Saipeh Flashback

51 4 0
                                        

SAIPEH BAPER MAU FLASHBACK DULU YAAAA....

Pangeran Bersandal Jepit

Kami mengejar mobil kol terakhir yang ada di terminal Kaliurang. Sebenarnya kami masih ingin main ke atas untuk melihat keindahan puncak Merapi yang berasap. Ingin main ke tlogo putri, ingin makan jadah tempe tapi tak sempat.

“Jadah tempe itu makanan favorit Sultan Hamengkubuwono IX lohhh.” Kata Kayla.

“Oya? Ciyus miyapa?” sahut Fira. Uh dasar alay.

“Enelan Kay?” sambungku.

Kayla melengos, dan diam saja menikmati udara sejuk dari balik jendela. Aku dan Fira tertawa kecil.

Mobil berjalan di jalan raya, bukan di jalan kereta lho ya. Hingga akhirnya sampailah kami di perempatan Mirota lagi. Karena sudah waktu Ashar kami mampir ke sebuah masjid yang tertulis namanya “Masjid Terban”. Kami pun memasukinya. Setelah melepas lelah sejenak karena pengalaman yang mendebarkan dikepung monyet-monyet itu, kami berwudhu. Brrr....airnya sungguh sejuk!

Ketika kami sholat di dalam area khusus wanita, kudengar sayup-sayup suara seorang lelaki.

“Iman niku, mesti dijogo, supados tetep teteg ingdalem ngelampahi aturan-aturan saking Gusti Allah. ”

Aku jadi penasaran. Siapa sih yang ngomong? Apakah Aa Gym? Wetz sejak kapan Aa Gym berubah jadi orang Jawa? Atau mungkin itu Aa Jim? Atau Aa Jin?

“Kito mesti donga ingkang Allah, tsabbit qolbiy ‘alaa dinik... ”

Usai sholat kami masih duduk-duduk di area akhwat di masjid itu. Sambil mendengarkan ceramah sang ikhwan yang begitu sederhana dan menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh ibu-ibu itu.

“Mas! Jemput di mana?” teriak Fira di HPnya. Ini anak membuyarkan konsentrasiku mendengarkan ceramah yang bahasanya sungguh tak kumengerti ini.

“Oke deh bentar lagi Fira ke Malioboro. Iya iya!” lalu ia menutup percakapan dan bicara serius dengan aku dan Kayla.

“Sebelum Maghrib kita harus sampai di Malioboro. Sebab kalau nggak, Mas Satria nggak akan bisa jemput. Katanya, dia lagi ada acara dapuroh di UII.”

“Dauroh kali maksudnya?” ralatku.

“Iya itu kali.”

“Lho, UII kan yang tadi kita lewati di jalan Kaliurang? Kenapa nggak jemput di sini aja sih?” protes Kayla.

“Oiya! Kenapa harus di Malioboro Piiii?” sambungku.

“Nggak tahu tuh Mas Satria, katanya mau jemput di Malioboro.”

“Yaudah deh. Sekalian kita jalan-jalan aja di sana.” Kata Kayla. Kami pun berjalan keluar. Begitu pula sang ikhwan yang sudah selesai ceramah, ia berjalan di depan kami. Menuruni tiga anak tangga dan memakai sandal jepit!

Aku berhenti, dan terpaku di teras masjid. Duhai Allah, sudahkah sampai waktunya aku bertemu sang pangeran bersandal jepit itu? Dia seorang da’i, yang sederhana dan memakai sandal jepit. Warnanya ungu lagi, mantap tuh. (heee, yang mantap sandalnya yaaa.)

Tiba-tiba dia berhenti di pelataran masjid padahal sudah siap mau naik ke sepedanya. Jangan-jangan dia menungguku! Ups! GR banget sih, dia kan sedang ngobrol dengan simbok yang tadi ikut pengajiannya. Mungkin simbok itu malu bertanya makanya sekarang dia bertanya. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mas Google Translate, dia bilang begini:

“Mas, kalau ngasih sesajen untuk arwah keluarga kita, itu syirik juga?”

Ikhwan itu menjawab, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda oleh Abah Mahmud “Muhun, eta syirik namina. Dosa nu ageung.”

Simbok menjawab dalam bahasa Jawa, kini diterjemahkan dalam bahasa Inggris. “Ok. Thank you very much!”

Sekali lagi ikhwan itu menimpali, diterjemahkan ke bahasa Mandarin. “Wo ai ni.”. Abaikan yang barusan itu. Oke.

“Teh, ayo!” ajak Fira.

“Sandal gue...” bisikku lirih. “Dipakai ikhwan itu...”

Aku tahu sandalku dipakai dia, karena aku sangat hafal dari baunya yang terendus dari radius lima kilometer (jangan percaya). Sementara sandal ikhwan itu masih teronggok manis di anak tangga paling bawah, warnanya sama-sama ungu dan sudah agak butut. Aku tak akan mau memakai sandalnya karena itu bukan punyaku dan kami tidak berakad untuk tukar-menukar sandal. Karena sandalku itu paling keren. Lebih baik aku nyeker daripada memakai sandal orang deh.

Fira dengan enteng berkata. “Biar Fira yang urus deh.” Ia lantas mengambil sandal ikhwan itu, lalu mendekatinya! Padahal pangeran bersandal jepit itu lagi-lagi sudah siap naik ke sepedanya. Dia turun lagi setelah dipanggil Fira. Tampak jelaslah ikhwan itu bentukya: pakai celanda di atas mata kaki, baju koko warna kelabu sebatas lutut, jenggot sejumput, rambut tertutup selimut, heh, kopiah putih ding. Dan ada tahi lalat di tengah pipi kirinya. Gede sampe kelihatan dari teras masjid.

Entah apa yang dikatakan Fira, yang jelas ikhwan itu langsung melepas sandalnya seraya tersenyum tipis dan dari gerak bibirnya aku bisa mendengar dia berkata, “Maaf... saya tidak tahu.”. Ia menatapku sekilas, dengan sorot mata yang tak dapat kuartikan. Sendu, sayu, atau rindu ya? Mungkinkah dia merasakan bahwa aku ini sang putri yang harus dia selamatkan dari terkaman binatang buas? Mungkinkah dia sadar kalau bisa jadi aku ini jodohnya?

Entahlah, tapi setelah dia mengembalikan sandal jepitku pada Fira, dia langsung naik sepeda dan mengayuhnya dengan terburu-buru meninggalkan pelataran masjid. Sosoknya hilang beberapa menit kemudian, karena sudah tertelan di tengah lalu lintas entah menuju ke mana.

Fira dengan senang memberikan sandal jepitku. Aku segera memakainya dan kami bertiga mencari bus yang akan mengantarkan kami ke Malioboro.

“Ngomong-ngomong, tadi lo bilang apa ke ikhwan itu?” tanyaku.

“Oooh. Fira Cuma bilang, ‘Mas, maaf kayaknya sandalnya ketuker deh sama teman saya itu.”

“Gitu doang?” tanyaku curiga, mengingat tadi Fira ngomongnya cukup lama dan ikhwan itu menatapku dengan aneh. “Lo nanya namanya nggak?”

“Boro-boro! Dia langsung kabur gitu waktu gue bilang Teteh itu sekolah di Pakem, jadi masih ganas apalagi kalau sandal kesayangannya dipakai orang lain.”

Aku kaget bukan kepalang, sementara Kayla tertawa sambil menutup mulutnya. Aku yakin, kalau di kosan dia akan tertawa sampai berguling-guling atau manjat dinding karena senang aku dibilang begitu. Buktinya sekarang matanya berair, tandanya dia tertawa puas sampai mengeluarkan air mata.

“Kok gitu! Balas dendamnya sama Kayla dong! Kok sama gue sih!” aku melipat kedua tangan di dada dengan sebal. Fira hanya cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala yang tertutup kerudung milikku.

Saking kesalnya aku hanya memandang keluar jendela, sedangkan Kayla terus tertawa dan Fira dengan santainya bilang maaf. Dia nggak tahu bagaimana rasanya menjadi diriku yang sudah senang menemukan pangeran bersandal jepit tapi sayang sekali pangeran menyangka aku gila. Tatapan yang tadi kuartikan sebagai tatapan rindu, ternyata adalah tatapan iba sekaligus takut karena disangkanya aku ini benar gila. Wallahi Fahri, aku hafal surat Maryam! (heh, ini apaan sih? Twewwww).

Sepanjang jalan pun aku hanya diam menatap ke luar jendela. Pupus sudah harapanku mendapatkan cinta dari sang pangeran.
***

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang