{35}: Suatu Misi

1K 272 16
                                    

"Ini, saya yang bayarin buku dia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ini, saya yang bayarin buku dia."




―❁―




HARI berkesan itu akhirnya berlalu. Dan sekarang, aku memutuskan untuk menutup diri dari siapapun―bahkan dari Khansa. Beberapa hari ini, gadis itu seringkali menelepon atau mengirimkan pesan singkat padaku. Tapi, aku sama sekali tak pernah menggubrisnya. Jika ia menelepon, aku sengaja me-reject-nya. Sama halnya dengan pesan di LINE, aku juga tak pernah membalas ratusan chat-nya sekarang. Jangan tanya kenapa aku bersikap seperti ini.

ㅤWalau aku seorang laki-laki, namun jika aku berada di posisi Keenan, aku juga merasa kecewa dengan Khansa karena sudah bermain di belakangku. Juga sesuai ucapanku kemarin-kemarin, cukup sehari saja aku merasakan berada di samping Khansa. Untuk selanjutnya, aku akan membiarkan gadis itu bersama yang lain. Itu sudah kupegang erat-erat, dan aku sama sekali tak boleh mengingkarinya.

ㅤBukan. Bukan bermaksud memutus tali silaturahmi dengan Khansa. Hanya saja aku perlu waktu untuk menjaga jarakku dengannya. Karena semakin aku terus meladeni Khansa, maka cobaan itu semakin berat―juga kesannya aku semakin jahat di mata orang-orang, terutama Keenan. Aku tak ingin membiarkan Khansa menyukaiku lagi. Aku ingin membuatnya lupa dengan perasaannya terhadapku, begitu juga sebaliknya. Toh, walau memang faktanya melupakan itu tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi bukankah kita juga harus tetap berusaha melakukannya?

ㅤAda kalimat yang seringkali kudengar; Kalau sayang, nggak harus memiliki. Mungkin memang benar. Aku memang menyayangi Khansa, tapi itu bukan pertanda bahwa aku mesti memilikinya juga.

ㅤ"Jak, banyak bener beli bukunya." Pria berperawakan pendek berkulit putih itu menyahut tatkala aku menaruh beberapa tumpukan novel di atas meja kasir. Namanya Koh Ateng. Lelaki berumur sekitar empat puluh tahunan yang sudah menjadi salah satu pemilik toko buku di Pasar Senen. Toko bukunya juga adalah salah satu toko buku favoritku. "Beli buat tugas ape gimane, nih?" Meski keturunan Cina, tapi logat betawi Koh Ateng jika berbicara masih saja kelihatan.

ㅤAku menggeleng, menarik salah satu ujung bibirku. "Buat orang, Koh."

ㅤ"Lah?" Ia tampak bingung, tapi buru-buru melupakannya. Nyaris saja ia lupa harus menghitung semua novel yang kubeli. Oh, memang hari ini aku sengaja datang ke Pasar Senen untuk membeli banyak novel. Kira-kira, ada lima sampai enam novel yang kubeli hari ini. Tentu saja bukan tanpa alasan. "Totalnya jadi tiga ratus dua puluh ribu."

ㅤAku menyerahkan beberapa lembar uang pas, lantas mengambil kantong plastik berisi novel-novel yang kubeli itu. "Ntar kalau ada buku baru yang seru, kabarin saya, Koh," kataku, seraya terkekeh. "Pamit dulu ya, Ko―" Aku tidak sempat melanjutkan perkataanku karena terlanjur kaget ketika mataku tak sengaja menangkap sosok Khansa yang tengah berjalan menuju ke toko buku ini. Aku buru-buru menarik topi hoodie-ku, lantas membelakanginya saat Khansa sudah masuk ke dalam toko.

ㅤDia melintas di belakangku, namun aku sengaja membelakanginya. Bagaimanapun caranya, Khansa tidak boleh tahu kalau aku juga ada di tempat itu.

ㅤ"Maaf, Koh. Mau tanya, bukunya Tere Liye yang judulnya Aku, Kau, dan Sepucuk Angpau Merah ada di sebelah mana, ya?" Suara Khansa terdengar jelas sekali. Aku bisa pastikan jika dia sedang berdiri tepat di belakangku. Aku menahan napas tidak berani menoleh walau sedikit.

ㅤ"Ada di rak keempat. Lurus aje, ntar yang paling ujung itu rak keempat," balas Koh Ateng seraya menunjukkan rak yang dimaksud.

ㅤLalu derap langkah itu terdengar menjauh. Perlahan, aku menghela napas lega. Kupikir, Khansa akan mencurigaiku. Tapi ternyata tidak. Dia benar-benar tidak mengenali penampilanku hari ini.

ㅤ"Koh Ateng," panggilku pelan, berusaha mengecilkan suaraku semaksimal mungkin. Koh Ateng melirikku, menautkan alis bingung. Lantas, aku mengeluarkan selembar kertas uang merah, kemudian menyodorkan uang itu ke hadapannya. Koh Ateng tampak bingung dengan sikapku. "Ini, Koh."

ㅤ"Hah? Apaan, nih?"

ㅤ"Buat perempuan yang tadi nanyain buku Tere Liye," kataku, menarik napas sebentar. "Ini, saya yang bayarin buku dia. Kalau ada sisanya, Koh Ateng ambil aja. Saya ikhlas, kok." Aku sudah bersiap-siap meninggalkan toko. Tersenyum tipis, aku pamit pada sang pemilik toko. "Makasih ya, Koh."

ㅤKoh Ateng masih terperanga melihat aku yang sudah melangkah menjauh. Namun, beberapa detik kemudian, ia baru tersenyum lebar, lantas melambaikan tangannya tinggi-tinggi. "Makasih!" katanya, yang kubalas hanya dengan anggukan tipis.

ㅤSelesai sudah misiku hari ini, membeli novel-novel dengan judul dan genre yang berbeda-beda. Aku lantas memakai helmku, segera menyalakan mesin motor. Baru saja hendak melaju, tiba-tiba ponselku bergetar di saku celana. Dahiku mengerut sebentar. Tapi, ekspresiku kembali semangat tatkala melihat satu nomor yang tercantum di layar ponselku. Aku mengenali nomor ini.


ㅤ[+62812xxxxxxxx]
Assalamualaikum, Jaka. Ini aku Anna. Sore ini aku jadi ngajarin temen kamu ngaji yang tinggal di Bougenville itu, hehehe. Aku cuman lupa satu hal, ngomong-ngomong. Nama temenmu itu siapa?

Jaka Algifari
Waalaikumsalam, ustazah.
Namanya Khansa Arumi.
Ustadzah, tolong ajarin Khansa ngaji sampai bisa, ya. :)

[+62812xxxxxxxx]
Nggak usah khawatir, Jaka. Aku bakal ngajarin semaksimal mungkin. Hehehe:D

Jaka Algifari
Makasih, Ustadzah.
Oh iya satu lagi.

[+62812xxxxxxxx]
Apa, Jak?

Jaka Algifari
Titip pesen untuk Khansa, jangan pernah lupain sholat lima waktu.


ㅤSetelah itu, tak ada balasan lagi. Aku tersenyum miring, menghela napas panjang begitu pesan terakhirku sukses terkirim. Semua misiku telah terlaksana untuk hari ini. Setidaknya, meskipun aku sudah mulai menjaga jarak lagi dengan Khansa, aku tidak pernah melupakan janji dan kewajibanku mengingatkan Khansa untuk tidak lupa dengan kewajibannya yang penting―sholat dan mengaji.

ㅤTidak perlu memilikinya. Cukup dengan memberi perhatian secara diam-diam, itu juga sudah melegakan hatiku. Hari ini, aku benar-benar memutuskan untuk melepasnya. Aku terdiam, memejamkan mata sejenak. Hari ini dan seterusnya, aku mengikhlaskan Khansa untuk Keenan. Aku―perlahan―akan melupakan semua tentang perasaanku, juga kenangan indah bersama makhluk itu. Selamat tinggal juga, Khansa Arumi. []

🌼 🍃 🌼

a.n
HEHEHE. Bentar lagi ending. Ayo tebak endingnya gimana?

DestinationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang