-awal tahun 2014-
Suasana di Bekasi ini cukup terik. Banyak dari mereka yang menutup wajahnya dari teriknya matahari pagi. Meskipun pagi hari tapi efek global warming cukup besar, belum lagi daerah perkotaan membuat matahari seperti di ubun-ubun. Banyak dari mereka yang menghindar dari sinar matahari ini. Ada yang sedang berjalan di trotoar menggunakan payung. Ada juga yang sedang menunggu bis sambil menutup pelipis dahinya seperti cowok ini.
"Sial." umpatnya kesal.
"Kalau mobil gue enggak disita bokap, kagak bakal gue naik bus kayak gini," Dalam hati dia masih menggumam kesal. Cowok ini sebetulnya agak malas keluar rumah, apalagi situasi tidak mendukung. Mobilnya kena sita Papanya sendiri. Tapi berhubung dia ada jadwal konsul skripsi dengan dosennya siang ini, mau tak mau dia menerjang panas terik pagi ini.
Matanya melebar melihat bis yang mengarah ke Kampung Rambutan akan menepi di pinggir jalan. Dia berlari cepat mendekati bus itu, tak memperdulikan penumpang lain yang berhamburan ingin masuk.
Padahal ini bukan halte. Tapi yang naik bis kok banyak banget? Pikirnya dalam hati.
Di dalam bis, matanya menyusuri tiap kursi yang masih kosong. Akhirnya dia memutuskan duduk di kursi tiga paling belakang, dekat jendela. Dia sempat menghela napas lega karena berhasil melewati panas teriknya kota Bekasi. Tangannya merangkak naik, membuka jendela yang ada di sampingnya. Berharap embusan angin dapat menenangkan betapa panas hatinya sekarang.
Perlahan namun pasti, bis ini jalan juga. Cowok ini melirik jam tangannya. Jam 10.23. Kalau perkiraan kasar gue sih, bisa sampai jam setengah dua belas. Itu juga udah ditambah macet di Cibubur, belum lagi di Depok. Pikirnya. Tapi ketika sampai di Halte Tol Bekasi Barat, bis ini ngetem kembali. Aduh! Kapan nyampenya kalau begini!
Dia menoleh ke arah jendela. Ah, capek gue kalau ngarep ini bis cepat jalan. Gumamnya. Padahal sudah sesiang ini, mana mungkin akan ada banyak penumpang?
"Permisi Ibu, Bapak, Kakak, silahkan dibaca bukunya..." Seorang bapak-bapak memberikan tiga buah buku kepada cowok ini, membuat ia tersadar dari lamunannya. Hah? Ini bapak-bapak kasih gue buku? Pikirnya bingung melihat buku yang berserakan di sampingnya.
"Jika berminat, bisa membeli dengan harga sepuluh ribu rupiah untuk buku anak, dua puluh ribu untuk kamus dan..."
Oh, promosi buku rupanya, kirain gratis. Cowok ini kembali memejamkan matanya. Suasana bis cukup ramai dengan suara obrolan penumpang dan tentu saja tukang jualan buku itu. Tetapi cowok ini tetap memejamkan matanya, menganggap semua suara ini akan menidurkan dirinya.
Terdengar suara berisik dari depan pintu bis. Cukup gaduh karena sempat terdengar bunyi gitar, alat musik pukul (seperti drum mungkin?), dan juga derap kaki. Mata cowok ini kembali terbuka sedikit demi sedikit, melihat pemandangan di depan bis.
Ada tiga orang yang masuk ke dalam bis dengan penampilan berbeda. Satu cewek, dua cowok. Cewek itu menggunakan topi yang diputar ke belakang, dengan kaus hitam, celana jeans selutut, dan gitar di genggamannya. Sementara satu cowok lagi memakai kaus hitam oblong, celana jeans, dan juga memegang gitar. Lain halnya dengan cowok yang tersisa. Dia memakai kaus dengan jaket hitam dan celana jeans sambil membawa kajoon. Tau kajoon? Alat musik yang dipukul, biasanya digunakan untuk pengganti alat pukul dalam musik akustik.
Cewek itu berjalan ke tengah bis sambil membawa gitarnya. Cowok yang membawa kajoon itu tetap setia berada di depan bis. Sementara cowok sisanya berjalan agak dekat ke belakang, sehingga wajahnya terlihat jelas oleh cowok yang duduk ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Settle for Less
General Fiction(SEDANG DIREVISI) Jatuh cinta sama pengamen? Kenapa tidak? Toh belum tau kan aslinya gimana? Fathir tidak menyangka pertemuannya dengan pengamen ini membuatnya terperangah. Semua terasa datar di hidupnya tapi berbeda setelah kehadiran Nesha, pengame...