Bagian Dua Puluh Lima

147 7 0
                                    

“Sat, boleh Abang masuk?” tanya Amru seraya mengetuk pintu kamar Satria. Dokter muda itu tengah bersimpuh di atas sajadahnya menghadap kiblat. Amru membuka pintu kamar itu setelah mendapat jawaban ‘ya’. Lalu duduk di tepi ranjang, memandang wajah gundah adiknya.

“Mama emang gitu Sat, maklumin aja.” Ujar Amru pelan.

Satria mendesah lelah, “Aku sayang Mama, tapi kali ini aku ingin menentukan sendiri masa depan aku Bang. Nggak mau diatur-atur dalam urusan jodoh.”

“Yah, Abang juga nggak setuju sama cara Mama yang seperti itu. Tapi... rasanya kok Abang kasihan sama Ipeh. Dia itu nggak salah apa-apa. Mama yang selalu melibatkannya dalam segala sesuatu, terkadang Ipeh sendiri nggak mau. Tapi, Abang perhatikan Ipeh itu nurut sama Mama. Meski berat baginya, dia selalu tulus melakukan apa saja. Mungkin itu yang membuat Mama suka sama dia.”

Satria diam mendengarkan. “Kalau saja dulu istri Abang kapok dikerjain Mama, nggak bakalan dia ada di sini sekarang. Kenyataannya, setelah jadi menantu, Mama sangat sayang sama istri Abang. Nggak dianggap menantu lagi, tapi dianggap anak. Sat, Ipeh nggak salah. Tadi sikap kamu agak keterlaluan. Dia sampai menangis karena dikerjain Mama, dan disalahkan kamu. Padahal dia....”

“Salahnya adalah dia ada di sini. Kalau dia nggak pernah ngekos di sini, nggak bakal kejadian kayak gini.” Potong Satria.

“Sat! Jangan mengabaikan takdir! Dia ada di sini bukan karena kebetulan, sudah menjadi ketentuan Allah!” ucap Amru.

Satria terdiam. Pandangannya terpaku pada ujung sajadah.

“Bahkan, apa kamu sudah istikharah tentang keputusanmu menikahi Ayasha? Bisa jadi dia baik menurut kita, tetapi kalau Allah bilang tidak? Kita bisa apa? Maka, istikharahlah Sat, minta petunjuk Allah. Jangan sampai kita bertindak tanpa meminta persetujuan Allah. Yah?” kata Amru lalu keluar kamar Satria.

Satria masih diam memandang sajadah. Tak lama kemudian, keningnya luruh dalam sujud, doanya melangit. Dia memang baru menyadari satu hal, persetujuan Allah belum dia dapatkan melalui istikharah cintanya.
*
Ipeh dan Kayla ongkang-ongkang kaki di atas karang sambil menikmati otak-otak. Keduanya memandang lautan luas dengan sedih. Saat sama-sama baper begini, kebersamaan sudah lebih dari cukup.

“Bu Pipit bikin ulah lagi?” tanya Kayla setelah Ipeh berkata bahwa dia baru pulang dari rumah bu Pipit.

“Ya begitulah....” kata Ipeh. “Gue lagi baper Kay, baru pulang dari Jogja. Mas Iskandar ternyata sudah menikah...”

Kayla menatap Ipeh. “What? Mas Iskandar si lelaki bersandal jepit itu? Jadi selama ini lo ngarepin dia Peh? Ckckck....”

“Nggak ngarep juga sih, Cuma kok rasanya sakit ya. Hehehe...”

Kayla geleng-geleng kepala.

“Makanya, jangan biarkan hatimu terpapar virus merah jambu. Susah nyari obatnya. Seharusnya lo lamar aja Mas Iskandar, hahaha...”

Ipeh tersenyum, “Lucunya, Bu Pipit ngarepin gue jadi menantunya. Hal itu membuat calon istri Bang Sat ngambek. Jadilah perang dunia. Gue dimaki-maki sama Bang Sat.”

“Sabar ya Peh, suatu saat lo akan ketemu jodoh yang baik.”

“Aamiin......” lalu keduanya asyik menikmati belaian angin laut. Di situlah mereka berdua biasa menghabiskan waktu saat gundah merajalela.

“Trus, lo gimana?” tanya Ipeh.
Kayla tersenyum kecut. “Gue mau berangkat ke Jepang. Lo sabar ya saat gue tinggalin.”

“Hah?! Kay......!” Ipeh menghambur memeluk sahabatnya. “Barokallah ya Kay... semoga lo di sana baik-baik aja.”

“Nyokap gue masih ngambek sebenernya, pingin gue nikah aja. Tapi, Bibi dan seluruh keluarga besar mendukung gue berangkat ke Jepang. Bulan depan Peh.”

“Secepat itu Kay? Selamat pokoknya selamat! Gue selalu doakan lo.”

Dua sahabat itu berpelukan hangat. Kebersamaan mereka sangat lama, sejak SMP. Berbagi banyak cerita, lalu sekarang Kayla akan pergi jauh ke negeri Sakura.

“Kay, jodoh itu kayak lautan ya? Kita nggak tahu apa yang ada di dalamnya. Bagaimana pergerakannya, bagaimana arusnya. Ah misterius deh.” Kata Ipeh.

“Tenang aja Peh. Lo jangan baper, biarin aja Bang Sat seperti itu.”

“Apaan sih. Siapa juga yang ngomongin dia.”

Kayla tertawa. Ipeh mau tak mau tertawa juga.
*
Lelaki tegap itu duduk di sofa berwarna krem sambil melipat lengan kemeja. Ponsel dibiarkan dalam posisi loudspeaker dan terdengar suara lembut ibunya.

“Kapan kamu pulang, Setya?” tanya sang ibu.

“Tidak bisa janji, Bu. Masih banyak pekerjaan yang harus Setya selesaikan.” Jawab lelaki itu dengan lembut pula.

“Ibu kangen sama kamu..”

“Setya juga, Bu.”

“Kapan kamu akan memperkenalkan Ibu dengan gadis pilihan kamu? Jangan lupa lho, Nak bibit, bebet dan bobotnya. Ibu ndak mau punya menantu yang tidak jelas garis keturunannya.”

Lelaki berambut hitam legam itu terdiam sejenak. “Bu, secepatnya akan Setya kenalkan dengan Ibu. Semoga gadis pilihanku ini sesuai dengan Ibu.”

“Kita akan lihat nanti.” (*)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Saipeh BaperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang