Part 11

252 36 10
                                    

Hari-hari pun terus berlanjut dengan kecanggungan antara aku dan Len. Biasanya ia akan muncul di saat-saat tertentu, namun akhir-akhir ini ia muncul setiap saat. Tapi anehnya, wajahnya terlihat murung tidak seperti biasanya. Aku pun ingin bertanya apa sebabnya namun aku memilih untuk diam dan menjadi egois. Semenjak kejadian di gudang itu kami berdua saling berdiam diri seperti ini. Entah apa yang dipikirkan Len, namun yang membuatku diam seperti ini adalah karena aku masih merasa kesal padanya.

'Apa hanya karena aku berkata sedikit kasar mengenai ayahku, ia sebegitu kecewanya? Dan lagi, ia bahkan mencatat perilaku buruk ku itu? Oh ayolah, aku ini partnernya bukan? Apa tidak ada keringanan bahkan untukku?'

Aku selalu berpikir begitu sejak saat itu. Dan lagi aku merasa kecewa karena dengan bodohnya aku merasa spesial baginya. Tentu aku merasa spesial karena tidak semua orang dapat melihat partnernya sendiri. Dan lagi aku cukup dekat dengan partnerku. Namun, bagi Len aku hanya seorang gadis yang perlu diawasi saja. Tidak lebih dari itu. Aku sungguh naif.

"Rin?" Tanya seorang pria dengan nada beratnya yang lembut.

Aku merindukan suara itu namun sekali lagi aku bertindak bodoh dan pura-pura tak acuh terhadapnya.

"Apa?" Tanyaku dengan jutek.

"Kamu baik-baik saja? Aku.... Sedikit khawatir padamu." Tanyanya dengan lembut.

Wajahku terasa panas dan dadaku tiba-tiba berdebar. 

'Len mengkhawatirkanku? Senangnyaaa... Tapi aku harus jaga imej ku karena aku sedang marah padanya bukan?'

"Aku baik-baik saja. Bukannya kamu sendiri yang murung?"

"E-Eh? Rin khawatir padaku? Aku... Aku baik-baik saja. Aku murung seperti ini karena Rin tampak sedih dan marah. Jadi aku sungguh khawatir denganmu."

'Ah sial! Kenapa saat ini dia tampak sangat manis? Biasanya dia bertingkah sok dewasa, walaupun sebenarnya sifatnya dia lebih dewasa dibandingkan aku. Jangan pikir kau bisa menang karena bertingkah manis seperti ini Len!'

"Sudah kubilang aku baik-baik saja. Aku bukan anak kecil." Jawabku yang membuatku sendiri muak karena tentunya sikapku ini kekanakan.

"Tapi kenapa kamu menjadi sedikit jahat terhadapku?" Tanya Len memelas.

"Hah? Kau pikir kau siapa sehingga aku harus berbaik hati padamu?" Sentakku yang tanpa kusadari itu membuat Len terkejut.

"Maaf... Aku tidak bermaksud seperti itu."

Aku menjadi merasa bersalah padanya karena tanpa kusadari aku telah menyakiti hatinya. Pasti ia akan mencatat perilaku buruk ku lagi. 

Namun 3 sampai 5 detik berlalu aku tidak melihat Len mengeluarkan bukunya yang berarti ia tidak mencatatnya? Jadi pemikiranku ada benarnya. Jika aku berbuat buruk pada orang lain tentu ia akan segera mencatatnya namun jika aku berbuat buruk terhadapnya, ia tidak akan mencatatnya karena ia bukan manusia melainkan roh? Apakah benar begitu?

"Hei Len!"

"I-Iya?" Tanyanya dengan sigap.

"Jika aku berbuat buruk pada orang lain, kau tidak segan-segan akan mencatatnya bukan? Walaupun itu adalah aku partner sehidup semati mu?"

Len sangat terkejut mendengar pertanyaanku. Ia hanya menggaruk tengkuknya dan mengangguk perlahan sembari menundukkan kepalanya.

"Maaf Rin. Tapi itulah tugasku dan sebab aku hidup di dunia ini."

"Hmm... Tapi bagaimana kalau aku berbuat buruk padamu? Kamu kan bukan manusia melainkan roh. Apakah kau juga akan mencatatnya?"

"Umm.. Sepertinya tidak. Karena pada umumnya manusia tidak bisa melihat partnernya sendiri. Jadi itu tidak akan dihitung. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi... Tenang saja. Aku akan selalu bersedia menjadi partnermu walaupun Rin hendak menyakitiku. Aku bisa menerima Rin apa adanya karena aku sudah berjanji akan selalu berada disisimu dalam suka dan duka Rin!" Ucap Len dengan lantang dan penuh semangat yang membuatku ingin tertawa.

"Bwahahaha.... Apa-apaan kamu ini Len?"

"E-Eh? Apakah itu terdengar aneh Rin?"

"Ahaha.. Tidak... Hanya saja jika kau berucap seperti itu, itu terdengar seperti janji dalam pernikahan. Khususnya dibagian aku sudah berjanji akan selalu berada disisimu dalam suka dan duka Rin! Ahaha..." Cibirku sembari tertawa menutupi rasa bahagiaku.

Tentu saja aku bahagia karena mendengar ucapan Len yang polos dan juga tulus.

"Ahaha.. Begitu ya rupanya. Kalau begitu aku akan menikah denganmu Rin agar ucapan itu tidak terdengar konyol lagi bagimu." Sahut Len dengan polosnya yang membuatku terdiam sesaat dan tersipu.

"A...A...Apa? Kau bercanda kan Len?"

"Ahaha... Iya aku hanya bercanda." Jawab Len dengan tawa polosnya yang membuatku seketika ingin menonjoknya.

"Urgh.. Sialan kau Len. Kau berhasil mengerjaiku saat ini tapi tidak dengan selanjutnya."

"Ahahaha... Iya.. Iya... Tapi ucapanku tadi ada benarnya juga. Aku akan selalu berada disisimu walaupun kau hendak menyakitiku Rin."

Blush... Lagi-lagi aku kalah karena termakan ucapan Len yang manis nan ironis.

"Itu terdengar sungguh kejam Len. Aku tidak berniat menyakitimu. Hanya saja itu sedikit membuatku lega karena poin keburukanku tidak akan bertambah tanpa kusadari ketika aku berbuat buruk padamu seperti tadi."

"Ah, jadi kamu khawatir karena takut aku merasa kecewa padamu? Tenang saja, perasaan ini tidak akan berubah walaupun kamu berbuat buruk padaku Rin."

"Bu...Bukan seperti itu! Tapi-"

--"Ah dia datang." Ucap Len yang membuatku dengan refleks menoleh kearah pintu kelas.

Aku pun terkejut melihat seseorang yang melangkah masuk ke dalam kelas. Miku tampak tersipu disamping Mikuo yang terlihat malu-malu.

"A...Apa yang terjadi diantara mereka? Apakah mereka sudah.... Pacaran?"

Miku pun segera mendekatiku dan memelukku dengan segera.

"Riiiinnnn... Selamat pagi..."

"Ah pagi Miku. Apa-apaan wajah bahagiamu itu? Apakah kau sudah-"

Miku dengan segera membungkam mulutku dan menyuruhku diam.

"Ssstttt... Nanti terdengar olehnya." Bisik Miku.

"Kalau begitu ceritakan padaku apa yang terjadi Miku."

"Tadi secara tidak sengaja aku dan Mikuo-san bertemu dijalan. Jadi kami berbincang sedikit. Lalu coba tebak apa yang terjadi?"

"Apa?"

"Ia mengajakku untuk kencan akhir pekan ini. Ini sungguh ajaib bukan Rin? Benar bukan?"

"Hmmm kencan ya? Kenapa tiba-tiba ia mengajak kencan, Miku? Jangan-jangan ia hendak berbuat buruk padamu?"

"Tidak mungkin Rin. Ia mengajakku untuk mencoba kafe baru milik temannya di kota sebelah."

"Hmmm... Begitu... Kalau begitu semangat Miku."

"Hehee... Terima kasih Rin. Rupanya saran dari nenek peramal itu benar ya..." Ucap Miku sebelum meninggalkanku yang membuatku terdiam sejenak.

Ucapan nenek itu, apakah benar apa adanya? Tapi aku sudah berjanji pada Len untuk melupakannya. Namun tetap saja itu membuatku sedikit kepikiran.

Bukan berarti aku tidak ingin melihat Miku bahagia tapi... Yang membuatku selalu merasa resah adalah apakah benar aku akan menyesal bertemu Len? Apalagi aku menjadi lebih dekat dan lebih merasa nyaman ketika bersama Len. Jika memang begitu, apa yang harus kulakukan?


*****

Anata no pātonā (Your Partner)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang