39. Menemukan Arti

2.9K 229 45
                                    

Kehilangan mengajarkan aku bahwa emosi dan dendam hanya membawa kehancuran.

-Abyan Cetta Reynand-

Byan berdiri menatap bangunan tinggi nan megah di depannya. Sudah puluhan kali Byan menimang untuk membawa kakinya pulang lagi, tapi rupanya di antara banyak dendam di hati, ada satu malaikat kecil yang membisikkan untuk tetap bertahan. Bisikan itu barangkali berasal dari mamanya yang berada di dimensi lain.

Rumahnya nampak sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Megah tapi tak bernyawa. Mewah tapi tak membawa gairah. Ini juga yang menjadi alasan Byan meninggalkan tempat tinggal penuh kenangan masa kanaknya ini.

Sudah bermenit-menit lalu, Byan masih terpaku di depan gerbang besar itu tanpa sedikit pun bergerak lebih dekat. Ia sekarang tidak tahu apa ini keputusan benar atau tidak.

Sebenarnya Byan ingin sekali pergi, tapi...

"Den Byan?"

Byan langsung menoleh ke sumber suara. Itu Pak Deden, supir pribadi papanya.

"Pak Deden?"

"Ini beneran Den Byan? Nu Gusti Agung, apa kabar, Den? Den Byan ke mana aja, kenapa gak pernah pulang, Tuan nyariin Aden ke mana-mana, kasian Tuan kepikiran Aden tiap hari."

Ha? Nyariin?

Byan memalingkan wajahnya lagi ke rumahnya, menatap bangunan mati itu dengan pandangan sedih. Senyumnya yang mengembang tidak menujukan wajah senang, justru terlihat kontras dengan mata sedihnya.

Jadi bener Papa nyari Byan?

"Den?"

"Papa ada, Pak?"

Pak Deden mengangguk ringkih. "Jelas Den. Tuan udah lama gak pernah bisa ke mana-mana, Den."

Dahi Byan berkerut. "Maksudnya?"

"Hmm, maaf, Den..." Pak Deden menunduk lalu menjawab lagi dengan suara ringkih. "Aden temuin sendiri Tuan di dalam aja ya, biar Aden tau. Bapak gak bisa ngejelasin, Den."

Napas Byan tertahan setelah tidak lama Pak Deden mohon pergi dari hadapannya karena ada keperluan untuk mengantar berkas katanya.

Setelah membawa kakinya yang berat sampai di depan pintu dalam, Byan kembali diam di hadapan pintu kayu besar. Sekarang bukan hanya kaki yang berat, tangannya malah turut menjadi kaku untuk menarik gagang pintu berwarna keemasan itu.

Tercenung Byan pada menit-menit yang membisu. Tubuhnya sudah terlanjur sampai sejauh ini, Byan tidak ingin pulang. Ditambah lagi perkataan Pak Deden membuatnya semakin risau dan ingin bertemu dengan papanya.

Akhirnya dengan mengumpulkan keberanian susah payah, dan napas yang sebenarnya tertahan di tenggorokan, Byan membuka pintu rumahnya yang ia sendiri ragu menyebutnya rumah.

Derat pintu berbunyi terdengar jelas. Bukan karena pintunya yang sudah berkarat, melainkan karena suasana di dalam rumah itu terlalu hening. Menyaingi keheningan tengah malam di dalam hutan belantara. Bahkan ketika Byan melangkahkan kaki ke tengah ruangan di sana tetap tidak ada orang.

Byan jadi berpikir di rumahnya ada orang atau tidak? Kenapa sepi sekali.

"..."

"Byan?"

Baru saja Byan hendak memanggil, tapi ternyata sekarang di depannya berdiri perempuan yang tidak lain adalah mama tirinya, Nancy. Pandangan Byan terfokus pada perut perempuan itu yang buncit.

Abyan [Completed] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang