{5}: Takdir?

2.3K 509 23
                                    

"Kalau ini namanya kebetulan atau memang takdir?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau ini namanya kebetulan atau memang takdir?"

 
― ❁ ―

   
AKU menyumpal kedua telingaku dengan earphone, lantas mulai memutar musik favoritku dengan volume yang cukup. Kali ini, aku memutuskan menggunakan KRL saja untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah agar lebih cepat. Mulanya, Keenan bersikukuh untuk mengantarkanku pulang sampai ke rumah. Namun, buru-buru aku menolaknya karena aku sendiri tak mau memberatkan Keenan.

ㅤSepanjang perjalanan, aku terus memejamkan mata untuk tertidur beberapa sesaat. Sesekali, aku merasakan kereta berhenti dari satu stasiun ke stasiun yang lainnya. Namun beruntung, hal itu tak mengganggu tidurku karena aku terlanjur nyaman dengan posisi dudukku yang seperti ini. Well, tinggal menunggu waktu saja untuk turun di stasiun tujuanku. Mungkin sekitar 15 menitan lagi akan sampai.

ㅤBerkat terlalu nyenyak, badanku mendadak terhuyung ke depan hingga akhirnya aku terjatuh dari tempat duduk. Sial, ini memalukan sekali. Terlebih lagi, setelah kejadian itu, aku menjadi perhatian para penumpang sekitar. Bahkan tak jarang dari mereka yang menahan tawa karena melihat tingkah konyolku ini. Hei, memangnya ini pantas dijadikan lelucon apa?

ㅤ"Nggak apa-apa?" Satu tangan panjang tiba-tiba terulur ke arahku. Aku terdiam, seraya mendongakkan kepalaku perlahan-lahan. Sosok laki-laki jangkung yang sangat familier bagiku kali ini. Rupanya Jaka, laki-laki yang masih setia menggunakan masker wajahnya. "Cepet berdiri. Lo diliatin."

ㅤDengan ragu-ragu, aku meraih tangannya, segera bangkit dari lantai kereta, kemudian merapikan bajuku yang sedikit berantakan dan juga kotor. Aku menghembuskan napas pelan, berusaha untuk menahan maluku di hadapan Jaka dan penumpang lain. "T-thanks."

ㅤJaka mengangguk, "Ya." Lalu, ia memberikan ponsel putihku yang terjatuh barusan. "Handphone lo."

ㅤMeraih benda tersebut, lantas aku segera memasukkannya ke dalam tas kecilku. Setelahnya, salah satu tanganku bergerak memegang gantungan tangan di atas kepalaku, guna menghindari jatuh untuk kedua kalinya. Kursi yang semula kududuki, kini sudah diisi oleh sosok wanita paruh baya berumur sekitar 60 tahunan. Beliau lantas meminta izin untuk mengambil alih kursiku dengan alasan tidak kuat berdiri lama-lama. Aku tak merasa keberatan karena memang tugasku adalah harus menghormati yang lebih tua. Bukan begitu?

ㅤ"Mau kemana, Jak?" Lagi, mulutku tak pandai menahan diri untuk tidak berbicara pada Jaka.

ㅤYang ditanya melirik. "Daerah Pasar Senen."

ㅤKeningku mengerut. "Hah? Ngapain?"

ㅤ"Mau lihat buku-buku," Jaka menjawab. "Mau ikut?"

Heh? Dia ngajakin? Serius?

ㅤ"Lo... ngajakin gue? Serius?" Aku menatap Jaka tidak percaya. Pasalnya, gelagat Jaka seakan-akan tengah bergurau alias tak menganggap ajakan itu dengan serius.

DestinationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang