{9}: Kenyataan

1.8K 447 58
                                    

"Terkadang, kenyataan itu kejam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Terkadang, kenyataan itu kejam."


― ❁ ―


SORE itu, aku termenung di meja belajar. Memandang beberapa digit nomer yang tertera di layar ponsel, sesekali menghela napas panjang. Sudah setengah jam aku memandang ponselku, tanpa mau bergerak kesana kemari. Ya, benar. Itu adalah nomor ponsel Jaka. Kenapa aku tahu? Karena siang tadi, aku menanyakan kontak kepada salah satu teman kelasnya yang kebetulan aku kenal. Kevin namanya.

ㅤBukan tanpa alasan aku menanyakan kontak Jaka pada Kevin. Seharian ini, aku sama sekali tak melihat batang hidung makhluk itu di sekolahan. Nyaris semua gedung di sekolah aku telusuri, namun tetap saja aku tak menemukan Jaka. Penasaran, aku lantas bertanya pada Kevin. Dan yah―seperti dugaanku, dia benar-benar jatuh sakit. Sungguh, aku jadi merasa bersalah pada Jaka atas kejadian itu. Karenanya, aku memutuskan untuk menanyakan kontak Jaka pada Kevin.

ㅤNomor telepon itu masih kupandangi dalam diam. Berdesah panjang, akhirnya, aku putuskan untuk menekan tombol telepon, lantas menyiapkan mental apabila Jaka benar-benar mengangkat teleponku itu. Oke, Khansa. Tenang. Karena lo nggak lagi teleponan sama 911.

"Assalamualaikum. Halo?" Jaka sukses menyapaku dari seberang telepon.

ㅤKontan, jantungku mulai berdegup tak karuan. Jaka baru saja berbicara dua kata. Tapi kenapa jantungku sudah marathon seperti ini? Lagi-lagi, aku merutuk diriku sendiri dalam hati.

"Halo? Ini siapa?" Aku makin gugup begitu Jaka menyerukan sebuah pertanyaan. Setenang mungkin, aku berusaha mengatur napasku yang masih naik-turun. "Ini siapa? Kalau nggak gue tutup―"

ㅤ"Waalaikumsalam," aku membalas salam terlebih dahulu, memberi jeda sebentar. "Halo... Jaka? Ini... beneran Jaka, kan?" tanyaku, memastikan. Barangkali saja aku salah telepon atau bagaimana.

"Iya. Ini Jaka," Jaka membalas lagi. Kali ini suaranya terdengar sedikit serak. "Ini Khansa, ya?"

ㅤUgh―ternyata dia mengenali suaraku. Cenayang kali, ya?

ㅤ"Kok tahu si, Jak?" cengirku, lantas membenarkan posisi duduk. Beberapa detik kemudian, ekspresiku kembali khawatir, memikirkan Jaka yang tengah sakit di seberang telepon. "Lo... sakit?" Jaka tidak menjawab. Melainkan hanya diam, tanpa ingin membalas pertanyaanku. Menghela napas kasar, aku mendecak. "Kan kemarin gue udah bilang, kita nggak usah hujan-hujanan. Yang ada lo malah tambah sakit, Jaka. Eh, tahunya beneran kejadian sekarang. Ngeyel banget sih jadi orang."

ㅤJaka menarik napas. "Ada ya, orang lagi sakit tapi malah disalahin," sindirnya, kontan membuatku langsung diam tak berkutik.

DestinationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang