masih hidup?
Ipeh: Masih inget gue Kay?
Kayla: kapan balik?
Ipeh: kalo kagak?
Kayla: ya gue sebatangkara. Sengsara gue di sini gak ada lo.
Ipeh: Ada Bang Sat?
Kayla: Ngapa lo tanya? Kangen?
Ipeh: Ada gak?
Kayla: Ada, semalem baru pulang. Kusut gitu mukanya.
Ipeh: Ya setrika aja biar rapi
Kayla: buru balik!
Ipeh: jemput kek
Kayla: Ogah!

Tiba-tiba Alvin kini berada di dekat Ipeh, menggendong ransel besarnya. Alvin tersenyum seraya menyapanya.

“Pulang pagi, Peh?” tanya Alvin.

“Yap. Kamu juga?”

Alvin mengangguk. Dia peserta dari Tangerang, seorang guru di sebuah sekolah swasta. Usianya lima tahun lebih tua dari Ipeh.

“Kalau mau ke Serang, kabarin aja ya.” Kata Ipeh. Alvin mengacungkan jempolnya. Tak lama kemudian taksi pesanan Ipeh datang. Dia masuk setelah berpamitan pada Alvin. Mereka saling melambaikan tangan.

“Pak, titip teman saya ya. Hati-hati, jangan ngebut. Kalau ada lampu merah, berhenti aja.” Ujar Alvin pada sopir yang dibalas dengan acungan jempol kanan.

Ipeh tertawa kecil, “Memangnya barang pakai titip segala? Dah ya, assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam...”

Dan kebersamaan selama empat hari itu berakhir sudah. Ipeh kembali ke asal-usulnya. Rumah bu Pipit tercinta.

Stasiun kereta api pada tahun 2016 masih melayani rute Merak-Angke, sehingga hanya memerlukan satu kali perjalanan. Kini tahun 2018 kereta Merak hanya berhenti di Rangkasbitung. Jika ingin ke Jakarta, harus menggunakan KRL Rangkasbitung-Tanah Abang.
Ipeh kembali merasakan udara Serang. Dia naik angkot menuju kosannya. Masih ada sisa-sisa kelelahan di wajahnya, tetapi membayangkan akan bertemu Satria lagi, semakin lelah rasanya. Selalu saja ada hal-hal heboh kalau bertemu dia!

Saat Ipeh datang, suasana rumah sangat sepi. Kayla dan Sapi sedang kuliah. Terdengar suara bu Pipit yang tengah memasak di dapur. Ipeh menyapanya dari luar.

“Lagi masak Bu?”

“Oooh! Ipeh sudah pulang....! Alhamdulillah akhirnya kamu tahu jalan pulang Nak...” kata bu Pipit seraya menarik tangan Ipeh, dibawanya masuk ke rumahnya lewat pintu dapur. Ipeh sudah menolak hendak istirahat di kamarnya, tetapi bu Pipit memaksanya.

“Ibu kangen sama kamu, Peh. Si Fira disuruh nelpon kamu alasannya ada aja. Nggak punya pulsalah, nggak ada sinyallah, nggak ada moodlah, nggak ada terus. Sampe kesel Ibu.”

Ipeh nyengir, benarkah bu Pipit kangen beneran dengannya atau hanya basa-basi atau mau disuruh nyuci?

“Nah, kamu duduk di sini ya.” Ujar bu Pipit seraya mendudukkan Ipeh di salah satu kursi. Bu Pipit kembali sibuk memasak sambil bercerita banyak hal. Tentang Fira yang susah diomongin, tentang kucing tetangga yang kawin lagi, tentang tikus yang mati di jalan, tentang Satria yang beberapa hari lalu dinas di Jakarta.

“Ibu... Buburnya udah mateng?” tiba-tiba Satria muncul di dapur dengan mengenakan sweater tebal dan wajahnya terlihat pucat. Kaget melihat Ipeh sudah nongkrong di rumahnya.

“Sebentar lagi.” jawab bu Pipit.

“Sakit Bang?” sapa Ipeh sebiasa mungkin ketika mengucapkannya, meski debar jantungnya tak karuan.

“Iya, pulang dari diklat apa gitu malah sakit. Kasihan sekali. Ibu paksa dia istirahat di rumah, kalau nggak dia pasti sudah masuk kerja lagi. Nggak sadar sama keadaan diri.” Kata bu Pipit.

“Semoga lekas sembuh..” kata Ipeh.

“Ya, makasih.” Sahut Satria sambil masuk kembali ke dalam. Bu Pipit geleng-geleng kepala lantas minta maaf pada Ipeh karena sikap Satria terlihat kurang menyenangkan. Begitu pendiam dan tak banyak bicara. Ipeh tersenyum.
***

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang