"Nggak ada alasan buat nggak makan siang. Cepet habisin."
― ❁ ―
ㅤ
ㅤSEMENJAK malam terakhir di Bali itu, hubunganku dengan Jaka kian dekat. Bahkan, beberapa hari belakangan ini, aku seringkali menghubungi Jaka, baik melewati chat ataupun telepon. Topik yang kami bahas pun beragam. Mulai dari tentang liburan yang mengesankan kemarin, hingga seputar sastra pun tak luput kami bahas.ㅤ"Khansa? Tumben sendirian." Aku yang kala itu tengah sibuk mengerjakan tugasku di kantin, kontan tersentak saat mendapati Jefri yang tiba-tiba saja duduk di hadapanku. Menatapku sebentar, Jefri kembali mengedarkan pandangannya. "Kok nggak bareng Keenan? Keenan kemana?"
ㅤ"Nggak tahu." Menggidikkan bahu tak acuh, aku kembali fokus dengan tugas sejarahku di meja. Samar-samar, aku mendengar Jefri menghembuskan napasnya panjang. Mungkin ia sedikit kesal karena aku menanggapi ucapannya dengan tidak niat. Ah, lagipula kenapa dia harus datang di saat aku sedang sibuk begini, sih? Sialan memang.
ㅤ"Lo belum makan, Sa?" tanya Jefri tiba-tiba. Aku menengadah sebentar, kemudian menggeleng pelan. Firasat burukku mulai datang lagi. "Bagus. Kalau gitu lo makan dulu, ya? Gue beliin, deh. Lo mau makan apa? Nasi goreng? Mie ayam? Spaghetti? Nasi uduk? Atau apa?"
ㅤ"Nggak usah, Jef." Aku menggeleng, menolak tawaran Jefri. "Lagian gue bisa beli makanan sendiri. Nggak perlu dibeliin sama lo."
ㅤKulihat, Jefri tersenyum. "Nggak, nggak. Pokoknya lo harus makan. Asli, kali ini gue traktir―"
ㅤKesal mendengar celotehan Jefri, aku pun langsung menutup bukuku dengan keras, membuat laki-laki itu langsung terdiam dan kaget. Masih dengan ekspresi setengah kesal, aku mendengus pelan. "Gue nggak mau, Jefri. Tolong, jangan paksa gue," ujarku penuh penekanan, namun terkesan tajam. Sementara Jefri hanya mengerjap pelan, seakan masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi beberap detik yang lalu.
ㅤJefri tersenyum. Aku―yang saat itu baru saja berniat untuk bangkit dari kursi―tiba-tiba terduduk kembali tatkala Jefri menarik tanganku sedikit paksa. "Gue cuman berniat baik, Sa. Masa lo setega ini sa―"
ㅤ"Kalau orang nggak mau, nggak usah dipaksa." Kepalaku mendongak saat suara itu tiba-tiba saja menyahut. Mataku sukses membesar, sedikit kaget. Namun, beberapa detik kemudian, aku tak kuasa menahan senyum. Lagi, Jaka selalu hadir di saat yang tepat. Dengan gesit, tangannya langsung menarik tanganku, lantas menggenggamnya erat-erat."Lo nggak apa-apa?" tanyanya setengah berbisik.
ㅤAku hanya tertunduk, mengangguk malu. Sial. Sekarang aku justru gugup karena sikap Jaka. Bagaimana tidak? Bahkan dengan lancang dan tanpa ragu, ia berani menggenggam tangku erat di hadapan penghuni kantin. Dan tentu saja, kami bertiga kini sedang jadi pusat perhatian. Oh, aku benci ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destination
FanfictionㅤApa bagian tersulit dalam kehidupan? Bagi Jaka dan Khansa ada satu. ㅤMenentukan tujuan hidup dan hati.