Yein menarik tangan Kino menuju taman belakang rumahnya, menggiring cowok itu menuju saung yang berada di dekat kolam renang. Entah apa yang dipikirkan Yein hingga membawa Kino kesana padahal suhu sudah mencapai minus tiga derajat sekarang.
"In? Lo mau ngebunuh gue disini ya?" Dengan nada polos Kino bertanya pada Yein.
Yein terkekeh mendengar pertanyaan Kino yang tak berbobot itu, "Bentar deh No, gue mikir dulu ikhlas nggak bunuh lo,"
"Ehh? Kok? Jadi lo pengen gue mati nih? Ntar kangen nggak ada yang ngelindungin loh,"
"Gampang aja, tinggal suru Ucok aja yang jagain. Lagian gue punya empat security kok," Kino tertawa kecil mendengar bagaimana Yein menyebut keempat kakaknya sebagai security. Tentu tanpa dibilang pun mereka juga pasti akan melindungi Yein, seperti hari ini bagaimana dirinya dibuat susah oleh mereka bertiga hanya untuk mendapatkan ijin pergi bersama Yein. Karena hari ini terasa cukup sulit untuk dilalui, Kino berpikir sepertinya ia harus lebih berusaha lagi untuk mendapatkan persetujuan mereka.
"No, bentar ya gue mau ambil lampion dulu,"
Kino baru saja ingin bertanya kenapa gerangan Yein ingin mengambil lampion, hari ini tidak ada perayaan apapun, jadi untuk apa dia mengambil benda itu.
Tak lama Yein datang dengan dua buah lampion berwarna merah yang cukup besar. Wajah cewek itu terlihat sangat berseri seperti seorang anak kecil yang sudah memiliki teman untuk diajak bermain masak-masakan.
Cewek itu sudah duduk disebelah Kino lalu merakit lampionnya untuk diterbangkan.
Kino masih diam pada posisinya bingung ingin melakukan apa."Kok lo diem No?"
"Terus gue harus ngapain In?"
Yein berdecak kecil, sebelum akhirnya memberikan lampionnya yang sudah dirakit tadi dan spidol.
"Ini buat apa?"
Lagi-lagi Yein harus sabar menghadapi kelemotan otak Kino yang terkadang membuatnya merasa gemas, "Tulis harapan lo, nanti kita terbangin bareng."
"Oh oke," Kali ini Kino tak bertanya lagi, cowok itu segera menurut untuk mengoreskan tinta pada pada kertas lampion. Menuliskan harapannya seperti yang dikatakan Yein tadi.
Kino sudah selesai menulis harapannya pada lampion, namun sepertinya Yein belum juga selesai merakit lampion miliknya.
"Sini gue bantu rakit," Yein segera menjauhkan tangannya dari tangan Kino, seolah menghindar agar cowok itu tidak ikut membantunya.
"In, sini gue bantuin. Tadi kan lo rakit lampion gue, jadi sekarang gue yang rakit lampion lo,"
Dengan cepat Yein menggeleng, "Gue bisa No,"
Kino hanya menggela nafasnya gusar. Dia mengalah untuk tidak membantu Yein. Cowok itu kembali pada posisinya. Hanya diam memperhatikan.
Tangan Yein terlihat sedikit gemetar dan wajah putihnya berubah memerah. Kino melihat itu semua, cewek itu sudah kedinginan diluar sini, namun tetap bersikeras untuk tak ingin dibantu. Sekarang ini siapa yang seharusnya merasa gemas?
Karena itu Kino mendekat kearah cewek itu, "Gue bilang jangan bantuin gu---e,"
Yein langsung diam, wajah Kino saat ini berada didepannya. Sangat dekat. Kino tak mendengarkan ucapan Yein, cowok itu dengan telaten menyampirkan syalnya pada leher Yein.
Detak jantung Yein berpacu dengan cepat. Dia bingung ada apa dengan dirinya. Apa dia akan mati muda karena sakit jantung sekarang? Melihat Kino berada didepan wajahnya dan memperlakukannya seperti ini membuatnya benar-benar tak mengerti akan banyak hal, apa alasan cowok itu bersikap manis seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pavlova [98 LINE] {1} - COMPLETE
FanfictionKisah manis Yein yang hidup di keluarga Jung. Dimana ia menjadi putri bungsu sekaligus anak perempuan satu-satunya disana. Meski dia yang bungsu disana, namun yang menerima santapan bullyan hampir setiap hari adalah si Sulung Jahe. Bagaimana kisah...